Oleh: Iqbal Perdana
Staff di CCDE
Tubuhnya bergetar saat mengupas seonggok cangkang petang itu. Nur harus mengayunkan sikien catok (alat untuk mengupas cangkang tiram) empat sampai lima kali agar bibir cangkang lumat, “Kalau besar sampai 7 kali,” katanya. Mengadu sikien catok dan cangkang begitu saja tidak cukup, “Ada celahnya, harus diarahkan ke celah itu,” terang Nur sambil menunjuk celah pada wujud cangkang itu. “Mungkin untuk pertama tidak bisa melihat, karena sedikit sukar untuk dicari.”
Tangan kirinya dibalut sarung tangan berwarna coklat, sedang tangan kanannya telanjang, hanya menggenggam sikien catok. Sarung tangan yang ia gunakan juga sudah sobek, agaknya tidak layak pakai, ada bolong besar di jari telunjuk dan jari tengah sarung itu. Alhasil, banyak luka bekas sayatan cangkang tiram yang menganga di telapak tangannya.
Nur. Wanita berumur setengah abad itu berprofesi sebagai nelayan tiram. Berawal dari membuntut teman, “Jadi keterusan,” akunya. Awalnya ia bekerja sebagai pencuci pakaian, mulai dari keluarga yang ‘biasa-biasa’ sampai keluarga geuchik ia kerjakan. Meski demikian, uang yang diperoleh dari pekerjaan itu tidak mampu menopang kebutuhan hidup ibu dengan tiga anaknya itu. “Waktu cuci pakaian dulu tidak cukup untuk keluarga saya,” jelas Nur kemudian.
Lantas pada tahun 2004, ia mulai menggeluti pekerjaan sebagai nelayan tiram. Berbekal kemauan dan tekad yang kuat, wanita itu rutin mengikuti temannya memanen tiram. Nur hanya melihat cara temannya mencabut tiram dari bebatuan atau permukaan kayu, cara berdiri yang kokoh dalam arus sungai, dan cara menggunakan sikien catok.
Lokasi memanen tiram ada dua tempat; sepanjang Krueng Raya (mulai dari Jembatan Lamnyong sampai Jembatan Kajhu) dan parit yang bersebelahan dengan Krueng Raya, Aceh Besar. “Arus yang deras, di parit besar itu,” tunjuk Nur. Untuk memanen tiram, ia berangkat setelah shalat zuhur, “Setelah salat zuhur, rasanya lebih sejuk,” terangnya.
Nelayan tiram yang biasa memanen di dua lokasi itu berjumlah 12 orang, semuanya wanita. Namun dalam keluarga Nur, yang menjadi nelayan tiram hanya Nur. Saat hendak memanen, Nur selalu menggunakan sepatu bot, sarung tangan, dua sikien catok, dan topi yang terbuat dari daun pandan. Pun demikian, “Kadang-kadang saya tidak pakai sepatu, karna berat,” aku Nur melucu.
Tiram yang berada di perairan Krueng Raya merupakan marga ostrea dan crassostrea. Tiram yang bermarga ostrea berbentuk pipih, besar maksimalnya mencapai 5 sampai 6 Inch. Sedangkan tiram bermarga crassostrea berbentuk piala, besar maksimalnya mencapai 4 Inch. Namun, tiram jenis crassostrea yang dominan di perairan Krueng Raya itu. Hewan tanpa tulang punggung itu biasanya menempel di tiang penyangga jembatan, batang kayu, juga dinding sungai. “Tiram ini (jenis crassostrea-red) biasa bertumpuk di satu lokasi,” terang Nur.
Untuk mengambilnya, Nur menggunakan dua sikien catok, sikien catok yang pertama disangkutkan punggung cangkang, sedangkan sikien catok yang lain menghantam dari atas. Sikien catok yang disangkutkan itu bermaksud agar si nelayan tidak terbawa arus sungai, disamping itu, posisi seperti itu memungkinkan Nur mengambil ancang-ancang saat mengayunkan sikien catok yang lain, “Jadi kuat mukulnya,” aku Nur.
Memanen tiram di sungai bisa memakan waktu tiga sampai lima jam, tergantung banyak tidaknya tiram yang didapat, “Kalau sudah penuh goni ini ya pulang.” Setelah selesai mengangkat tiram dari tempat persugihannnya, para nelayan tiram mendiamkan tiram dalam goni selama sehari, “Besoknya baru di kupas,” ungkap Nur. Menurut Nur, tiram yang dikupas tidak boleh direndam, “Karna akan menghilangkan rasa manisnya.”
Pagi, sekira pukul delapan, ia mulai mengupas kulit tiram. “Paling banyak 13 kantong.” Saat mengupas, ia hanya memerlukan satu sikien catok, dan satu sarung tangan. Satu plastik tiram diukur dengan cangkir plastik setinggi jari telunjuk. Setelah diukur menggunakan cangkir, tiram yang telah dicuci bersih itu ditaruh dalam plastik berukuran 1 kg, lalu diisi air secukupnya, “Agar lebih tahan lama,” aku Nur.
Tiram yang sudah ditaruh didalam plastik akan awet sampai empat hari, tiram yang sudah lama didalam air akan berubah warnanya, menjadi putih pucat dan bagian tubuhnya mulai terkelupas. Air yang digunakan juga akan keruh. Nur menjajalkan tiram hasil panennya di ujung jembatan Krueng Raya. Disitu ada empat pedagang tiram. Dalam satu hari Nur mampu menjual delapan sampai sembilan kantong. Namun, saat bulan ramadhan, “Delapan sampai Sembilan kantong itu paling sedikit,” akunya.
Untuk kebutuhan sehari-hari, ia harus merogoh kocek sampai Rp 50 ribu, mulai dari membeli kebutuhan dapur untuk empat kepala, sampai menabung untuk membayar tagihan listrik dan air. Ia bertempat tinggal di desa cadek kecamatan Baitussalam.[]
Komentar
Posting Komentar