Oleh
Delima Saflidara
Mahasiswi
Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat,
UIN
Ar-Raniry, Banda Aceh.
Kesadaran
akan pentingnya ilmu dan pengetahuan merupakan hal yang semakin asing dalam
budaya kita. Aceh yang berada di pulau Sumatra adalah sebuah negeri yang masih
miskin. Terutama miskin literasi, membaca dan menulis. Kurangnya kesadaran itu
sangat mewabah hampir di setiap lapisan masyarakatnya. Sedikit sekali kesadaran
yang dirasakan masyarakat terkait akan pentingnya makna dari ilmu pengetahuan. Termasuk mereka yang
cenderung dianggap sudah berilmu oleh mereka yang awam, sejatinya tidak
benar-benar demikian. Ada perbedaan antara ilmu dan pengetahuan, di mana
pengetahuan merupakan apa saja yang kita tahu, baik yang kita baca, maupun yang
kita dengar.
Namun
berbeda dengan ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita miliki dan sudah
mendarah daging dalam diri kita dan merealisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai kebiasaan. Selain itu, ilmu adalah pengetahuan yang
kemudian kita jadikan atau dapat dijadikan sebagai alat, kacamata dan pisau.
Baik untuk melihat fenomena, mengupas persoalan-persoalan, maupun dalam hal
membangkitkan kesadaran orang banyak. Artinya, sebuah pengetahuan dikatakan
sebagai ilmu, ketika itu dapat dimanfaatkan dan bermanfaat tidak hanya bagi
diri sendiri, namun juga orang banyak.
Kelihaian
seorang pilot menerbangkan pesawat, disebabkan sang pilot menguasai ilmu mesin
dan penerbangan. Kecakapan seorang motivator membangkitkan semangat, karena dia
paham ilmu komunikasi. Kemampuan seorang penulis menghipnotis orang lain
melalui tulisannya, juga disebabkan karena ilmu dan begitulah seterusnya.
Kemajuan dan peradaban terjadi karena ilmu. Namun pertikaian, saling membenci
dan dendam, juga terjadi karena ilmu. Ilmu yang kurang, sehingga kita mudah
diperdaya dan diadudomba. Tentu akan ada orang yang mengatakan bahwa ada yang
lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu, yaitu akhlak atau adab. Premisnya
adalah, ketika seseorang memiliki ilmu, namun jika ia tidak memiliki akhlak,
maka seseorang itu sama sekali tidak berharga. Pernyataan ini tentu sangat
benar. Namun hakikatnya adalah, seseorang yang “benar-benar” berilmu, tentu
akan berakhlak pula. Kembali pada makna ilmu di paragraf sebelumnya. Sehingga
pantaslah rasanya jika ilmu itu harus mahal. Mengingat betapa pentingnya peran
ilmu dalam kehidupan.
Minimnya
kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan yang mewabah dalam budaya kita, kini
mengundang perhatian pihak-pihak yang kesadaran melek ilmunya tinggi, yang
melihat literasi membaca dan menulis negeri kita yang begitu ironis. Sebut saja
seperti majalah “Anak Cerdas”, yang merupakan media pembangkit semangat siapa
saja yang membacanya. Terutama anak-anak yang menjadi subjek dan objek majalah
ini. Ini adalah satu-satunya majalah anak di Aceh, bahkan di Sumatra. Majalah
ini terbit rutin sejak 2012 hingga 22 edisi dalam versi cetaknya. Edisi ke-23
akan segera menyusul, namun sudah tersedia dalam edisi online. Penting sekali
majalah ini terbit dalam edisi cetak, karena akses internet tidak relevan dengan dunia
anak. Anak-anak seharusnya tidak dibenarkan mendapatkan “hak milik” dari orang
tuanya untuk memiliki satu gadget
untuk mengakses internet misalnya. Selain karena radiasi, gambar-gambar dalam
dunia maya yang sering tidak senonoh jika dilihat anak, dan dampak buruk
lainnya. Anak menjadi malas bergaul di luar rumah, terbentuk menjadi pribadi
yang indivualis dan sebagainya. Sehingga budaya awal kita mulai bergeser akibat
pengenalan kecanggihan teknologi yang salah pada anak-anak kita. Pengenalan
kecanggihan teknologi terhadap anak, bukanlah sesuatu yang tidak boleh
dilakukan. Justru harus dilakukan. Agar anak tidak gaptek alias gagap teknologi,
karena kita hidup di zaman itu.
Kita
tidak bisa pungkiri, selain dampak internet yang buruk, ia juga memberi banyak
dampak baik bagi kehidupan kita. Seperti memudahkan setiap urusan menjadi lebih
hemat waktu dan uang. Penyebaran informasi di dunia maya, sering membuat
kesalahpahaman antar masyarakat pun terjadi. Padahal baik sebagai penyebar
maupun penerima informasi di internet adalah orang-orang dewasa yang kurang
ilmunya, sehingga informasi yang masuk ke otak, tidak melalui proses
filterisasi terlebih dahulu, tidak dikritisi terlebih dahulu. Lalu bagaimana
bisa kita membiarkan anak sebagai posisi penerima informasi dari dunia maya.
Bagaimana bisa kita dapat mengontrolnya dengan sangat intensif. Kita tahu
persis “anak” adalah manusia yang usianya masih dalam tahap perkembangan,
meniru dan labil. Sehingga sangat baik jika membiasakan mereka akrab dengan
buku-buku dan majalah yang mendukung keaktifan mereka berkarya, daripada
membiarkan mereka akrab dengan gadget dan
dunia maya.
Seperti
yang dikatakan pada paragraf tiga di atas, majalah “Anak Cerdas” bukan hanya
media pendukung kecerdasan anak untuk mengenal banyak pengetahuan dan
berimajinasi, namun juga menjadi wadah tempat anak untuk belajar menjadi
produktif. Anak juga dapat berlatih menulis dan mengirimkan tulisannya di
majalah “Anak Cerdas”. Hal ini agar anak termotivasi untuk terus senang
menulis. Melatih anak untuk berbagi melalui tulisannya. Menulis mungkin masih
menjadi sebuah kegiatan yang buang-buang waktu dalam kebanyakan perspektif
kita. Padahal menulis sejatinya bukan sekedar sebuah tulisan yang berisikan
kata-kata dan kalimat-kalimat. Namun lebih dari itu, tulisan adalah “senjata”,
tulisan adalah “perisai”. Menulis adalah kekuatan. Stephen King mengatakan
“menulis itu adalah upaya menciptakan. Dan dalam prosesnya, kita tidak hanya
mengerahkan pengetahuan, daya dan kemampuan saja. Namun seluruh jiwa, nafas
hidup kita”. Dilanjutkan dengan perkataan Imam Al-Ghazali. Dikatakan bahwa
“jika engkau bukan anak seorang raja, bukan juga anak seorang ulama besar, maka
jadilah penulis”. Dan bagi seorang penulis, membaca adalah sesuatu yang tidak
bisa dihindari, kata Stephen King.
Dengan
budaya literasi kita yang masih sangat menyedihkan dan mewabah, bukankah hal
yang sulit untuk dipikirkan adalah jika harus memulai membangun kesadaran itu
dari dasar sekali. Namun tidak bagi majalah “Anak Cerdas” yang terus konsisten
mengupayakan, membangun kecerdasan yang ditujukan untuk kecerdasan anak-anak
kita. Sehingga pantas untuk terus didukung eksistensinya. Kenapa harus
anak-anak? Karena mereka adalah benih. Mereka adalah generasi penerus bangsa.
Seperti kata Soekarno “ beri aku 10 pemuda seperti kau Sutan Syahrir, maka akan
kuguncangkan dunia”. Mengapa dalam
penggalan kalimatnya itu, Soekarno menyelipkan nama Sutan Syahrir? Tentu itu
memberi kita pemahaman bahwa, untuk mengguncangkan dunia, kita perlu
pemuda-pemuda yang cerdas, aktif, kreatif, produktif, dan kritis. Nah, pemuda
seperti itu berasal dari anak-anak yang dibentuk agar menjadi seperti itu.
Tidak pemuda yang hanya mau berpangku tangan, yang hanya semangat kalau unjuk
gigi saat selfie, senang ikut-ikutan
tanpa paham, pemuda yang apatis, malas membaca apalagi menulis, dan sebagainya
dan sebagainya.
Komentar
Posting Komentar