Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Tahun 2017 ini Pemerintah kota
Banda Aceh layak berbangga atawa berbesar hati. Betapa tidak, saat baru saja
Wali kota terpilih, Aminullah dan
Keuchik Zainal dilantik, kota Banda Aceh
kembali meraih piala Adipura. Seakan anugerah piala Adipura itu menjadi
pemantik bagi pasangan ini, walau penilaian layak atau tidak menerima kembali
piala tersebut dilakukan pada saat Illiza Saaduddin Djamal masih menjabat
sebagai walikota. Tentu saja itu bukan hal yang perlu kita pertentangkan. Yang jelas
pada hari Rabu 2 Agustus 2017 wali kota
Banda Aceh ini kembali mendapat anugerah
piala Adipura oleh Menteri Lingkungan Hidup RI, DR.Ir. Siti Nurbaya Bakar MSc di
Gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. Betapa
bahagianya pihak Pemko Banda Aceh. Apalagi ini bukan kali yang pertama dan
kedua, tetapi yang ke Sembilan kali. Namun,
bagi Walikota baru, ini adalah anugerah pertama di awal masa kepemimpinannya. Hebat
bukan?
Ya, tentu saja hebat,
bahkan sangat hebat, karena ini bukan
yang pertama kali kota Banda Aceh mendapat piala bergengsi itu, tetapi yang ke
Sembilan kali. Artinya pemerintah kota
Banda Aceh secara ideal sudah mampu memenuhi kriteria yang harus dipenuhi. Maka,
ini juga dikatakan sebagai sebuah prestasi yang sangat gemilang, bukan karena
Wali kota yang baru menggunakan motto kota Gemilang.
Terlepas dari apa pun
persepsi dan pandangan kita, selayaknya pemerintah kota dan jajarannya, bahkan
masyarakat kota Banda Aceh merasa bangga dan puas atas prestasi tersebut. Oleh
sebab itu dapat pula difahami, ketika melihat luapan kegembiraan para pihak pada
hari Kamis sore, 3 Agustus 2017 yang lalu, setelah salat ashar, pemerintah kota
Banda Aceh bersama jajarannya, seperti Dinas PU Pengairan, Dinas Lingkungan
Hidup Keindahan dan Kebersihan (DLHKK) Kota Banda Aceh dan beberapa unsur lain,
mengarak piala Adipura itu keliling kota dengan penuh gembira.
Kegembiraan dan
kebanggan itu sudah terlihat sejak sebelum waktu ashar. Tampak sejumlah kenderaan
diparkir berjejer di pinggir jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh,
tepatnya di depan kantor Dinas PU Pengairan. Ada sejumlah mobil yang digunakan untuk mengarak piala Adipura yang ke Sembilan
kali itu usai salat Ashar. Dengan dikawal Polisi lalulintas, rombongan bergerak
perlahan menuju kota. Mereka melewati jalan Prof. Ali Hasyimi dengan penuh rasa
suka. Kegiatan arak-arakan keliling kota itu diikuti oleh Asisten
Perekonomian dan Pembangunan Setdakota Banda Aceh Iskandar S Sos bersama Kepala
Dinas Lingkungan Hidup Keindahan dan Kebersihan (DLHKK) Kota Banda Aceh Drs T
Samsuar MSi serta pasukan orange dan sejumlah elemen masyarakat Kota yang
akhirya diterima oleh Walikota Banda Aceh H Aminullah Usman SE Ak MM bersama
Wakilnya Drs H Zainal Arifin di Balaikota, Kamis sore (3/8/2017). Selain itu,
ikut pula hadir menyambut piala Adipura
Ketua DPRK Arif Fadillah dan sejumlah anggota Forkopimda Banda Aceh. Mereka
sangat bahagia.
Anehnya, rasa gembira,
bahagia Pemkot dan jajarannya tersebut seperti tidak dirasakan oleh masyarakat
kota Banda Aceh. Masyarakat kota seperti kehilangan rasa. Ya seperti tidak ada
selera yang membuat mereka antusias terhadap arak-arakan itu. Tidak tampak rasa
bangga di wajah masyarakat kota. Seakan-akan anugerah piala adi pura yang
membanggakan itu bukan milik masyarakat kota, sehingga masyarakat merasa tidak
perlu gembira. Seakan-akan pula anugerah piala adipura tersebut
diperoleh tanpa partisipasi masyarakat kota, tetapi hanya upaya pemerintah kota
semata. Padahal, sebagaimana kita
ketahui bahwa piala adipura itu adalah penghargaan di bidang
lingkungan hidup yang diberikan kepada kabupaten/kota yang dinilai telah berhasil mewujudkan
kota yang bersih, teduh, sehat dan berkelanjutan dengan menerapkan prinsip tata
kepemerintahan yang baik (good governance). Ini adalah bukti nyata pemkot Banda Aceh sudah berhasil mewujudkan model kota bersih itu.
Namun , mengapa masyarakat kota Banda Aceh tidak begitu berselera? Padahal, tak
dapat dipungkiri bahwa keberhasilan Pemkot meraih Adipura itu tidak terlepas dari
tinggi partisipasi masyarakat kota dalam mewujudkan kota bersih, teduh dan
berkelanjutan tersebut. Namun, sekali lagi mengapa masyarakat seperti tidak mau
tahu dengan piala itu, kala diarak keliling kota? Bahkan ada terdengar
selentingan, ah, itu piala adi pura-pura. Mengapa demikian?
Kiranya, ini menarik dan penting
diteliti mengapa fenomena semacam itu terjadi? Apakah benar bahwa masyarakat
tidak memiliki kepentingan dengan piala Adipura tersebut? Jelas tidak mungkin. Ya tidak mungkin
masyarakat kota Banda Aceh tidak punya interest dengan piala adipura. Namun,
pertanyaannya adalah mengapa kala itu tidak tampak ada rasa antusias
masyarakat? Apa gerangan yang terjadi? Mengapa
hal semacam itu terjadi?
Nah, bila kita mencari jawaban
atas rendahnya antusias masyarakat kota terhadap keberhasilan pemerintah kota
menerima anugerah adipura tersebut, kita akan banyak menemukan kemungkinan
jawabannya. Ada kemungkinan besar bahwa keberhasilan meraih piala adipura
tersebut, seakan-akan hanya karena keberhasilan Pemkot menciptakan kota bersih
dan sejuk, indah dan teduh. Maka, karena itu hasil kerja tunggal Pemkot, ya
biarkanlah Pemkot Banda Aceh saja yang merayakannya. Haruskah demikian? Tentu saja
tidak, bukan?
Pasti ada banyak kemungkinan
jawaban terhadap kondisi tersebut. Misalnya, menurunnya apresiasi masyarakat
terhadap kerja-kerja pemerintah selama ini. Kita bisa melihat bagaimana sikap
masyarakat terhadap fenomena demam WTP yang secara maknawi adalah “Wajar Tanpa
Pengecualian” yang sering memenuhi halaman iklan surat kabar di daerah-daerah
di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di laman Wikipedia menyebutkan bahwa opini
Wajar tanpa pengecualian (biasa disingkat WTP) adalah opini audit yang akan
diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari
salah saji material. Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya
auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan,
perusahaan/pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap
tidak material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
Banyaknya iklan WTP di surat kabar membuat banyak orang yang memplesetkan
kepanjangan WTP tersebut dengan berbagai singkatan yang sering pula terasa
tidak enak.
Faktor lain, terasa sangat kental
adalah berkurangnya rasa kepercayaan akan segala jenis dan bentuk penghargaan
yang diterima oleh pihak pemerintah, seperti Pemkot. Terkadang banyak orang
yang meremehkan penghargaan berupa award dan sebagainya. Piala, penghargaan,
termasuk status WTP tersebut di dalam pikiran banyak orang dipandang sebagai
upaya pencitraan saja. Ya, dengan kondisi seperti ini maka piala adipura bukan
lagi piala yang mengejutkan atau surprise, tetapi sebaliknya bukan yang harus
dibanggakan. Apalagi, piala itu kemudian dianggap bukan piala yang ditujukan
atas nama partisipasi masyarakat, tetapi karena usaha pemerintah kota atau
kabupaten. Jadi, wajar-wajar saja kalau
penghargaan berupa piala adipura tidak disambut antusias oleh masyarakat kota
ini yang ironisnya disebut sebagai piala adi pura-pura.
Kiranya, pemerintah kota tidak
usah berkecil hati bila keberadaan piala itu tidak menjadi motivasi bagi
masyarakat untuk bersama pemkot dan pemkab menjaga dan merawat lingkungan
bersih, sejuh dan indah. Pemkot dan Pemkab di daerah, selayaknya melakukan
refleksi dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk dengan sungguh-sungguh
dan berkelanjutan ikut secara aktif dan pro aktif menjaga, merawat dan
meningkatkan kesadaran hidup bersih dan sehat, untuk bersama. Masyarakat harus
dengan sadar dan displin serta bijak mengelola
lingkungan di sekitar kota dan lainnya. Semoga saja.
Komentar
Posting Komentar