Langsung ke konten utama

Potret Ketangguhan Kaum Perempuan

ilustrasi ?cyberdakwah.com

Oleh T. Nugroho Angkasa S.Pd, 
Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas, Tinggal di Kampung Nyutran Yogyakarta.

William Shakepeare pernah mengatakan bahwa peradaban umat manusia berbanding lurus dengan tingkat apresiasi terhadap kaum perempuan. Ironisnya, budaya patriarkhal masih ketat mengungkung kaum hawa. Mereka melulu identik dengan urusan domestik. Yakni, mulai dari dapur, sumur hingga kasur.

Namun, ada sebuah kisah nyata yang layak disimak. Yakni, tentang kiprah Robin Lim, pendatang yang berasal dari luar negeri, tapi kini memilih tinggal di bumi Nusantara.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pun tak hanya sekali, tapi tiga kali berturut-turut petaka menghampiri Robin Lim sepanjang 1991-1992. Robin kehilangan tiga perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Mereka adalah sahabat, bidan keluarga, dan adik perempuannya sendiri, Cathrine. 

Bahkan nyawa saudarinya melayang saat tengah memerjuangkan kehidupan baru. Ya…Cathrine sedang bersalin melahirkan buah hati tercinta yang telah dikandung selama 9 bulan 10 hari. Namun, sayang bukan hanya si jabang bayi yang tak terselamatkan, Cathrine pun turut menghembuskan nafas terakhir. 

Cathrine dan bayinya mengalami komplikasi kehamilan. Kabarnya karena faktor keterlambatan penanganan dokter. Cathrine tak seorang diri mengalami tragedi tersebut. Setiap hari, menurut Robin, di seluruh dunia sebanyak 981 ibu meninggal dalam proses persalinan atau karena komplikasi kehamilan.

Untuk konteks Indonesia, Data Riset Kesehatan Dasar 2007 dari SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), Balitbang Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa angka kematian ibu mencapai 228 orang per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan, untuk bayi jumlahnya tak kalah miris. Angka kematian bayi yang baru lahir mencapai 19 orang per 1.000 kelahiran hidup.

Tragedi kematian yang dialami sang adik, Cathrine dan para ibu lainnya membuat Robin tergerak mengambil tindakan antisipatif. Ia memutuskan menjadi seorang “dukun beranak” di pedalaman Bali. Melalui Yayasan Bumi Sehat, ia membantu persalinan dengan baik dan benar bagi ibu-ibu kaum papa secara gratis.

Tak kenal maka tak sayang. Siapakah Robin Lim? Ia terlahir dengan nama asli Robin Teresa Jahle. Sulung lima bersaudara ini lahir pada 1956 di Huachuca, Arizona, Amerika Serikat. Ayahnya, Robert Arnold Jahle, warga negara Amerika Serikat berdarah Irlandia dan Jerman. Sedangkan, sang ibu, Cresencia Munar Lim, adalah perempuan Filipina keturunan China. 

Mengikuti pekerjaan sang ayah di militer, keluarga Robin sering berpindah-pindah rumah. Saat kelas 1 SD, Robin sekeluarga bermukim di Seattle, Washington. Tak berselang lama, pada 1964, saat kelas 4, keluarganya pindah ke Okinawa, Pulau Ryukyu. Di sana masih banyak ular berbisa berkeliaran bebas. Selain itu, juga rawan bencana gempa dan angin topan. 

Berkat pengalaman “nomaden” tersebut Robin memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi – termasuk di daerah pedalaman, kalangan bawah, hingga berbaur dengan masyarakat yang memiliki corak budaya yang berbeda.

Singkat cerita, pada 2002 Robin yang membuka praktik bidan di Iowa mendengar kabar duka cita. Pulau Dewata terguncang akibat aksi bom teroris. Kondisi ekonomi Bali pun ikut terhempas. Warga setempat terkena dampaknya. Tak terkecuali para ibu hamil yang memerlukan perawatan kesehatan. 

Usai menjual rumahnya, ia mengajak suami dan keluarganya pindah bermukim di Bali. Dengan sertifikasi sebagai bidan dan anggota IBI (Ikatan Bidan Indonesia), Robin langsung melakukan advokasi dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat miskin Bali akan persalinan sehat dan normal.

Siapa pun ibu yang memerlukan bantuan persalinan, monggo silakan datang ke Ibu Robin. Bantuan kelahiran tuntas dan sehat selama 24 jam diberikan tanpa biaya sepeserpun. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia memang sebagian besar karena masalah ekonomi. Maklumlah, biaya persalinan normal mencapai Rp650.000. Persalinan melalui caesar bisa mencapai Rp6,5 juta. “Proses persalinan yang komersial itu tidak terjangkau penduduk miskin,” ujarnya.

Sejak saat itu, cikal bakal Yaysan Bumi Sehat mulai dikembangkan. Sumbangan berasal dari dukungan komunitas lokal dan para turis yang berwisata ke Ubud. Dengan segala keterbatasan, pada 2003 saat berdiri, Bumi Sehat hanya memililiki tiga bidan dan seorang dokter.

Selain di Bali, Bumi Sehat juga membuka klinik kecil di sejumlah lokasi pemulihan bencana. Pascabencana tsunami Aceh pada Desember 2004, Robin langsung menuju ke Bumi Serambi Mekah. Ia ditunjuk sebagai Health Director dari Tsunami Relief Clinic. Bidan dan perawat Yayasan Bumi Sehat dikirim ke titik-titik darurat seperti di Gompong Cot, Aceh Barat.

Robin dan tim Yayasan Bumi Sehat masuk juga ke kawasan yang diterjang konflik bernuansa SARA. Mereka memberi terapi kepada para perempuan – ibu dan calon ibu – tidak hanya lewat pelayanan kesehatan dan proses persalinan, tapi juga dalam proses perbaikan sisi emosional pascakonflik sosial. Sehingga dapat terjadi rekonsiliasi hubungan antarmanusia dalam kehidupan kolektif mereka.

Saat gempa bumi menerjang Yogyakarta dan sekitarnya pada 2006, Padang 2009, hingga Haiti 2010, Robin juga langsung bergerak menuju lokasi. Di setiap daerah bencana ia mendirikan emergency unit yang berfungsi untuk memberikan pelayanan medis. Intinya, memberi pembelajaran akan pentingnya menjaga hidup sehat walau dalam kondisi bencana sekalipun. 

Namun, fokus dan tugas utama Yayasan Bumi Sehat tetap pada penyelamatan ibu dan bayi. Sejak berdiri hingga kini, mereka telah membantu proses kelahiran sekitar 5.000 bayi. Selama sebulan, rata-rata mereka membantu 40 kelahiran bayi (Menyelamatkan Ibu dan Generasi Baru, Arif Koes dan Tim Kick Andy, Bentang, 2012).

Robin Lim ialah sosok perempuan tangguh. Wanita paruh baya yang murah senyum tersebut pernah menjadi pemenang CNN Hero of The Year pada 2013. Penghargaan tersebut diberikan atas dedikasinya mengabdikan diri bagi masyarakat dan kemanusiaan. 

Berikut ini petikan pidato Robin Lim di hadapan ribuan hadirin di Shrine Auditorium, Los Angeles, Amerika Serikat, “Setiap tarikan nafas pertama bayi yang lahir ke dunia adalah wujud cinta dan kedamaian. Oleh karena itu, ibu-ibu mereka harus kuat dan sehat. Setiap proses kelahiran haruslah aman dan penuh cinta…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

Berbagi Rambutan

  Oleh Salsabila Z   ​ Hari ini, Zain memanen buah rambutan di samping rumah bersama sang Ayah. Ia senang sekali, karena pohon rambutannya berbuah lebat dan rasanya pun manis. ​ “Alhamdulillaahh...” ujar Zain sambil memakan satu buah rambutan. ​ “Iya, alhamdulillaah...” ujar Ayah.”O ya, nanti Zain bantu Kak Salma membagi buah rambutann ini ke tetangga ya?” pinta Ayah sambil membagi  buah-buahan itu  sama banyak lalu menalinya dengan rafia. ​ “Kenapa dibagi Yah? Mending ,  kita  jual saja.  Biar tetanggak kita beli, lalu kita dapat banyak uang ,  deh,” usul Zain. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk membeli mainan baru  dari hasil menjual rambutan  nanti . ​ “Ya, nanti kita akan jual rambutan ini kepada Pak Sukri, pedagang buah samping pasar itu. tapi tidak semuanya. Ada yang kita bagi sama tetangga dan ada juga yang kita sisihkan untuk kita makan sekeluarga,” jawab Ayah. ​ “Kok begitu Yah?” ​ “Ya, tidak ada salahn ya   dong,...