Langsung ke konten utama

Mempersempit Celah Korupsi MK




Oleh: Sumarsih, Staf Peneliti Alwi Research and Consulting

Ditetapkannya hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu membuktikan bahwa masih ada celah untuk melakukan tindak korupsi di MK. Selain itu, kenyataan tersebut juga menunjukkan bahwa selama ini tidak ada perbaikan di MK terkait mekanisme pengawasan para hakim MK. Bahkan, selepas kasus korupsi yang menimpa ketua MK periode 2013- 2015, Akil Mochtar. Faktanya, pengawasan para hakim MK sejauh ini masih hanya melibatkan internal lembaganya saja, yakni melalui Majelis Kehormatan MK (MKMK). Sementara, pihak-pihak luar (eksternal) pun tak berkutik mengingat tidak adanya ketentuan hukum yang mampu mengakomodir hal tersebut.

Mafhum disadari, MK selalu membatalkan ketentuan hukum yang memberikan kewenangan bagi pihak-pihak luar untuk dapat mengawasi hakim MK. Diantaranya, yakni ketentuan pengawasan hakim MK oleh Komisi Yudisial (KY) dan UU Nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK. Alhasil, fungsi pengawasan di ranah MK pun menjadi tidak optimal. Padahal, jika merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh MK bisa dikatakan termasuk “lahan basah”. Sebab, perkara-perkara yang ditangani MK sebagaimana termaktub pada Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 merupakan perkara yang sifatnya vital bagi hajad hidup banyak orang. Semisal melakukan uji materiil UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik (parpol) hingga memutus sengketa hasil pilkada.

Proses Rekruitmen

Kecuali terkait pengawasan, celah korupsi di MK sesungguhnya telah tercipta jauh sejak awal ketika proses rekruitmen hakim MK itu sendiri. Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 menegaskan bahwa kriteria untuk dapat menjadi hakim MK harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Celakanya, ketentuan tersebut justru tidak diikuti dengan mekanisme rekruitmen hakim MK yang ketat, tepat dan memadai. Pada titik ini, terdapat banyak celah yang pada akhirnya membuat proses rekruitmen menghasilkan hakim MK yang miskin integritas, kapasitas dan kapabilitas.

Pertama, ego sektoral dari ketiga lembaga yang berhak mengajukan calon hakim MK. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung (MA), DPR dan Presiden, masing-masing tiga calon. Jika dipahami secara mendalam, calon hakim konstitusi di luar ketiga lembaga itu (calon independen) sebetulnya dapat pula diajukan. Sebab, ketentuan pasal 18 ayat 1 UU MK tersebut tidak mengikat (harus) dari internal MA, DPR, maupun Presiden. Realitasnya, selama ini semua hakim MK hanya berasal dari internal ketiga lembaga negara tersebut. Dari perspektif politik hukum, realitas demikian sesungguhnya dapat dipahami untuk “mengamankan” ranah kekuasaan masing-masing saja.

Kedua, mekanisme rekruitmen yang tidak transparan dan akuntabel. Jamak diketahui, mekanisme rekruitmen calon hakim konstitusi kerap dilakukan secara tertutup, bahkan tanpa disertai uji kepatutan dan kelayakan (fit anda proper test). Biasanya publik hanya disuguhi nama yang tiba-tiba muncul untuk selanjutnya dilantik sebagai hakim konstitusi. Kecuali DPR, pasca kasus korupsi yang menjerat Akil Mochtar ada sedikit perubahan positif terkait proses rekruitmennya dengan melibatkan elemen dari masyarakat untuk ikut melakukan seleksi terhadap calon hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR.

Ketiga, ketidakseragaman proses rekruitmen yang digunakan. Meski terkesan sepele, tetapi dengan menggunakan proses rekruitmen yang berbeda, maka hasil yang didapat pun jelas tidak sama. Padahal, indikator yang ingin dicapai bila merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 ialah sama. Yakni, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang berintegritas, berkepribadian baik dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Maka dalam konteks ini, seyogianya MA,DPR dan Presiden bisa duduk bersama guna memantapkan dan menyeragamkan proses rekruitmen hakim konstitusi. Dengan demikian, minimal hakim konstitusi yang dihasilkan dari proses rekruitmen oleh ketiga lembaga tersebut dapat mempunyai tingkat kapabilitas yang tidak jauh berbeda.

Berbenah Diri

Terlepas dari semua itu, perubahan ke arah yang lebih baik pada diri MK sejatinya hanya bisa ditentukan oleh (internal) MK sendiri. Dengan kata lain, sekuat apa pun pihak luar memberikan dorongan perubahan, jika MK tetap keukeuh pada pragmatismenya saat ini maka mudah dipastikan ke depan akan ada lagi hakim-hakim MK yang terjerat kasus hukum. Oleh karenanya, pada titik ini harus ada sikap legowo dari MK untuk benar-benar mau berbenah diri. Misalnya, ketika dibuat kembali ketentuan hukum yang mengatur kewenangan bagi lembaga-lembaga lain untuk mengawasi MK, maka tidak semestinya MK untuk “menganulir” ketentuan hukum tersebut melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya.

Terlepas bila itu dilakukan tidak melanggar hukum, tetapi aspek etik dan moral demi terwujudnya peradilan konstitusi yang bermartabat dan berintegritas jauh lebih perlu untuk dikedepankan. Kecuali itu, kritik dan saran yang bisa berguna untuk membenahi tata kelola MK sekaligus memperbaiki marwah MK perlu pula untuk ditindaklanjuti oleh MK secepatnya. Akhirnya, penetapan hakim konstitusi Patrialis Akbar sebagai tersangka korupsi oleh KPK harus menjadi cambuk bagi MK untuk melakukan evaluasi menyeluruh di internal MK. Jangan sampai ke depan ada lagi hakim-hakim konstitusi yang terjerat kasus serupa. Jika itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga yang dikenal sebagai the guardian of the constitution tersebut hanya akan menjadi “sejarah” karena sudah tidak lagi mendapat mandat dari rakyat. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...