Langsung ke konten utama

Sekolah Desa vs Sekolah Kota



Oleh: Khairunnisak

Guru MIN Rukoh Kota Banda Aceh

Pengalaman menjadi guru sungguh mengesankan. Banyak peristiwa baru—baik yang positif maupun negatif—yang muncul, terutama pada setiap awal tahun penerimaan murid baru. Ditambah lagi dengan suka dukanya mengajar dan perlakuan para orang tua murid. Peristiwa-peristiwa semacam itu kemudian menempa seorang guru menjadi pribadi yang tegar.

Beberapa tahun yang lalu, profesi guru masih kurang dihargai di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari kurangnya apresiasi masyarakat dan pemerintah terhadap profesi ini. Tak jarang, para orang tua murid dan pengambil kebijakan hanya bisa menyalahkan guru jika nilai para murid tidak bagus. Padahal kalau kita melihat secara jujur, banyak faktor yang menyebabkan baik-buruk atau naik-turunnya prestasi seorang murid atau suatu sekolah secara umum. Pengalaman saya berikut bisa menjadi salah satu contoh tentang beberapa faktor yang menyebabkan bagus tidaknya prestasi suatu sekolah dan murid-muridnya.

Pertama lulus menjadi seorang guru, saya ditempatkan di sebuah sekolah/madrasah di daerah dalam kawasan Kabupaten Bireuen. Hari pertama berhadapan dengan murid-murid sekolah tersebut, saya dibuat terheran-heran. Sewaktu saya menyapa dengan menggunakan bahasa Indonesia, tidak seorang pun menjawab. Mereka malah cengar-cengir dan tersenyum-senyum malu. Rupanya kebiasaan sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah (Aceh) dalam berkomunikasi, baik sesama mereka ataupun dengan guru-guru. Ini menjadikan seseorang aneh jika berbicara dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, hal ini bukanlah menjadi halangan yang besar, karena saya sendiri orang Aceh yang berbahasa Aceh dengan baik.

Akhirnya saya menggunakan dua bahasa dalam mengajar, yaitu bahasa Aceh yang diselipkan dengan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan agar murid-murid mudah memahami dan juga terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka. Pemahaman yang baik dan benar terhadap bahasa Indonesia akan memudahkan mereka nantinya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang tidak memahami bahasa dan budaya Aceh.

Seperti kebanyakan sekolah di daerah yang pernah saya lihat, fasilitas-fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar di sekolah tersebut juga masih sangat jauh dari mencukupi dan dengan kualitas yang apa adanya. Hal ini tentunya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelancaran proses belajar mengajar. Kurangnya kompetensi guru juga menjadi salah faktor lain yang mempengaruhi mutu sekolah termasuk murid-muridnya. Faktor rendahnya prestasi murid juga dipengaruhi oleh minat belajar murid sangat rendah ditambah lagi tidak adanya dukungan dari kebanyakan orang tua. Salah satu contoh nyata adalah banyaknya PR yang tidak selesai dari sekian banyak PR yang diberikan. Saya melihat, secara umum para orang tua seolah-olah beranggapan bahwa urusan belajar mengajar adalah tanggung jawab guru semata.. Pengaruh lingkungan yang kurang kondusif untuk belajar juga ikut “menyumbang” terhadap minimnya kualitas pendidikan di daerah-daerah.

Hal baik yang saya catat sewaktu bertugas di daerah adalah tingginya ikatan sosial antar sesama guru dan murid. Layaknya kebanyakan lingkungan di daerah-daerah, guru-guru yang bertugas di lingkungan yang sama untuk jangka waktu lama akan menjadi dekat secara emosional, sehingga tak jarang seorang guru menutup kekurangan jam mengajar guru lainnya tanpa “pamrih”. Oleh karena itu, sampai sekarang saya masih merasa dekat dengan mantan kolega di tempat yang lama.

Sewaktu saya pindah tugas ke salah satu MIN di Kota Banda Aceh mengikuti tugas suami, saya melihat perbedaan yang mencolok antara pola belajar anak yang di daerah dengan di kota. Murid-murid di sekolah yang baru, sangat antusias dan bersemangat dalam belajar. Hal itu juga ditunjang dengan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga sangat mendukung terlaksananya proses belajar mengajar yang tepat dan terarah. Dengan kondisi yang demikian, pada awalnya saya malah merasa ragu apakah saya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah baru saya tersebut.

Dengan tekad yang kuat, saya pelan-pelan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi di tempat baru ini. Banyak sekali ilmu mengajar yang saya peroleh di sini yang tidak saya dapatkan sewaktu bertugas di daerah. Di sekolah baru ini, murid-murid tidak hanya menerima pelajaran dari guru di sekolah, akan tetapi mereka juga harus mencari sendiri di luar dengan cara membaca buku dan bahan-bahan lain yang relevan. Disamping itu, di setiap kelas disediakan pustaka mini untuk menumbuhkan budaya membaca, sehingga jika murid-murid kurang paham dengan materi yang disampaikan guru, mereka bisa langsung mencarinya di buku-buku yang tersedia di perpustakaan tersebut.

Dengan kondisi yang demikian, ditambah dengan tingginya kompetensi guru serta disiplin tinggi yang diterapkan, saya tidak merasa heran jika sekolah-sekolah di kota secara umum lebih unggul dibandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah. Pengalaman ini menyadarkan saya betapa jauh jarak ketertinggalan (dalam segala hal) antara sekolah-sekolah dasar di daerah dengan di kota. Jadi sudah selayaknyalah para pengambil kebijakan memberi perhatian lebih serta meningkatkan infrastruktur dan kompetensi guru di sekolah-sekolah di daerah terutama yang ada di pedalaman-pedalaman Aceh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...