Dok. Tagarnews
Oleh Rahmi Fajri
Pegiat Sosial
Pesta demokrasi dalam rangka memilih Presiden dan wakil Presiden (Pilpres) dan pemilihan calon anggota legislative tahun 2019, sudah selesai dilaksanakan secara serentak di tanah air pada tanggal 17 April 2019 lalu. Namun hasilnya masih belum diperoleh secara utuh, karena hasil Pilpres yang sangat dinanti-natikan oleh kedua paslon Presiden dan wakil Presiden tersebut akan diumumkan pada tanggal 22 Mei 2019 mendatang. Pesta Pilpres dan Pileg yang serentak ini sangat menjadi perhatian public, yang secara aktif mendukung masing-masing calon, khususnya partai politik yang mungkin sudah bersusah payah memenuhi kriteria untuk bisa ikut pesta rakyat tersebut. Salah satu syarat mutlak adalah yang mengharuskan 30 persen calon dari kalangan perempuan untuk ikut pemilu ligislatif.
Keberadaan perempuan dalam partai politik merupakan keniscayaan, karena sebuah partai politik akan lolos verifikasi apabila memiliki kader atau quota perempuan sebesar 30 persen tersebut. Hal ini menjadi bumereng tersendiri bagi partai politik, karena kurang kader perempuan. Kekurangan kader perempuan tersebut membuat partai politik harus bekerja keras untuk mencari calon-calon legislative dari kalangan perempuan. Pengurus partai politik harus mencari dan meloby ibu-ibu dan pemudi untuk bisa ikut menjadi peserta pemilu. Tujuannya, untuk menyelamatkan partai politik supaya lulus dari syarat kuota 30 persen caleg perempuan.
Bagi kaum perempuan persyaratan ini merupakan jendela kesempatan ( the window of opportunity) untuk bisa ikut terlibat dalam prosesi politik. Dikatakan demikian, karena aturan tersebut mendorong perempuan ke ranah politik yang menjadi harapan para perempuan dalam sector politik. Namun, karena banyak factor yang menyelimuti perempuan selama ini, menarik perempuan ke pusaran politik praktis, banyak perempuan yang terjun dan terjebak dalam pernagkap yang tidak menguntungkan perempuan. Bisa kita sebutkan sebagai jebakan. Banyak perempuan yang terjebak, sebagai alat pemenuh suara bagi laki-laki dan partai. Banyak perempuan yang terpengaruh loby pengurus partai untuk menbantu menjadi caleg. Berbeda dengan kader partai politik atau perempuan yang sudah menyiapkan diri ikut dalam pesta demokrasi politik yang telah menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum pemilu.
Perempuan-perempuan yang terjebak ajakan untuk menjadi caleg perempuan akan terbebani ketika memasuki masa kerja partai yang memerintahkan semua caleg dan pengurus partai mencari suara masyarakat. Kita semua tahu bahwa yang namanya politik, sudah pasti ada taktik dan modal untuk membiayai semua kebutuhan politik. Misalnya, biaya kampanye, seperti cetak kartu nama, spanduk, baliho, bener dan biaya pemasangannya yang terjadi diakpangan besar biaya pemasangan dari pada biaya cetak spanduk. Sebagaimana kita ketahui bahwa maju menjadi calon legislarif membutuhkan modal yang besar untuk menyiapkan segala kebutuhan kampanye dan pengumpulan atau perolehan suara. Berapa banyakkah perempuan yang sanggup membiayai biaya politik yang selama ini juga penuh nuansa money politic?Cukup berat bukan?
Cukup berat memang. Apalagi dalam konstalasi politik perempuan yang bila dilihat dari aspek historis, perempuan sebenarnya dalam dunia politik berada pada garis start yang berbeda dengan laki-laki. Maka, kondisi ini menjadi bumerang buat caleg perempuan, terutama yang terjabak ajakan partai politik. Posisi caleg perempuan bukan pada posisi yang menguntungkan perempuan. Mereka serba salah. Salah satu contoh saja, ketika mereka tidak memasang spanduk, akan dipertanyakan, baik oleh masyarakat maupun oleh pengurus partai politik. Begitu juga sebaliknya, caleg perempuan harus mengeluarkan uang sendiri untuk memajukan partai partai politik karena sebagai caleg. Padahal secara nyata kita lihat, jangankan untuk membiayai itu semua, untuk biaya makan sendiri saja susah.
Anehnya partai seakan lepas tangan dengan permasalahn caleg perempuan yang sudah terjabak dalam partai politik. Seharusnya elit-elit politik melindungi caleg-caleg perempuan yang mau ikut terlibat sebagai peserta pemilu, bukan malah membuat caleg perempuan menderita gara-gara korban jebakan politik elit-elit pengurus partai politik. Semoga pengalaman berpolitik saat ini bisa menjdi pelajaran perempuan yang ingin maju dan terlibat dalam politik saat ini dan di masa yang akan datang. Semoga.
Komentar
Posting Komentar