Oleh Pangki T Hidayat
Berdomisili di Kulon Progo
Akhir-akhir ini berbagai bencana alam (natural disaster) kembali menaungi negeri ini. Mulai dari letusan gunung Sinabung di Sumatra Utara, banjir bandang yang melanda Manado, hingga bencana banjir yang rutin melanda Jakarta. Kini Aceh. Harus diakui, Indonesia memang terletak di wilayah yang rawan terkena berbagai jenis bencana alam. Khusus untuk bencana banjir dan tanah longsor, rekapitulasi data yang diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 2013 meningkat sebesar 300% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, banjir dan tanah longsor mencapai 475 kali dengan korban meninggal 125 orang. Sedangkan tahun 2013, banjir dan tanah longsor mencapai 1.392 kali, dengan korban meninggal sebanyak 565 orang. Oleh sebab itu, sudah semestinya infrastruktur pendukung sebagai antisipasi terhadap datangnya bencana alam dipersiapkan sebaik mungkin. Mencegah datangnya bencana, tentu akan membawa dampak positif pada saat bencana benar-benar datang. Kerugian material maupun non material bisa diminimalisasikan, dan yang lebih penting korban jiwa bisa ditiadakan.
Sebagai negara yang memang rawan terhadap datangnya bencana alam, Indonesia perlu melakukan upaya serius terkait kebijakan penanganan bencana. Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus menyiapkan upaya tanggap darurat, distribusi bantuan, dan rehabilisasi pasca terjadi bencana secara maksimal. Selama ini, pemerintah seringkali terlihat gagap dalam penanganan kebencanaan yang terjadi. Penanganan terhadap bencana yang terjadi terkesan sporadis dan tidak efisien. Misalnya, penanganan bencana tsunami di Aceh beberapa tahun silam. Dana penanganan bencana yang tersedia baik dari pemerintah maupun bantuan dari negara-negara tetangga jumlahnya mencapai puluhan triliun. Namun demikian, proses rehabilitasi pasca terjadi bencana berjalan dengan lambat. Keterlambatan itu tampak dari setiap lini, mulai dari pembangunan kembali rumah korban bencana, sertifikasi tanah, hingga pembangunan fasilitas-fasilitas publik.
Lemahnya Manajemen Kebencanaan
Rendahnya manajemen penanganan kebencanaan di negara ini tak ubahnya seperti anak sekolah yang belajar di sekolah, namun tidak pernah naik kelas. Kegemaran mengulang-ulang kesalahan dalam menangani bencana alam sering kali masih dipertontonkan. Padahal, sesungguhnya negara ini sudah mendapat banyak pelajaran berharga dari beberapa bencana alam yang dahulu pernah terjadi. Hampir setiap kali terjadi bencana alam, proses penanganannya selalu tidak terorganisir dengan baik. Pendistribusian bantuan sering kali tidak berjalan semestinya. Selain itu, rehabilitasi pasca bencana sering kali juga berjalan lambat. Bahkan, janji-janji yang diumbar menteri terkait maupun presiden ketika mengunjungi lokasi bencana, sering kali dikhianati sendiri oleh mereka. Seiring berjalanannya waktu dan hilangnya sorotan media massa terhadap bencana yang terjadi, janji-janji itu kemudian menguap begitu saja. Misalnya saja, janji bantuan rehabilitasi jutaan rupiah pada tiap kepala keluarga korban gempa bumi di Yogyakarta lalu. Pada akhirnya, realisasi janji-janji tersebut masih jauh panggang dari api.
Paradigma panik dan gugup ketika menangani bencana yang terjadi seyogyanya dikubur dalam-dalam. Jika tidak, maka rasa was-was terhadap ancaman terjadinya bencana alam akan selalu menaungi seluruh masyarakat di negara ini. Pada titik ekstrem, bencana yang terjadi kemudian hanya dimaknai sebagai hukuman atau takdir dari Tuhan. Akibatnya, kerugian material terlebih lagi korban jiwa yang berjatuhan lantas disikapi dengan kurang bijaksana. Paradigma seperti ini jelas harus segera dihilangkan. Pemahaman manajemen kebencanaan sebagai upaya penanganan potensi bencana harus selalu dilatih ada atau tidak ada bencana yang terjadi. Khusus untuk musim penghujan seperti sekarang, manajemen penanganan banjir harus ditingkatkan kualitasnya. Beberapa musibah banjir yang ada, harus benar-benar dimanfaatkan secara positif. Dalam artian jika dikemudian hari terjadi musibah yang sama, maka manajemen penanganan kebencanaannya harus tanggap dan responsif.
Pelurusan Paradigma
Selama ini, kebijakan pemerintah terkait penanganan terhadap bencana yang terjadi terkesan reaktif dan sporadis. Artinya, pemerintah terlihat aktif ketika bencana tersebut telah datang. Kunjungan menteri terkait sampai dengan kunjungan presiden ke lokasi bencana seakan mengisyaratkan bahwa pemerintah begitu serius dalam menangani bencana tersebut. Padahal, fakta di lapangan berbicara lain. Hal ini terlihat dari minimnya upaya preventif yang dilakukan pemerintah terkait manajemen kebencanaan yang baik. Upaya preventif sebagai upaya cerdas penanganan bencana masih menjadi pilihan yang kesekian bagi pemerintah. Ketidak seriusan pemerintah dalam penanganan bencanan alam juga tercermin dari minimnya anggaran penanganan bencanan yang disediakan. Misalnya saja anggaran yang disediakan untuk penanganan bencana banjir pada tahun 2013. Menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum, pemerintah Indonesia hanya menganggarkan dana sebesar U$730 juta. Pada tahun yang sama, Jepang menganggarkan dana sebesar U$8.610 juta untuk menangani bencana banjir di negaranya. Padahal jika ditelaah lebih dalam, ancaman banjir di Indonesia tentu lebih dahsyat dari pada di Jepang baik dari segi intensitas maupun cakupan wilayahnya.
Fakta di atas jelas merupakan cermin paradigma politik kebencanaan nasional yang setengah hati. Apa yang disampaikan pemerintah terkait keseriusan dalam menangani bencana alam, nyatanya tidak sejalan dengan anggaran dana yang disediakan. Hal ini tercermin dari menurunnya anggaran dana yang disediakan pemerintah untuk penanganan bencanan alam dari tahun lalu. Misalnya, anggaran dana yang disediakan pemerintah untuk menanganni bencana banjir. Pada tahun 2013 anggaran dana yang disediakan mencapai U$730 juta, akan tetapi pada tahun 2014 anggaran dana menurun menjadi U$320 juta. Oleh sebab itu, paradigma politik kebencanaan nasional yang selama ini ada perlu segera direvitalisasi. Pemerintah harus realistis terkait anggaran dana yang dibutuhkan untuk menangani potensi bencana yang akan datang, mulai dari upaya preventif, penanganan bencana, hingga rehabilitasi pasca terjadinya bencana. Khusus upaya preventif terjadinya bencana alam, pemerintah harus lebih fokus dalam menyiapkan hal tersebut. Upaya preventif yang maksimal, tentu akan meringankan penanganan bencana dan rehabilitasi pasca terjadinya bencana. Waallahu’alam bi ash-showwab!
Biodata Penulis
Saat ini penulis aktif di Communication Forum For Education (CFFE – Bulaksumur, Yogyakarta). Penulis juga merupakan alumni jurusan S.1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Riwayat pekerjaan penulis yakni pernah bekerja di bagian ESDM PT. Basuki Graha Fabrikatama (Cikarang), dan Account Officer Bank Himpunan Saudara (Yogyakarta). Sejak menjadi mahasiswa, penulis telah aktif memulai aktivitas jurnalis melalui Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (LPM UNY). Beberapa artikel/ opini penulis pernah dipublikasikan antara lain oleh; Jawa Pos (Gagasan), Kedaulatan Rakyat (Pendapat Guru), Republika (Guru Menulis), Suara Merdeka (Suara Guru), Pikiran Rakyat (Forum Guru), Galamedia, Banten Pos, Suara NTB, Harian Nasional, Koran Madura , Metro Riau, Harian Jogja, Minggu Pagi, Tribun Jogja (Citizen Journalism) dan Radar Jogja (Suara Mahasiswa).
Komentar
Posting Komentar