Alumni SMA Negeri 3 Nagan Raya, Aceh
Pada hari yang dingin aku duduk di bangku kelas. Ku lihat ke arah luar hujan turun sangat deras. Aku meratapi diriku yang sendirian tampa teman. Aku hidup jauh dari keluwargaku. Hal ini telah sering aku rasakan semenjak aku tinggal di ibu kota.
Saat azan berkumandang sering kali air mataku mengalir. Aku teringat masa-masa kecil di desa. Aku beranjak dari bangku ku melangkah menuju mushola yang tidak jauh dari kelasku. Aku mengabil wudhu di keran yang berada di sebelah mushola sekolah. Saat air membasahi wajahku. Seketika hatiku sedih, teringat bayangan saat aku masih bersama ibuku.
Setiap hari sebelum aku merantau ke kota. Ibuku selalu mengingatkan aku untuk segera bangun jika azan telah berkumandang. “Dara! Jangan suka menunda-nunda shalat jika azan telah berkumandang. Bangun jangan sampai ibu cubit nanti.”
Setelah itu aku bangun dari tempatku lalu segera salat. Ibuku sangat senang jika ia melihatku shalat. Ia sering memperhatikan mukenahku. Sebelum aku shalat ia sering mengingatkan aku jangan sampai rambutku terlihat sehelaipun. Jika aku hendak memakai mukenah ia sering memperhatikan apakah aku betul cara memakai mukennahnya. Sungguh ibuku sosok yang tidak bisa ku gambarkan kasih sayangnya padaku. Walaupun aku hidup tanpa pernah merasakan keistimewaan seperti anak-anak yang lain. Tetapi dalam kehangatan yang sederhana ini aku merasa hidup paling bahagia di dunia.
Namaku Dara Safira. Aku adalah seorang maha siswi yang berasal dari keluarga kurang mampu. Aku memdapatkan biaya siswa dari pemerintah. Oleh sebab itu, aku dapat bersekolah di sekolah para bangnsawan ini.
Disini aku punya seorang sahabat bernama Cut Zahra Lativa. Dia merupakan putri dari kelarga bangsawan Aceh. Aku sangat senang bisa menjadi sahabatnya. Sifatnya yang anggun dan lembut membuatku sangat mengidolakannya. Namun walaupun wajah Zahra cantik. Ia punya masalah dengan kejiawaannya . Ia sering di buli oleh orang-orang karena kekurangannya itu. Masih sangat teringat dalam ingatanku awal pertama aku dan zahra dekat dan menjadi sahabat hingga sekarang.
Pada hari itu aku berdiri di balik jendela lantai dua kamar asrama yang aku tempati. Tepatnya jam 2 malam. Aku menikmati pemandangan indah sebuah istana megah yang lokasinya berhadapan dengan jendela kamarku.
Istana megah tersebut berbentuk rumah khas Aceh. Lampu cantik mengelilingi kebun besar dan sebuah pemandangan air mancur besar di sebelah istana menyempurnakan kemegahan istana tersebut. Aku membayangkan betapa indahnya kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Tidak lama kemudian aku melihat dua orang perempuan keluar dari pintu istana. Terlihat jelas saorang wanita menampar wajah perempuan yang satunya lagi. Kemudian ia menariknya menuju ke luar gerbang istana. Sang perempuan menangis melihat ke arah wanita yang mendorongnya sambil memegang koper besar. Lalu sang wanita yang satu menutup gerbang istana. Perempuan yang satu lagi berjalan ke arah jalan raya.
Aku terkejut melihat pristiwa itu karena aku sendiri tidak pernah menyangka angota kerajaan akan berbuat sekeji itu. Kemudian aku berlari ke arah luar mencari keberadaan sang perempuan yang ditelantarkan tersebut.
Tak lama kemudian aku menemukan sang wanita. Wanita tersebut sedang menangis di pingir jalan. Aku tidak tega melihatnya. Aku putuskan untuk mengajaknya tinggal di tempatku. Ia pun menerima ajakan ku. Wanita inilah yang merupakan sahabatku zahra.
Zahra diusir oleh saudara tiri perempuannya dari rumahnya sendiri. Ayah dan ibu zahra tidak mengetahui hal tersebut karena kejadiannya terjadi pada tengah malam. Saat seluruh anggota keluarga kerajaan telah tertidur pulas. Ibu dan ayah zahra tidak pernah memperhatikan zahra dengan kasih sayang sebab mereka telah lama berpisah sejak zahra masih berumur 1 tahun.
Setelah hari itu kami tinggal dalam satu asrama hingga akhirnya ia kembali pulang keistana diajak pulang oleh ayahnya dan peerilaku saudara tirinya tersebut terbongkar. Semua orang termasuk ibu zahra sangat marah terhadap saudara tiri zahra tersebut.
Aku sadar, walaupun hidupku sepi. Tetapi aku tidak pernah merasa kesepian seperti yang dirasakan oleh sahabat ku zahra. Meskipun aku aku jauh dari keluarga ku namun aku tidak pernah di perlakukan dingin oleh mereka. Keluargaku di desa sering menanyakan keadaan ku. Bahkan sesekali mereka menjengukku ke asrama membawakan buah-buahan dan makanan enak jika musim maulid atau acara keluarga. Ibuku sengaja membawakanku makanan-makanan tersebut agar aku ikut merasakan kehangatan di desa kelahiranku. Aku baru mengerti bahwa sendirian bukan faktor penyebab kesepian. Tetapi kesepian datang di jika kamu berada di antara keramaian namun tidak ada sorang pun yang memperdulikanmu.
Komentar
Posting Komentar