Oleh Agam Ramadhan
Amanah ekologi? Ketika hidup menjadi miskin dan kerusakan di masa depan adalah urusan masa depan. Di saat utang Indonesia yang terus menggelembung, sedang kemiskinan merajalela, Pasal 33-34 UUD 1945 hanya pembohongan atas dalih negara hukum. Yang nyata hanya para penjilat alam dan perusak alam, karena kesejahteraan hanya milik para penguasa dan pemilik modal.
Dengan dalih hukum, Indonesia menorehkan konstitusi yang jauh dari konsistensi. Hanya menjadi espektasi yang tak realistik! Sebagaimana pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Padahal, realitas membuktikan bumi, air dan kekayaan alam Indonesia dikuasai asing (post kolonialisme) dan dipergunakan untuk kemakmuran negerinya atau dirinya sendiri, walaupun sistem yang dipakai berkedok Multinasional Corporation (MNC).
Hanya saja, diskursus tulisan ini akan lebih fokus terhadap penambangan emas ilegal yang terjadi di Indonesia, di provinsi Aceh, dan khususnya di Gunung Halimon—sebutan gunung yang ada di daerah bukit barisan Pidie. Lembah gunung ini meliputi Geumpang, Tangse dan Mane—yang merupakan pusat penambangan emas rakyat. Konon berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat setempat.
Kabar gembira sekaligus duka yang menimpa Gunung Halimon, mulai bising sejak tahun 2007. Kabar kebisingan ini terus berlanjut sampai sekarang. Wilayah yang menjadi jajahan para pemilik modal ini, berada di Kecamatan Geumpang dan Kecamatan Mane Kabupaten Pidie. Kawasan pertambangan emas ilegal ini, menjadi hulu beberapa sungai yang mengalir ke arah utara maupun barat, seperti hulu Krueng Geumpang yang mengalir tidak hanya di Pidie, melainkan sampai ke arah Krueng Teunomyang ada di Aceh Jaya. Dari sini pula, kaya dan kematian dipertaruhkan.
Para penambang
Penambang emas ilegal di Gunung Halimon adalah masyarakat dari wilayah Geumpang, Tangse, Mane dan penduduk Pidie pada umumnya, atau pun dari wilayah di luar Kabupaten Pidie. Hal tersebut tergantung dari siapa pemilik modal.
Sinarpidie.co(4/09/2018) mengutip pernyataan M. Nur Walhi Aceh dari Merdeka.comdari hasil wawancaranya dengan warga di sana, pemilik tambang adalah para pengusaha SPBU, oknum pejabat, oknum TNI/Polri dan juga oknum pengurus partai politik. Dengan adanya para aktor ini, akan janggal jika pertambangan ini dihentikan oleh pemerintah Pidie, apalagi jika oknum TNI/Polri yang berada dibaliknya. Ironis, lagi-lagi pasal 33 ayat (3), hanya menjadi cita-cita yang sejatinya hampa.
SedangMongabay.co.idpada 2014 (27 Desember) mengungkap sosok koordinator tambang emas sekaligus salah satu pemilik modal pertambangan emas ilegal di Geumpang, Tangse dan Mane, yakni Muhammad Natsir. Dari serpihan tambang ilegal ini, mereka membentuk organisasi sendiri untuk mengawasi tambang, siapapun yang masuk dan keluar ke wilayah tambang, dipantau oleh Muhammad Natsir dan rekan-rekan panitia lain, mereka mencakup para pemilik modal dan para pekerja dari perwakilan pemilik modal. Sehingga tidak heran jalanan aspal sudah masuk kedalam hutan wilayah pertambangan.
Walhi Aceh mencatat ada sekitar 800 pekerja tambang emas ilegal di wilayah ini (Media Indonesia, 4/10/2017). Dengan jumlah sebanyak itu, seberapa besar kebutuhan yang harus mereka penuhi setiap harinya? Seberapa banyak alam yang asri tersebut akan menerima sampah dan keberutalan nafsu harta mereka? Apalagi sistem pemisahan molekul emas menggunakan logam berat, seperti air raksa (merkurium), sianida, dll.
Akibat Tambang
“Telah tampak keruskan di darat, di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Q.S Ar-Rum:41.
Janji Tuhan itu pasti, karena inilah realita sesuai ajaran islam. Gunung Halimon mulai murka karena perbuatan manusia, perbuatan pertambangan alam yang luput dari amanah ekologi, hingga membawa bencana ekologis.
Bahaya dari tambang ini mulai kersak kersuk setelah ditemukannya ribuan ikan keureuling yang mati di 2 sungai (Krueng) karena keracunan tahun 2014, positif karena pencemaran air oleh limbah merkurium. Mulai dari Krueng Meriam di Pidie sampai ke Krueng Teunom di Aceh Jaya. Hingga akhirnya ekonomi masyarakat yang menjadikan kedua sungai tersebut sebagai sentral kehidupan semakin melarat. Hal tersebeut dikarenakan, ditemukan beberapa warga yang merasa mual, pusing dan muntah setelah memakan ikan Kerlieng menjadi salah satu faktor utama. (nationalgeographic.grid.id, 7/08/2014).
Dampak yang begitu meluas, tidak hanya menimpa manusia, hutan lindung yang berada di kawasan tersebut (Kecamatan Mane atau sentral penambangan emas) mengalami kerusakan yang parah, ikut tergarap ekosistemnya. Dapat ditemukan berbagai lubang yang tidak senonoh, bekas-bekas galian emas yang dibiarkan begitu saja. Membawa melapetaka asal hujan deras, menurunkan semua lumpur kotor dan limbah merkuri ke sungai-sungai kehidupan rakyat.
Pada awalnya, karena galian-galian inilah para penambang meninggal di lokasi, seperti gegara tertimbun dalam lubang galian (akibat longsor), ataupun kekurangan oksigen ketika sedang menggali di kedalaman 30 Meter. Sinarpidie.comelalui kliping pemberitaan, sejak 2013-2018, mencatat 33 penambang meninggal di lubang galian emas yang ada di Geumpang, Tangse dan Mane.
Sedangkan Pemerintah?
Tidak ada keberanian, baik Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pidie, keduanya hanya mengeluarkan himbauan semata. Seperti intruksi Gubernur Aceh 16 Agustus 2014 yang berisi tentang pelarangan penambangan emas menggunakan merkuri, sianida atau logam berat lainnya. Kemudian pemerintah pidie menghimbau larangan terhadap berbagai proses pertambangan di Geumpang, Mane dan Tangse untuk segera berhenti dalam waktu sebulan, terhitung dari 10 Agustus 2017. Kenyataannya, kedua himbauan ini hanya pembohongan belaka, sampai sekarang, aktivits pertambangan masih berjalan bahkan semakin meluas ke pinggiran sungai (Waspada, 5/05/2019) dan pemakaian logam berat seperti merkuri masih merajalela.
Para aktor penambang masih punya kekuatan yang tak dapat ditembus hukum. Penelitian Muliana (2016) Mahasiswa Unsyiah dalam bentuk skripsi yang melihat kebijakan untuk mengatasi penambangan emas ilegal di Kecamatan Mane, mengungkapkan ketidak mampuan pemerintah Pidie dalam membuat kebijakan untuk mengatasi problematika pertambangan ilegal di wilayah tersebut. Bahkan pemahaman masyarakat tentang dampak dari tambang emas ilegal tersebut masih sangat rendah. Masih menjadi wacana pemerintah akan membuat peraturan dan teguran terhadap yang melanggar.
Lucunya, kepolisian setempat, polsek kecamatan Mane dan Polsek Kecamatan Geumpang hanya jadi penonton saja. Keamanan rakyat yang menjadi penambang tidak ada artinya, padahal korban yang berjatuhan setiap tahunnya terbukti begitu nyata. Hanya saja, semoga mereka tidak ikut andil sebagai perusak, pemilik modal ataupun aktor yang membantu memuluskan berbagai kerusakan alam di pertambangan emas ilegal, sudah cukup di illegal loggingsaja ya! hmhmhm.
Solusi alternatif
Sejatinya pemerintah sudah harus berpikir kritis untuk meningkatkan perekonomian rakyat, tidak hanya terjebak dengan peluang industri pertambangan ataupun perkebunan sawit. Karena tidak semua industri ekonomi kreatif mendatangkan limbah berbahaya, misalnya seperti industri rumahan, ataupun industri masyarakat setempat.
Selayaknya di wilayah tambang emas ini, semua elemen masyarakat yang sudah terlibat maupun belum terlibat diberikan pemahaman atas bahaya dan keruskan lingkungan jika salah dalam pengelolaan tambang emas. Hanya saja, akan lebih hidup perekonomian wilayah Geumpang, Tangse dan Mane apabila dibuat aturan mengikat atas kepemilikan pertambangan, tidak lagi menjadi milik para pemilik modal, melaikan dikelola oleh Badan Usaha Milik Aceh (BUMA), ataupun Badan Usaha milik Gampong (BUMG).
Pemerintah dapat membagikan wilayah pertambangan untuk setiap gampong, ataupun tergabung dalam kemukiman. Hal ini akan membuat perekonomian wilayah ini sejahtera. Syarat utamanya adalah tidak memberikan izin terhadap penambang yang berasal dari luar daerah, cukup bagi masyarakat yang ber-KTP asli di Kecamatan Mane, Geumpang dan Tangse saja.
Pengolahannya dapat menggunakan metode Manado yang sudah terbukti lebih bersahabat. Metode manado menggunakan ijuk sebagai pemisah molekul emas, bahkan hasil yang didapat lebih banyak ketimbang menggunakan air raksa. Seperti yang dilakukan di Kalimantan Tengah (Mongabay.co.id). Tidak hanya membuat perekonomian warga sekitar makmur, namun membuat dampak kerusakan ditekan seminimal mungkin. Hanya saja perlu dukungan dari para elit kecamatan, elit gampong dan elit pemodal yang asli dari wilayah tersebut.
Solusi ini dapat berjalan apabila pemerintah punya keberanian untuk membuat privatisasi khusus untuk wilayah ini. Tidak dibolehkan oknum-oknum pemilik modal dari luar wilayah ikut andil, ataupun oknum TNI/Polri yang memiliki kekuatan yang lebih besar secara politik kemanan. Semoga benar-benar menjadi pemerintah, bukan budak para pemodal dan aparat korup!
Agam Ramadhan
Penulis adalah alumsi Sekolah HAM Aceh angkatan ke-7 dan sekarang sebagai siswa Sekolah Lingkungan WALHI Aceh
Komentar
Posting Komentar