Oleh Andi Kurniawan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Sekjend di Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI) Berdomisili di Banda Aceh
Pilkada Aceh 2017 yang berlangsung beberapa bulan Februari 2017 ini menjadi pesta demokrasi kali ke 3 di bumi Aceh. Ajang 5 tahun-an ini merupakan butir dari UUPA di antara banyaknya butir-butir penting lainnya yang harus dilaksanakan sebagai wujud perdamaian yang menyejahterakan rakyat, termasuk mahasiswa. Oleh sebab itu, mahasiswa harus ikut berperan.
Bagaimana mahasiswa seharusnya mengambil peran dalam menyikapi segala persoalan yang timbul dalam perjalanan proses pilkada Aceh. Apakah dengan masuk ke dalam salah satu timses, atau menonton saja sambil berkomentar di warung kopi?
Mahasiswa adalah manusia terdidik dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Keseharian kita berteman dengan masalah, sehingga sering bermusuhan dengan pembuat kebijakan yang menindas kaum yang langsung kepada pengambil kebijakan yang menyejahterakan rakyatnya.
Kekuatan kita adalah persatuan yang merujuk pada sila ke 3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Bersatu menjadikan mahasiswa, semakin matang dalam membangun pergerakan di kampus. Pergerakan di sini, jangan dipandang untuk menyerang Rektorat, Dekan bahkan menjatuhkan Presiden. Bukan mahasiswa tidak mampu, tetapi jika semuanya berjalan sesuai dengan amanah dan fungsi, tak perlu menghabiskan energi untuk itu. Pergerakan di sini, kita maksudkan mendalami berbagai disiplin ilmu pilihan. Sesekali kita bersatu untuk mendiskusikan suatu topik yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu berbeda.
Bukankah ilmuan Islam abad ke-8 s.d 11 M, seperti Al- Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Haitham, Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina serta yang lainnya itu menguasai lebih dari satu disiplin ilmu?. Abu Ali Muhammad al-hassan Ibnu Al haitam adalah seorang Ilmuan Islam yang ahli dalam bidang Sains, Falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Beliau dilahirkan di Basrah pada tahun 354 H atau 965 M. Kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan menggerakkannya untuk berhijrah ke Mesir. Tokoh-tokoh pemikir tersebut patut dicontoh oleh mahasiswa yang akan menjadi cikal bakal ilmuan Indonesia nantinya.
Dari perjalanan sejarah hidup tokoh tersebut, dapat kita ambil pelajaran untuk kita yang hidup di zaman saat ini. Kita hanya perlu meneruskan apa yang sudah dimulai oleh mereka. Dengan membuka diskusi ringan yang bermodalkan uang Rp. 20.000 untuk membeli kopi dan pisang goreng, sudah cukup mengenyangkan perut dan menyegarkan pikiran. Hal ini jika dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pendalaman ilmu pengetahuan dan bersifat independen serta terbuka tentu banyak manfaatnya.
Selain mampu mengimbangi kelompok yang ingin meracuni pikiran mahasiswa untuk terjun kepada even 5 tahun-an Pilkada. Ditambah tawaran yang menggiurkan pasca selesai kuliah akan ditempatkan pada instansi pemerintah dengan posisi yang strategis dan bagi yang ingin melanjutkan studi disediakan kendaraan beasiswa. Secara tidak langsung KKN telah tertanam dan akan mengakar dalam diri tunas bangsa. Bukan tidak boleh berpolitik. Kampus malah menyediakan ladang bagi mahasiswa untuk menerima pendidikan politik. Akan tetapi bukan politik praktis.
Ah barangkali itu hanya pikiran buruk saya saja. Dengan semakin maju teknologi dan perkembangan media sosial serta pengguna smartphone, tentu semua menjadi serba mudah. Tahapan publikasi dan penyebaran informasi diskusi berjalan dengan cepat. Referensi yang dibutuhkan seketika hadir dengan mengakses di google. Tak ada alasan bagi kita untuk tidak memulainya. Kecuali tidak didasari dengan niat memperdalam ilmu pengetahuan. Seperti sabda rasulullah, “ Menuntut Ilmu diwajibkan atas orang islam laki-laki dan perempuan”. Maka itu baik orang yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan .
Masyarakat pada umumnya masih menaruh harapan yang besar terhadap kita, di mana saat banyaknya kelompok yang memanfaatkan keluguan masyarakat demi kepentingan pribadi dan kelompok. Saat inilah peran mahasiswa sebagai kaum terpelajar untuk berada di tengah masyarakat guna membantu mereka agar terlepas dari keluguan tersebut. Bukan masyarakat tak pintar memilah mana yang baik dan buruk, namun kecurangan dalam mengambil jalan pintas pada faktanya selalu merugikan masyarakat. Kita menjaga agar masyarakat tidak trauma akan hal yang demikian itu.
Inovasi diskusi lainnya sesekali juga bisa dilakukan dengan membuka diskusi pada sebuah grup di medsos, bahkan hal ini sudah berlangsung jauh-jauh hari. Dengan menetapkan jadwal pertemuan, peraturan diskusi dan yang terpenting ada yang memandu diskusi, sehingga menjadi terarah. Metode ini sepertinya tidak cocok bagi mahasiswa, karena kita memiliki banyak waktu kosong. mahasiswa lebih banyak menghabiskan di warung kopi dan tempat tongkrongan lainnya. Sekali lagi bukan tak boleh, tapi jika satu jam saja waktu tersebut digunakan untuk berdiskusi akan membawa perubahan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Perubahan itu sejatinya harus dimulai dari diri sendiri, dengan mulai membuat peraturan-peraturan dengan diri sendiri agar mampu menstabilkan diri. Karena manusia selain memiliki akal untuk berpikir, juga hati dalam pengambilan keputusan. Keduanya harus diseimbangkan dalam pemenuhan nutrisinya. Jika akal sudah kita isi dengan kajian diskusi, maka hati juga butuh disirami dengan beramal.
Diskusi-diskusi yang dilakukan mahasiswa diharapkan berbuah nyata dalam aplikasinya di lingkungan sekitarnya dengan diniatkan hasil karya tersebut bermanfaat bagi orang lain, sehingga menjadi amal. Dengan begitu antara akal dan hati dapat seimbang.
Sehinngga kita mahasiswa menjadi orang yang tercerdaskan dan mampu mencerdaskan orang sekitar. Dalam menghadapi pilkada yang tinggal menghitung hari, kita sudah siap dengan segala konsekwensi atas tindakan yang kita ambil tentu atas pertimbangan dari diskusi antara akal dan hati, baik itu masuk ke dalam salah satu timses, paslon gubernur/walikota/bupati ataupun hanya menonton saja sambil berkomentar di warung kopi. Jika ada pilihan lain yang diambil berarti anda lebih cerdas dari saya.
Komentar
Posting Komentar