Oleh Febry Ardia Regita Fadli
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (
UIN) Ar-Raniry Banda Aceh
Air
mata tak dapat terbendung, ketika aku mengingatnya. Tidak tahu mengapa hati ini
terasa sangat sensitif dan lembut, ketika sekilas terlayang tentangnya di
benakku. Aku hanyalah seorang gadis yang sangat mengaguminya, begitu
mencintainya. Aku tahu sosok itu juga sangat mencintaiku, meski tak pernah
tampak begitu jelas di mataku. Aku yakin dia lah cinta abadi yang pernah
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Terkadang ia sering terlupakan olehku, karena
aku selalu sibuk dengan urusanku yang hanya secuil daripada urusannya yang
bermanfaat untuk semua.
Aku
mengagumi lelaki berbadan tegap dan bermata sipit itu. Sampai saat ini aku
merasa nyaman selalu dalam dekapannya. Meskipun sekarang pelukan itu tak
sesering dulu, dan ciuman kening hanya setahun sekali ku rasakan. Tak masalah
selama ia masih dapat ku lihat. Seringkali aku menangis dalam hening, ketika
mengingat-ingat peristiwa yang melukai hati karena menahan rindu. Hubungan
jarak jauh ini membuatku tak henti merindukannya. Aku ingin selalu di dekatnya.
Entah bagaimana ceritanya, aku selalu ingin melihat senyumnya. Yang selalu membuatku
terkesima dengan sendirinya. Ia adalah seorang yang tak pernah menampakkan air
mata di pipi. Mungkin air mata itu telah membanjiri hati.
Lelaki itu sudah 19 tahun
bersamaku, menemani hari-hariku yang belum tau arah tujuan hidup. Dia yang
mengerti getirnya hidup ini, kejamnya persaingan dalam kehidupan. Lelaki itu
adalah ayahku, 19 tahun ya? Hmm.. Aku sering berdoa pada Tuhan agar kebersamaan
ini menemani langkahku hingga sukses dan membuatnya menjatuhkan air mata
kebanggaan. Ayah adalah orang yang membuatku mengerti arti hidup, walaupun di
usia remaja ini komunikasi ku kurang dengan Ayah.
Namun aku tahu harapannya besar terhadapku. Ia
adalah orang yang mengajarkanku tentang keadilan dan kejujuran. Bicara dengan
ayah, kebohonganku tak dapat berkutik, seakan mati kutu. Kadang aku merasa dikekang,
membuat kebencian menghampiri sekujur tubuh. Aku iri dengan teman-temanku yang
bebas bepergian ke mana saja mereka mau dan melakukan apa saja yang mereka
inginkan. Seiring bertambahnya usia, aku selalu mencoba memahami mengapa Ayah
bersikap begitu. Sekarang aku sadar, Ayah tidak mau gadisnya kenapa-kenapa.
Ayah tidak mau anaknya menjadi orang yang tidak berbakti.
Selalu ada tanya dalam hati,
semua manusia pasti pernah merasakan kesedihan dan menjatuhkan air mata. Lalu,
kapan Ayah menangis? Anak tak pernah mengetahui kapan orangtuanya menangis dan
sedih. Egoisme menguasai saat aku selalu merengek meminta apa yang aku mau
tanpa pernah berpikir terlebih dahulu. Namun, orangtua selalu memberikan
kemauan sang anak tanpa memikirkan kemana harus ia cari alat untuk memenuhi
kebutuhan anak. Ayah adalah orang yang rela tidak makan untuk anaknya,
mendahulukan orang yang ia sayang terlebih dahulu daripada dirinya sendiri.
Masih terlukis jelas diingatanku, dulu ayah pernah berkata, “selamatkan dulu orang lain, kalau mereka
sudah merasa aman, baru kita urus diri sendiri” dari situ aku sering
mendahulukan kesetiaan dibanding dengan egoisme. Hal ini mungkin berbeda dengan
kesehatan yang harus kita jaga melalui diri sendiri terlebih dahulu. Tak ada
yang dapat mengalahkan kehebatan ayahku, ayah sangat mahir berhitung, menjahit,
dan juga memasak. Masakan ayah seringkali membuat aku dan adik-adikku bersenda
dengan Ibu.
Ayah adalah orang yang selalu mengingatkanku
tentang pentingnya pendidikan. Dulu, aku ingat Ayah sering bilang “Orang pandai akan kalah dengan orang yang
jujur, dan orang yang jujur akan kalah dengan orang yang selalu berusaha”. Aku
dan Ayah adalah orang yang sama-sama kurang suka berbicara yang berlebihan, dan
tidak mudah menerima orang baru yang belum dikenal. Oleh sebab kesamaan sifat
tersebut kami jarang berkomunikasi layaknya curhat dengan Ibu. Ayah lebih akrab
dengan adikku yang pertama. Namun begitu bukan berarti aku dapat bertingkah
sesuka hati. Sekali ayah bicara, itulah yang selalu aku ingat. Dari ayah aku
belajar menjadi perempuan yang tidak cengeng ketika dihadapkan oleh masalah.
Dari ayah juga aku belajar menyembunyikan air mata, agar teman-temanku tahu
kalau aku adalah orang yang selalu ceria. Terimakasih ayah, yang selama ini
telah berjuang membesarkanku, berpeluh hingga bahumu lebam dan mata mu memerah
karena kurang tidur hanya untuk mencari nafkah keluarga kecilmu. Sampai kapan
pun aku tetap terkesima dengan sosok sepertimu. Meski telah ada pangeran yang
akan mendampingi masa dewasa ku kelak, namun Ayah tetap raja dalam hidupku.
Komentar
Posting Komentar