Oleh Hendra Gunawan, MA
Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN
Padangsidimpuan
Tinggal
beberapa hari lagi, kita akan merayakan hari kemerdekaan Repubilik Indonesia
tercinta. Apabila kita telusuri ke belakang, sejarah memperjuangkan kemerdekaan
RI, akan menyadarkan kita bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah merupakan hasil titik peluh dan
pengorbanan darah dari para pejuang bangsa. Tidak bisa
dipungkiri, bahwa dalam mengusir kaum imperialis atau penjajah dari tanah air
tercinta ini, tidak terlepas dari peranan tokoh-tokoh Islam negeri ini. Bahkan,
mereka tidak hanya menghadapi
penjajah dengan pena dan lisan, tetapi juga dengan tangan. Terjun langsung berada di lini depan, memimpin perang sehingga tidak
sedikit yang gugur sebagai syuhada. Di antara mereka, banyak yang ditetapkan pemerintah
sebagai pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol,
Teuku Umar, dan Bung Tomo serta masih banyak lagi, sebagai bentuk penghargaan
pemerintah kepada para pejuang dalam memaksa penjajah hengkang dari bumi
pertiwi tercinta ini. Terlihat sudah, bagaimana kiprah dan andil tokoh-tokoh
Islam di negeri Pancasila yang kita cintai ini dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kemerdekaan dalam perspektif Islam, adalah merupakan suatu
kemestiaan sebab Islam hadir ke muka bumi membawa misi kemerdekaan dan
membebaskan manusia dari penghambaan dan belenggu dari manusia. Makna kemerdekaan, dapat kita petik dari kisah nabi Musa AS ketika
membebaskan bangsanya dari penindasan rezim Fira’un dan sampai kepada keberhasilan
nabi Muhammad SAW dalam membebaskan umat Islam dari kaum kafirun. Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 1-2 ;
Artinya:
Alif,
laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang...” {QS.
Ibrahim/14: 1-2}
Secara
kontektual, firman Allah SWT di atas menerangkan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan.
Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mengutuk keras yang
namanya kekerasan, penindasan, dan penjajahan. sebagaimana telah diperagakan Rasulullah
SAW, yaitu membebaskan bangsa Arab dari belenggu tradisi-tradisi Jahiliyah yang
gelap gulita. Artinya melenceng jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, maka
Rasulullah SAW hadir dan berhasil membawa mereka ke zaman yang terang benderang
yang disinari iman dan Islam dalam artian sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Yang pada akhirnya diterima di seluruh dunia sampai ke negeri
Pancasila tercinta ini.
Mengenang
Dirgahayu RI ke 72 di tahun ini, kita jangan terlena dengan romantisme sejarah,
tidak sekedar perayaan serimonial saja, dan tidak sekedar semarak warna-warni
bendera dan umbul-umbul lainnya. Tetapi kita lupa kepada semangat perjuangan para
ulama-ulama terdahulu, yang telah sukses melakoni tugas mereka sebagai mishbahul ardhi atau pelita bumi, yaitu sebagai
penerang dan penuntun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bukankan, dalam surah
Yusuf ayat 111 Allah SWT menegaskan bahwa sesungguhnya pada kisah-kisah
(sejarah) itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Apabila
kita melihat catatan sejarah kemerdekaan RI, bahwa para ulama zaman dahulu, banyak
ulama yang sekaligus sebagai umara atau penguasa, sehingga mereka memiliki kedudukan
yang tinggi baik di mata Allah SWT maupun di masyarakat. Selain tempat mengadu masyarakat,
tetapi juga memiliki power atau kekuatan dan kebijaksanaan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan menuntaskan segala problem masyarakat. Inilah yang
diperagakan oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara yang dipimpin oleh umara
yang berjiwa ulama.
Selain
itu, para ulama juga banyak yang berinteraksi dengan penguasa, memberi masukan,
dan saling bersinergi dalam menyelesaikan tugas negara. Namun akhir-akhir ini,
antara ulama dan umara terkesan ada jarak pemisah. Para pemimpin sibuk
mengeluarkan aturan dan program-program pemerintahannya, sedangkan para ulama
biasanya hanya terfokus pada permasalahan agama dan ilmu agama, berceramah di
masjid-masjid dan di surau-surau atau memberikan fatwa-fatwa halal-haram. Ironisnya,
banyak sekarang anggapan-anggapan di masyarakat awam ketika seorang ulama
terjun kedunia politik dianggap aneh bahkan dianggap suatu hal yang janggal.
Padahal, di dalam al-Maidah ayat 2 Allah
SWT memerintahkan hamba-Nya untuk saling tolong-menolong dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa, dan melarang tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Secara global, maka termasuk ulama dan umara harus menjalin
hubungan yang harmoni, bahu-membahu dalam menata dan membangun bangsa tercinta
ini.
Indonesia saat ini,
telah memasuki era krisis yang cukup mengkhawatirkan. Bukan krisis ekonomi,
bukan politik, melainkan krisis ulama
yaitu semakin berkurangnya para ulama.
Terutama ulama yang memiliki leadership
atau berjiwa pemimpin, yang memiliki kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. Ulama yang tidak hanya menguasai
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya, seperti pemerintahan, politik, teknologi sains, kedokteran, astronop,
matematika, fisika, kimia, kedoktoran dan lain-lainnya. Kita merindukan sosok ulama
yang berjiwa pemimpin dan berintelektual serta cendikiawan, yang senantiasa
amanah, adil, jujur, dan profesional dengan ikhlas mengabdi untuk membangun
negeri pancasila tercinta ini guna mengejar ketertinggalan kita dibanding
negara-negara maju. Karena secara fisik, negara Republik Indonesia telah lama
merdeka dari penjajah kolonial Belanda, namun secara fsikis saat ini bangsa
tercinta ini tetap mendapatkan perlawanan dari virus yang merusak tatanan
bangsa Indonesia, mulai korupsi yang menyelinapi para oknum-oknum pejabat
negeri ini, narkoba yang menghancurkan generasi-generasi muda, sampai kepada
sifat malas dan membangga-banggakan teknologi-teknologi made in negara-negara
maju. Bahkan sampai saat ini, segala kebutuhan hidup sehari-hari kita masih sangat
bergantung dengan produk-produk luar negeri. Padahal, negara Indonesia dikenal
dengan negara yang kaya sumber daya alam! Harapan kita ke depan Indonesia juga
terkenal dengan sumber daya manusianya. Inilah salah satu tantangan yang sedang dihadapi negeri
kita tercinta saat ini.
Penutup
Peringatan 17 Agustus
1945, yang rutin setiap tahun dilaksanakan, harus dapat mendorong upaya
memajukan masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia untuk meningkatkan
kualitas diri guna mengambil peran dalam berbagai bidang, mulai hukum, politik,
ekonomi, dan teknologi. Kita tidak perlu lagi, berteriak-teriak untuk merubah
negeri Pancasila ini menjadi negara Islam. Tetapi cukup kita memasukkan
substansi-substansinya saja. Kita cukup merealisasikan substansi seperti garam
atau memberikan rasa tidak perlu seperti gincu atau merubah warna tapi tidak
merubah rasa. Tidak perlu, merubah lambang dan simbol-simbol yang telah
disepakati pendiri negeri ini, tetapi kita cukup mamasukkan substansi Islam dalam
mewarnai negeri pancasila tercinta ini menuju kemajuan dan kejayaan di masa
mendatang. Sebagaimana dalam satu riwayat Rasulullah SAW telah mengintruksikan
kepada umat Islam;
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
Artinya; “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad).
Komentar
Posting Komentar