Oleh: Dina Triani GA (Writer/Author-Banda Aceh)
Pria itu tampak selalu terburu-buru. Gerakannya serba cepat, baik ketika menutup pintu, berjalan ke garasi mobil, maupun mengambil surat dalam kotaknya. Laki-laki itu juga tak pernah mau membalas senyumku. Padahal aku yakin dia tahu bahwa aku adalah tetangga depan rumahnya. Pernah sekali waktu, aku tak sengaja menabrak tong sampahnya ketika memunduri mobilku. Ia ada disitu tengah memungut koran yang baru di lempar oleh tukang koran di pekarangan rumahnya. Anehnya pria itu sama sekali tidak menunjukkan rasa keget atau kesal. Ia bisa saja menghardikku dan aku juga tidak keberatan untuk minta maaf. Tetapi pemuda itu hanya melirik sekilas padaku, lalu masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu sementara sampah-sampah itu telah tumpah dan berhamburan di jalan akibat ulahku.
Sejak kepindahannya ke rumah baru, belum pernah aku lihat dia bersama dengan orang lain selain kucingnya yang selalu menyambut ketika ia pulang. Laki-laki itu seperti hidup seorang diri. Sebagai tetangga, aku ingin berkenalan untuk sekedar tahu siapa namanya, darimana asalnya, apa pekerjaannya dan apakah dia sudah menikah atau belum. Tapi jangankan untuk menyapa, melihat matanya saja rasanya sulit sekali. Ia selalu menundukkan wajah, menyembunyikannya di balik topi softballnya.
Suatu malam aku dikejutkan oleh suara anjing yang melolong di sekitar pekarangan rumahku. Saat ku intip lewat jendela kamar, aku melihat pria itu tengah mengangkat sebuah benda yang cukup besar. Ukurannya hampir sebesar tubuh orang dewasa. Sepertinya benda itu cukup berat karena ia tampak kepayahan ketika mengangkatnya. Benda itu pun kemudian ia masukkan ke dalam bagasi mobil jeepnya. Setelah menutup pintu mobil, laki-laki itu langsung meluncur pergi. Aku yang masih terpana di depan jendela mulai bertanya-tanya dalam hati. Benda apa itu? Mengapa ia membawanya pergi di tengah malam buta? Apakah benda itu barang selundupan? Mungkinkah itu barang-barang haram? Atau... benda itu peti mati? Jika benar, apakah ada mayat di dalamnya? Aku bergidik, segera ku tutup tirai jendela. Tiba-tiba rasa takut mulai menguasaiku. Aku berharap, apa yang ku lihat tadi tidaklah seseram apa yang ku bayangkan.
“ Aku punya tetangga baru, “ kataku saat duduk-duduk dengan Myrna di sebuah cafe. “ Dan dia sangat misterius. “
“ Misterius? “ ulang Myrna.
Aku mengangguk kepala. “ Kelakuannya aneh sekali. “
“ Apa dia suka tertawa sendiri? “ kata Myrna melucu, “ Atau dia membaca koran terbalik? “
Aku mencibir, “ Aku serius lho, Myr. “
Myrna meneguk kecil kopinya lalu berkata, “ Baik lah. Bagaimana dia sebenarnya? “
“ Dia seorang pria, “ kataku. “ Jarang sekali keluar dari rumahnya. Pintu dan jendela rumahnya pun selalu tertutup. Semalam aku melihat ia mengangkat sebuah benda yang besar. Benda itu ia masukkan ke dalam mobil, lalu membawanya pergi entah kemana. Tidak begitu jelas bagaimana bentuk benda itu karena malam itu gelap sekali. Tetapi aku curiga itu peti mati. “
Mendengar aku menyebut peti mati, seketika Myrna terlonjak dari duduknya sehingga menumpahkan kopinya ke atas meja.
“ Peti mati? “ tanya Myrna berulang kali. “ Apa kau yakin? “
“ Coba kau pikir, “ kataku. “ Apa ada peti seukurun tubuh manusia selain peti mati? “
Myrna mengangkat bahu, “ Bisa jadi lemari pakaian. “
“ Aku pikir bukan, “ kataku yakin. “ Kalau hanya lemari pakaian, buat apa dia mengangkatnya secara diam-diam di tengah malam buta? “
Mendengar ucapanku, Myrna terdiam. Setelah tak berhasil mendapat jawaban, ia pun berkata, “ Iya juga ya... “
“ Aku akan cari tahu tentang pria itu, “ kataku.
Myrna mencengkeram erat pergelangan tanganku, “ Jangan cari masalah, Lia. “
“ Tenang saja, “ kataku. “ Aku akan hati-hati, kok. “
Malam berikutnya, aku mulai berpikir yang aneh-aneh. Terutama tentang si pria misterius itu. Setiap kali aku alihkan pikiran ke hal-hal lain, sosok laki-laki itu pasti kembali muncul dalam ingatanku. Tiba-tiba aku punya ide. Idenya memang tidak bagus, yakni mengintip ke dalam rumahnya. Sebenarnya aku benci orang yang suka mengintip. Tapi malah sekarang justru aku yang punya niat seperti itu. Selain mengintip, aku punya ide lain yaitu pura-pura bertamu ke rumahnya. Tapi aku takut resiko yang akan menanti. Bisa saja leherku di jerat sebelum sempat minta tolong. Andai saja aku bisa Karate, pasti banyak cara yang bisa kulakoni.
Bulan bersinar redup. Lampu-lampu jalanan tak mampu menerangi malam yang semakin gelap. Aku menghitung hingga sepuluh sebelum melangkah ke luar pintu dan... Aksi pun di mulai. Dengan membawa sebuah senter kecil, aku mengendap-endap menuju jendela rumahnya yang tertutup tirai. Suasana begitu sepi, sehingga aku bisa mendengar jantungku sendiri berdenyut tak beraturan. Saat mencoba mengintip ke dalam, napasku seolah berhenti. Ku tarik napasku berulang kali untung menenangkan diri. Aku tahu akibat yang ditimbulkan jika aksiku gagal. Mungkin aku akan di bunuh, lalu di mutilasi dan di masak sebagai hidangan makan malamnya. Kakiku tiba-tiba menjadi lemas. Ya Tuhan! Bisikku dalam hati. Mengapa tanganku jadi gemetar begini?
Setelah mengumpulkan keberanian, aku bergerak lagi. Mengangkat sedikit kepalaku ke arah jendela yang tirainya tertutup separo. Seorang perempuan tua tampak tengah duduk di kursi rodanya. Perempuan itu menghadap ke arah tape recorder yang tengah memutar lagu-lagu tempo dulu. Sayup-sayup terdengar suara Nat King Cole membawakan lagu Monalisa. Di sebelahnya duduk si pria misterius, menyuapinya buah pepaya. Satu demi satu, dengan penuh kesabaran. Sungguh aku tidak menyangka dengan apa yang aku lihat. Pria berwajah dingin bisa berlaku sangat lembut. Sesekali ia mengusap tubuh perempuan itu sambil memandanginya dengan tatapan kasih. Aku menggigit bibirku. Ini bukan pemandangan yang aku harapkan. Jauh.. Jauh dari perkiraanku sebelumnya. Tidak ada kekerasan dan juga pembataian. Tidak ada jerit kesakitan atau perlawanan. Ketika aku mundur untuk mencari posisi nyaman agar bisa mengintip lebih lama, seekor anjing tiba-tiba mengonggong. Suara anjing itu membuatku kaget setengah mati sehingga aku pun menjerit.
Saat itu juga si pria membuka pintu rumahnya dan keluar untuk mencari sumber suara. Dan ia hanya bisa melongo ketika melihat siapa yang meringkuk di bawah jendela. Aku menatapnya dengan ketakutan. Tamat sudah riwayatku! Pekikku dalam hati. Semula aku menyangka akan di maki atau di pukuli, namun lelaki itu cuma bertanya, “ Adik sedang ngapain disitu? “
Disini lah awal perkenalan kami. Ia mengajakku masuk ke dalam rumahnya dan memperkenalkan kepada ibunya, perempuan tua yang ada di ruang keluarga itu. Pemuda itu merupakan anak satu-satunya yang menemani sang ibu yang kini menjanda. Ia juga yang merawat beliau, mulai dari memasak makananannya, menyuci pakaiannya, menyuapi, mengelap tubuhnya, membelikan ia obat dan sebagainya.
Sejujurnya, aku malu terhadap diriku sendiri. Aku telah keliru menilai pemuda itu. Keletihan akibat merawat sang ibu dari pagi hingga malam hari membuat ia sulit untuk tersenyum. Kesan pertama yang mucul adalah dia pria yang tak ramah. Tentu saja sekarang aku bisa memakluminya. Bagaimana tidak, pria itu harus melakukan semua tugas rumah tangga sekaligus mencari nafkah sebagai pemain Cello di sebuah kelompok musik orkestra. Cello adalah alat musik gesek yang menyerupai biola dan kontrabass. Ukurannya besar. Benda itu yang ku curigai sebagai peti mati. Wajar saja ia jarang keluar rumah karena ibunya tak bisa di tinggal terlalu lama sendirian. Aku dapat membayangkan betapa repotnya menjadi dirinya. Apalagi dia seorang pria muda, dimana waktunya seharusnya di habiskan untuk bersenang-senang di luar rumah.
Setelah kejadian yang memalukan itu, esok harinya aku bertemu Myrna di cafe tempat biasa kami nongkrong. Myrna tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar peristiwa semalam.
“ Jadi peti mati itu ternyata sebuah Cello, ya? “ kata Myrna.
Aku tersipu malu, “ Ya... begitulah. “
“ Untung saja kau belum melaporkannya ke polisi, “ kata Myrna sambil terkekeh.
“ Tapi aku punya keuntungan yang lain, “ sahutku.
“ Maksudmu? “
“ Aku mendapat dua tiket gratis untuk menonton pertunjukannya minggu depan, “ kataku sambil menunjukkan dua tiket kepada Myrna.
Mata Myrna membulat, “ Wow! “
Aku menyerahkan selembar tiket itu untuknya sambil berkata genit, “ Berdandanlah secantik mungkin. Siapa tahu dia tertarik padamu. “
Myrna memonyongkan mulutnya dan kami pun tertawa bersama.
Komentar
Posting Komentar