Dok.satvi.uct.ac.za
Oleh: Nona Rahmaida Puetri
Permasalahan penyakit tuberkulosis (TB) kini masih menjadi topik hangat yang dibicarakan. Pembicaraan terjadi di semua level, Indonesia dan global. Di Indonesia pembicaraan dan pembahasan mengenai TB sejalan dengan masih banyak ditemukan kasus TB baru setiap tahunnya. Semakin hangat pembicaraannya, karena ditambah dengan keberadaan kasus resistensi obat dan penyakit penyerta TB seperti HIV dan DM ( diabetes melitus) membuat penyakit ini perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai upaya pencegahan dan pengendaliannya.
Wajar saja, setiap tahun kita memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) pada tanggal 24 Maret. Tanggal ini dipilih berdasarkan penemuan bakteri tuberkulosis (TB) oleh DR. Robert Koch pada tahun 1882. Tuberkulosis mengingatkan kita akan penyakit infeksi paling mematikan di dunia. Setiap hari hampir 4500 orang meninggal karena TB dan 30.000 orang terinfeksi TB. Banyak upaya secara global yang telah dilakukan untuk memerangi TB. Buktinya, upaya global untuk memerangi TB telah berhasil menyelamatkan sekitar 54 juta jiwa sejak tahun 2000 dan mengurangi angka kematian akibat TB sebesar 42%.
Oleh sebab itu, untuk mengakhiri epidemi TB, maka pemimpin-pemimpin dunia berkumpul dan membuat komitmen kuat di pertemuan United Nation (UN)/ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di New York pada September 2018. Pada pertemuan tersebut Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menyampaikan 3 (tiga) poin; Pertama, setiap negara harus menerapkan secara konkret strategi nasionalnya masing-masing dalam upaya untuk mengakiri TB. Pemerintah Indonesia menargetkan dapat menghilangkan TB pada 2030 dan mencapai Indonesia bebas TB pada 2050. Kedua, harus ada upaya yang lebih terpadu untuk memperkuat kapasitas pendeteksian dini kasus-kasus TB, khususnya kasus baru yang melibatkan galur yang resisten terhadap obat-obatan. Ketiga, harus ada akses yang lebih besar dan setara dengan layanan kesehatan berkualitas untuk masyarakat umum.
Pertanyaan kita, mengapa TB perlu dieliminasi? Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi upaya untuk mengeliminasi TB. Pertama, TB merupakan penyakit yang sangat mudah menular. Arus globalisasi transportasi dan migrasi penduduk antar negara membuat TB menjadi ancaman yang sangat serius. Kedua, pengobatan TB tidak mudah dan murah dan ke tiga, TB yang tidak ditangani dengan tuntas akan menyebabkan resistensi obat.
Nah, TB resistan obat dapat didefinisikan sebagai berikut. Pertama, TB resistan obat adalah TB yang disebabkan oleh bakteri/kuman TB yang telah mengalami kekebalan terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis); Kedua, TB MDR ( Multy Drug Resistant Tuberculosis) adalah TB resisten Obat terhadap minimal 2 obat anti TB yang paling poten yaitu INH dan Rifampisin secara bersama-sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini petama lainya seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Ketiga, TB XDR (Extensively Drug Resistant Tubeculosis) adalah TB MDR disertai dengan kekebalan terhadap obat anti TB lini kedua yaitu golongan fluorokuinolon dan setidaknya satu obat anti TB lini kedua suntikan seperti kanamisin, amikasin atau kapreomisin. Mengapa resistensi obat sangat berbahaya? Karena bakteri TB yang akan ditularkan kepada orang di sekitarnya adalah bakteri yang sudah resistensi obat dimana jika resistensi obat sudah terjadi maka pengobatan yang harus dilakukan akan lebih lama dari infeksi TB yang tidak resisten dan biaya pengobatan juga lebih mahal.
Kasus TB di Indonesia menurut data WHO tahun 2017 terdapat 842.000 orang dengan jumlah kematian karena TB diperkirakan sebesar 107.000 orang. Saat ini telah dikenal penyakit penyerta pada TB yaitu TB-DM (Diabetes Militus) dan TB-HIV (Human Immuno Deficiency Virus). Data WHO 2017 menyebutkan jumlah kasus TB-HIV di Indonesia diperkirakan 36.000 kasus dengan jumlah kematian 9.400 orang. Dengan jumlah kasus sebesar 842.000 per tahun dan kasus tercatat/ternotifikasi sebesar 442.172 kasus maka masih ada sekitar 47% kasus yang belum ternotifikasi, baik karena belum terjangkau, belum terdeteksi maupun belum dilaporkan.
Provinsi Aceh menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 Aceh memiliki prevalensi (jumlah kasus TB pada suatu titik tertentu) TB sebesar 0,5% atau di atas prevelensi nasional yang hanya 0,4%. Data Profil Kesehatan Aceh tahun 2017 menunjukkan jumlah kasus TB di Aceh pada tahun 2017 sebanyak 7.342 kasus, angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 5.072 kasus. Kabupaten/Kota dengan angka CNR (Case Notification Rate)tertinggi di Aceh adalah Kota Banda Aceh (304), Subussalam (259), Kabupaten Simeulue (221), Gayo Lues (216), dan Aceh Utara (213). Sedangkan CNR semua kasus tuberkulosis terendah yaitu Kabupaten Bener Meriah (41), Aceh Tengah (67), Aceh Tenggara (77) dan Aceh Besar (93).
Tema Hari TB sedunia pada tahun 2019 secara global adalah “it’s time”. Indonesia mengambil tema peringatan HTBS “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan sub tema, pertama, ketahui status TBmu sekarang; Kedua, TOSS TBC dimulai dari saya; Ketiga, TOSS TBC dimulai dari Keluarga. Ke empat, komitmen bersama menuju Indonesia bebas TBC. Diharapkan momentum peringatan HTBS ini dapat mengajak semua pihak terlibat secara aktif di dalam upaya pencegahan dan pengendalian TB serta dapat menggerakkan hati setiap orang untuk menyadari bahwa eliminasi TB bukan hanya tanggung jawab pemerintah, akan tetapi tanggung jawab setiap individu, karena jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita siapa lagi?. Semoga Indonesia mencapai target bebas TB di 2050
Sumber: WHO, Kemenkes RI, tbindonesia, riskesdas 2018, profil kesehatan aceh 2017. Biodata Penulis : Nona Rahmaida Puetri, S.Si, Afiliasi: Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh , sebagai Peneliti. Email: nona.rahmaidapuetri@gmail.com
Alhamdulillah, semoga bermanfaat
BalasHapus