Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Nasib Ujian nasional (UN) di negeri ini terasa tidak mujur. Dikatakan demikian, sejak ujian ini dijadikan sebagai standar nilai lulus sekolah, kegiatan evaluasi hasil pendidikan secara nasional ini terus dihakimi. Ya, buktinya UN yang diselenggarakan oleh pemerintah secara nasional selama ini, terus menjadi controversial. Bahkan kini sudah sampai ke puncak masalah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Muhajir Effendy melemparkan wacana bola panasnya yang penuh sensasi untuk melakukan moratorium ujian Nasional. Dikatakan sebagai wacana, karena niat untuk melakukan moratorium tersebut sudah dipatahkan oleh Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla dan bahkan Presiden RI, Joko Widodo sendiri seperti ditulis di laman Republika.co.id, Senin 19 Desember 2016. Berita tersebut menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo ( Jokowi) memutuskan ujian nasional (UN) tetap akan dijalankan dengan berbagai penyempurnaan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung setelah rapat terbatas dengan topic lanjutan pembahasan evaluasi pelaksanaan ujinan nasional yanag dipimpin Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin19/12/2016.
Dengan demikian pupuslah sudah harapan banyak orang yang selama ini berjuang untuk menghapus UN. Yang jelas sejalan dengan seksinya persoalan ini, soal moratorium itu sudah menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat kita, pun kini berbuah menjadi kecewa. Keputusan ini bahkan menjadi ujian berat bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhajir Effendy. Kegagalan beliau untuk melakukan moratorium tersebut memposikan dirinya pada posisi orang-orang yang hanya bisa berwacana. Kita pun kembali diingatkan dengan konsep prematurnya full day school yang juga sempat menghangat. Wacana yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan menjadi sebuah konsep premature dan sensasional
Sesungguhnya, bisa jadi, kita memhami wacana yang dilenpar oleh Mendikbud ini adalah sebagai jawaban atas gelombang kritik, protes dan penolakan terhadap UN selama ini. Penolakan yang tidak saja dalam bentuk perang opini atau perdebatan pendapat dan pikiran, tetapi juga dilakukan penolakan lain seperti demontrasi, menuntut agar UN dihentikan atau dihapus. Sudah sangat banyak ragam dan macam alasan digunakan terhadap pelaksanaan UN selama ini. Misalnya, UN dipandang melanggar hak azasi manusia, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Dr. Arief Rachman dalam seminar Pendidikan inklusi pendidikan pada tanggal 11 April 2010 lalu, di Jakarta. Jadi, upaya untuk menolak UN seperti yang kita saksikan sudah cukup besar dan intens hingga sampai pada putusan Mahkamah konstitusi yang memutuskan bahwa UN memang harus ditinjau ulang. Jadi, dari dulu hingga sekarang, masyarakat kita, praktisi pendidikan dan bahkan pengamat pendidikan, ramai ramai menghakimi UN.
Akibanya, UN dihakimi di Mahkamah Konstitusi dan diputuskan untuk ditinjau ulang. Namun setelah ada keputusan MK, entah karena memang UN sangat dibutuhkan, entah karena belum ada pengganti saat ini, UN tetap terus berjalan dengan melakukan perubahan kebijakan pembagian wewenang dalam memutuskan kelulusan siswa dengan porsi 60-40 persen. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)Mohammad Nuh di Jakarta, Senin (14/12/2009), meminta supaya kontroversi UN sebagai syarat kelulusan atau pemetaan pendidikan dihentikan. "Kalau hasil UN tidak melekat pada nilai pada orang per orang, maka bisa menjadi bias lagi. Karena UN itu tidak menentukan, nanti peserta menjawab sembarangan. Jadi kenapa persoalan UN terus kita kontroversikan? Jauh lebih baik, untuk menentukan kelulusan, juga untuk melihat standar pencapaian di tingkat nasional," kata Nuh.
Nah, sebenarnya sejak pembagian porsi nilai antara nilai sekolah dan nilai UN sebagai syarat kelulusan anak, telah membuat gelombang protes terhadap UN mereda. Namun kemudian menjadi bola panas lagi setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Dr. Muhajir Effendi melemparkan wacana “ Moratorium Ujian Nasional”. Wacana ini, tentu saja disambut gembira oleh banyak pihak yang merasa dan menilai bahwa UN selama ini lebih dianggap merugikan dibandingkan untungnya, sehingga wacana yang masih premature itu disambut dengan penuh suka cita, euphoria oleh sebagian masyarakat kita. Moratorium UN dianggap sebagai keputusan tepat. Namun demikian, kendati banyak pihak yang sudah berada di atas angin, karena wacana moratorium UN sudah bergulir, kini memang harus menelan ludah. Presiden sudah memutuskan untuk tetap melanjutkan. Lalu, bagaimana?
Jalan Terbaik
Nah, ketika keputusan untuk melanjutkan UN sudah ditetapkan oleh Presiden, lalu bagaimana seharusnya kita bersikap dan melihat wacana dan keputusan akhir ini? Apakah jalan terbaik yang harus ditempuh? Haruskah terus menuntut agar Presiden tetap melakukan moratorium UN, karena janji politik Jokowi saat Pemilu harus dipenuhi? Mungkin harus pulakah Menteri Pendidikan dan kebudayan, Prof. Muhajir Effendi dengan sangat terpaksa dan kecewa harus melaksanakan UN di tahun ini? Mungkin ini adalah dilemma yang bukan saja bagi pemerintah, karena masih menyimpan cela dan melawan keputusan Makamah Konstitusi dan menjadi kontroversial, karena banyak yang menolak. Pasti persoalannya akan tetap panjang dan berlarut. Di samping itu akan banyak pertanyaan yang mungkin ikut kita lontarkan. Oleh sebab itu, hal yang penting difikirkan adalah apa jalan terbaik terhadap pelaksanaan UN ini kini dan di masa depan.
Melihat dan membaca realitas kekinian, agaknya, sudah tidak ada pilihan dilaksanakan atau tidak, kecuali satu, yakni UN diputuskan untuk tetap dilaksanakan. Oleh sebab itu jalan terbaik adalah bagaimana memperbaiki pelaksanaan UN yang selama ini terasa sangat sangat menakutkan banyak pihak. Ya, UN itu adalah hantu alias momok. Artinya bagaimana membuat UN yang ramah buat semua orang (friendly for all). Tentu saja tidak membuat semua pihak mulai dari Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Gubernur, Bupati/Wali kota, Kepala Dinas pendidikan Propinsi dan Kabupaten/kota, Pengawas, kepala sekolah, guru, anak didik dan orang tua, merasa ketakutan dengan UN. Karena, selama ini persoalan terbesar adalah UN menjadi hantu ( momok ) yang sangat menakutkan, bila dijadikan sebagai standard kelulusan, di tengah perubahan mentalitas dan disorientasi tujuan pendidikan yang belajar mengejar angka tersebut.
Lalu, apa jalan terbaik untuk itu. Tentu saja dengan mengambil jalan tengah. Jalan yang tidak menyikut ke dua sisi yang berbeda pandangan. Pemerintah, agar tidak dianggap seperti “ anjing menggong-gong, kafilah berlalu”, tentu penting mendengar dan mencerna suara rakyatnya, walau tidak langsung diputuskan. Maka, pemerintah perlu mengidentifikasi apa persoalan yang menjadi kegalauan, ketakutan dan bahkan kecurigaan rakyat atas pelaksanan UN itu. Bila selama ini UN menjadi momok atau hantu bagi semua orang karena UN dijadikan sabagai standard kelulusan, maka pemerintah selayaknya mengurangi dan menghilangkan rasa takut rakyat dengan mengubah UN hanya untuk pemetaan kualitas, bukan standard kelulusan. Bila UN dianggap sebagai penyebab disorientasi kiblat pendidikan, maka pemerintah wajib meluruskan kembali kiblatnya. Review filosofi pendidikan kita, mau kemana? mengejar nilai atau angka, atau untuk penguasaan ilmu, ketrampilan dan akhlak?
Fakta selama ini, UN dihujat dan disebut sebagai sumber kecurangan. Benarkah demikian? Padahal UN tidak perlu disalahkan. Yang salah itu kita. semua stakeholder pendidikan. Kita tidak berintegritas, tidak jujur dan tidak siap. Ingat kata cucu Ali bin Abi Thalib? Jangan salahkan zaman, karena zaman tidak pernah menyalahkan kita. Jadi, apa yang terjadi selama ini, ketika kecurangan yang terjadi, yang disalahkan adalah UN, bukan manusianya. Padahal, jujur saja kita katakan bahwa kecurangan itu terjadi adalah karena perilaku kita yang curang. Sudah menjadi sifat buruk kita, suka menyalahkan pihak lain. Sementara kita sendiri, tidak ubahnya seperti kata orang, pemimpin tak pernah salah, kalau salah, kembali ke pasal satu.
Bila selama ini pelaksanaan UN disebut sebagai proyek pendidikan nasional, maka pemerintah harus mengubahnya menjadi program yang tidak business oriented. Bisakah? Tentu sangat tergantung pada komitmen dan perilaku para pelaksana ujian nasional. Kalau orientasinya memang uang, maka selamanya akan menjadi masalah, karena banyak kepentingan yang memboncengnya.
Bagi pihak yang menuntut UN dihapus, juga selayaknya tidak memilih sikap “ karena buruk rupa, cermin dibelah”. Juga tidak elok bila, “ ingin membunuh tikus, lumbung padi yang dibakar. Kita harus bijak, walau seperti mengambil benang dalam tepung, harus pula seperti membunuh ular, Aceh “ Ular harus mati, ranting jangan patah” Mungkin begitulah kita harus menyikapinya.
Kita memang harus benar-benar bisa lebih jujur. Tidak pantas kita beramai-ramai menghakimi dan menyalahkah UN. Juga jangan semena-mena menuduh UN curang. Karena yang curang adalah diri kita. Saat dihadapkan dengan kesulitan, kita mencati jalan alternatif dengan berbagai cara dan dengan tidak jujur. Selain itu, kita sangat mudah melemparkan kesalahan kepada orang lain, sementara kita tidak mau mengaku kesalahan sendiri. Andai saja kita mau jujur, kendatipun UN menjadi standard kelulusan, bila kita benar-bener mempersiapkan diri dan jujur menghadapi UN, Insya Allah, sesulit apapun soal UN, kita tidak akan takut. Kita tidak akan mencari jalan yang tidak jujur, seperti nyontek atau membeli kunci jawaban. Namun, karena kita tidak siap, tidak jujur, maka kita usahakan untuk membunuh lawan, atau meniadakan UN. Padahal, ketika kita tiadakan UN dan kita ingin pendidikan berkualitas, serta memiliki standard soal yang nasional, pasti tidak bisa kita sedikan. Hal ini disebabkan disparitas kualitas guru di daerah dengan pusat, masih terjeruus dalam gap yang besar. Mari kita melihat kembali UN dengan bijak.
Nasib Ujian nasional (UN) di negeri ini terasa tidak mujur. Dikatakan demikian, sejak ujian ini dijadikan sebagai standar nilai lulus sekolah, kegiatan evaluasi hasil pendidikan secara nasional ini terus dihakimi. Ya, buktinya UN yang diselenggarakan oleh pemerintah secara nasional selama ini, terus menjadi controversial. Bahkan kini sudah sampai ke puncak masalah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Muhajir Effendy melemparkan wacana bola panasnya yang penuh sensasi untuk melakukan moratorium ujian Nasional. Dikatakan sebagai wacana, karena niat untuk melakukan moratorium tersebut sudah dipatahkan oleh Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla dan bahkan Presiden RI, Joko Widodo sendiri seperti ditulis di laman Republika.co.id, Senin 19 Desember 2016. Berita tersebut menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo ( Jokowi) memutuskan ujian nasional (UN) tetap akan dijalankan dengan berbagai penyempurnaan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung setelah rapat terbatas dengan topic lanjutan pembahasan evaluasi pelaksanaan ujinan nasional yanag dipimpin Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin19/12/2016.
Dengan demikian pupuslah sudah harapan banyak orang yang selama ini berjuang untuk menghapus UN. Yang jelas sejalan dengan seksinya persoalan ini, soal moratorium itu sudah menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat kita, pun kini berbuah menjadi kecewa. Keputusan ini bahkan menjadi ujian berat bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhajir Effendy. Kegagalan beliau untuk melakukan moratorium tersebut memposikan dirinya pada posisi orang-orang yang hanya bisa berwacana. Kita pun kembali diingatkan dengan konsep prematurnya full day school yang juga sempat menghangat. Wacana yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan menjadi sebuah konsep premature dan sensasional
Sesungguhnya, bisa jadi, kita memhami wacana yang dilenpar oleh Mendikbud ini adalah sebagai jawaban atas gelombang kritik, protes dan penolakan terhadap UN selama ini. Penolakan yang tidak saja dalam bentuk perang opini atau perdebatan pendapat dan pikiran, tetapi juga dilakukan penolakan lain seperti demontrasi, menuntut agar UN dihentikan atau dihapus. Sudah sangat banyak ragam dan macam alasan digunakan terhadap pelaksanaan UN selama ini. Misalnya, UN dipandang melanggar hak azasi manusia, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Dr. Arief Rachman dalam seminar Pendidikan inklusi pendidikan pada tanggal 11 April 2010 lalu, di Jakarta. Jadi, upaya untuk menolak UN seperti yang kita saksikan sudah cukup besar dan intens hingga sampai pada putusan Mahkamah konstitusi yang memutuskan bahwa UN memang harus ditinjau ulang. Jadi, dari dulu hingga sekarang, masyarakat kita, praktisi pendidikan dan bahkan pengamat pendidikan, ramai ramai menghakimi UN.
Akibanya, UN dihakimi di Mahkamah Konstitusi dan diputuskan untuk ditinjau ulang. Namun setelah ada keputusan MK, entah karena memang UN sangat dibutuhkan, entah karena belum ada pengganti saat ini, UN tetap terus berjalan dengan melakukan perubahan kebijakan pembagian wewenang dalam memutuskan kelulusan siswa dengan porsi 60-40 persen. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)Mohammad Nuh di Jakarta, Senin (14/12/2009), meminta supaya kontroversi UN sebagai syarat kelulusan atau pemetaan pendidikan dihentikan. "Kalau hasil UN tidak melekat pada nilai pada orang per orang, maka bisa menjadi bias lagi. Karena UN itu tidak menentukan, nanti peserta menjawab sembarangan. Jadi kenapa persoalan UN terus kita kontroversikan? Jauh lebih baik, untuk menentukan kelulusan, juga untuk melihat standar pencapaian di tingkat nasional," kata Nuh.
Nah, sebenarnya sejak pembagian porsi nilai antara nilai sekolah dan nilai UN sebagai syarat kelulusan anak, telah membuat gelombang protes terhadap UN mereda. Namun kemudian menjadi bola panas lagi setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Dr. Muhajir Effendi melemparkan wacana “ Moratorium Ujian Nasional”. Wacana ini, tentu saja disambut gembira oleh banyak pihak yang merasa dan menilai bahwa UN selama ini lebih dianggap merugikan dibandingkan untungnya, sehingga wacana yang masih premature itu disambut dengan penuh suka cita, euphoria oleh sebagian masyarakat kita. Moratorium UN dianggap sebagai keputusan tepat. Namun demikian, kendati banyak pihak yang sudah berada di atas angin, karena wacana moratorium UN sudah bergulir, kini memang harus menelan ludah. Presiden sudah memutuskan untuk tetap melanjutkan. Lalu, bagaimana?
Jalan Terbaik
Nah, ketika keputusan untuk melanjutkan UN sudah ditetapkan oleh Presiden, lalu bagaimana seharusnya kita bersikap dan melihat wacana dan keputusan akhir ini? Apakah jalan terbaik yang harus ditempuh? Haruskah terus menuntut agar Presiden tetap melakukan moratorium UN, karena janji politik Jokowi saat Pemilu harus dipenuhi? Mungkin harus pulakah Menteri Pendidikan dan kebudayan, Prof. Muhajir Effendi dengan sangat terpaksa dan kecewa harus melaksanakan UN di tahun ini? Mungkin ini adalah dilemma yang bukan saja bagi pemerintah, karena masih menyimpan cela dan melawan keputusan Makamah Konstitusi dan menjadi kontroversial, karena banyak yang menolak. Pasti persoalannya akan tetap panjang dan berlarut. Di samping itu akan banyak pertanyaan yang mungkin ikut kita lontarkan. Oleh sebab itu, hal yang penting difikirkan adalah apa jalan terbaik terhadap pelaksanaan UN ini kini dan di masa depan.
Melihat dan membaca realitas kekinian, agaknya, sudah tidak ada pilihan dilaksanakan atau tidak, kecuali satu, yakni UN diputuskan untuk tetap dilaksanakan. Oleh sebab itu jalan terbaik adalah bagaimana memperbaiki pelaksanaan UN yang selama ini terasa sangat sangat menakutkan banyak pihak. Ya, UN itu adalah hantu alias momok. Artinya bagaimana membuat UN yang ramah buat semua orang (friendly for all). Tentu saja tidak membuat semua pihak mulai dari Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Gubernur, Bupati/Wali kota, Kepala Dinas pendidikan Propinsi dan Kabupaten/kota, Pengawas, kepala sekolah, guru, anak didik dan orang tua, merasa ketakutan dengan UN. Karena, selama ini persoalan terbesar adalah UN menjadi hantu ( momok ) yang sangat menakutkan, bila dijadikan sebagai standard kelulusan, di tengah perubahan mentalitas dan disorientasi tujuan pendidikan yang belajar mengejar angka tersebut.
Lalu, apa jalan terbaik untuk itu. Tentu saja dengan mengambil jalan tengah. Jalan yang tidak menyikut ke dua sisi yang berbeda pandangan. Pemerintah, agar tidak dianggap seperti “ anjing menggong-gong, kafilah berlalu”, tentu penting mendengar dan mencerna suara rakyatnya, walau tidak langsung diputuskan. Maka, pemerintah perlu mengidentifikasi apa persoalan yang menjadi kegalauan, ketakutan dan bahkan kecurigaan rakyat atas pelaksanan UN itu. Bila selama ini UN menjadi momok atau hantu bagi semua orang karena UN dijadikan sabagai standard kelulusan, maka pemerintah selayaknya mengurangi dan menghilangkan rasa takut rakyat dengan mengubah UN hanya untuk pemetaan kualitas, bukan standard kelulusan. Bila UN dianggap sebagai penyebab disorientasi kiblat pendidikan, maka pemerintah wajib meluruskan kembali kiblatnya. Review filosofi pendidikan kita, mau kemana? mengejar nilai atau angka, atau untuk penguasaan ilmu, ketrampilan dan akhlak?
Fakta selama ini, UN dihujat dan disebut sebagai sumber kecurangan. Benarkah demikian? Padahal UN tidak perlu disalahkan. Yang salah itu kita. semua stakeholder pendidikan. Kita tidak berintegritas, tidak jujur dan tidak siap. Ingat kata cucu Ali bin Abi Thalib? Jangan salahkan zaman, karena zaman tidak pernah menyalahkan kita. Jadi, apa yang terjadi selama ini, ketika kecurangan yang terjadi, yang disalahkan adalah UN, bukan manusianya. Padahal, jujur saja kita katakan bahwa kecurangan itu terjadi adalah karena perilaku kita yang curang. Sudah menjadi sifat buruk kita, suka menyalahkan pihak lain. Sementara kita sendiri, tidak ubahnya seperti kata orang, pemimpin tak pernah salah, kalau salah, kembali ke pasal satu.
Bila selama ini pelaksanaan UN disebut sebagai proyek pendidikan nasional, maka pemerintah harus mengubahnya menjadi program yang tidak business oriented. Bisakah? Tentu sangat tergantung pada komitmen dan perilaku para pelaksana ujian nasional. Kalau orientasinya memang uang, maka selamanya akan menjadi masalah, karena banyak kepentingan yang memboncengnya.
Bagi pihak yang menuntut UN dihapus, juga selayaknya tidak memilih sikap “ karena buruk rupa, cermin dibelah”. Juga tidak elok bila, “ ingin membunuh tikus, lumbung padi yang dibakar. Kita harus bijak, walau seperti mengambil benang dalam tepung, harus pula seperti membunuh ular, Aceh “ Ular harus mati, ranting jangan patah” Mungkin begitulah kita harus menyikapinya.
Kita memang harus benar-benar bisa lebih jujur. Tidak pantas kita beramai-ramai menghakimi dan menyalahkah UN. Juga jangan semena-mena menuduh UN curang. Karena yang curang adalah diri kita. Saat dihadapkan dengan kesulitan, kita mencati jalan alternatif dengan berbagai cara dan dengan tidak jujur. Selain itu, kita sangat mudah melemparkan kesalahan kepada orang lain, sementara kita tidak mau mengaku kesalahan sendiri. Andai saja kita mau jujur, kendatipun UN menjadi standard kelulusan, bila kita benar-bener mempersiapkan diri dan jujur menghadapi UN, Insya Allah, sesulit apapun soal UN, kita tidak akan takut. Kita tidak akan mencari jalan yang tidak jujur, seperti nyontek atau membeli kunci jawaban. Namun, karena kita tidak siap, tidak jujur, maka kita usahakan untuk membunuh lawan, atau meniadakan UN. Padahal, ketika kita tiadakan UN dan kita ingin pendidikan berkualitas, serta memiliki standard soal yang nasional, pasti tidak bisa kita sedikan. Hal ini disebabkan disparitas kualitas guru di daerah dengan pusat, masih terjeruus dalam gap yang besar. Mari kita melihat kembali UN dengan bijak.
Komentar
Posting Komentar