Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Banyak sekali agenda atau pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim pada periode 2019-2024 ini. Sebagai menteri termuda dan katanya tidak memiliki latarbelakang pendidikan untuk mengurusi dunia pendidikan, ia memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. Di pundaknya, di satu sisi harus menjalankan visi dan misi Presiden Jokowi untuk menjadikan pengembangan sumber daya manusia (SDM) unggul menuju Indonesia emas 2045 sebagai fokusnya. Ia juga harus membuat kompatan-lompatan kemajuan dalam bidang pendidikan nasional dalam menyikapi adanya disrupsi teknologi dan manajemen pendidikan nasional. Bukan hanya itu, Nadiem Makarim juga harus mengejawantahkan pesan Presiden agar pendidikan nasional dikelola dengan teknologi, tanpa harus menggeser tujuan pendidikan. Sementara, persoalan-persoalan pendidikan di tanah air, bagaikan gunung es.
Banyak sekali persoalan yang harus diuraikan, karena sudah menjadi benang kusut. Salah satunya adalah persoalan guru. Persoalan guru juga sangat banyak dan salah satunya adalah terkait dengan kualitas guru yang sudah beberapa kalai ganti menteri dang anti kurikulum, kualitas guru juga masih tetap menjadi masalah besar. Kondisi demikian sudah menjadi masalah besar di periode Mendikbud (mendiknas) periode-periode sebelumnya. Buktinya, pada periode Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhajir Efendi memangdang perlu meningkatkan kualitas guru sebagai sebuah langkah strategis untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia. Pada momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mai 2019 itu ada pesan yang dianggap sangat penting, adalah soal kreativitas guru sebagai kunci. Harian Kompas edisi 3 Mai 2019 pun menjadikan berita itu berturut-turut selama dua hari, yakni tanggal 2 – 3 Mai 2019. Mengapa begitu pentingnya persoalan guru ini?
Jawabannya adalah guru memang masih menjadi pemegang kunci penting dalam melaksanakan tugas pendidikan di era kini dan mendatang. Sebagai pemegang kunci penting, guru harus selalu menjadi sosok yang kreatif dalam menjalankan tugas profesinya. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, menuntut guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yakni kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kompetensi professional. Ini adalah standar guru yang ideal menurut undang-undang tersebut, walau masih harus dijabarkan lebih jauh atau lebih mendalam.
Idealnya, keempat kompetensi tersebut sudah dikuasai dengan baik, agar bisa dipastikan para guru memiliki tingkat kreativitas, innovasi dan produktivitas yang tinggi. Alasannya, bila para guru yang memiliki tingkat kreativitas, innovasi dan produktivitas tinggi, pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa bisa lebih cepat tercapai. Namun, ini semua masih mimpi yang masih harus diwujudkan secepatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa ungkapan-ungapan seperti guru menjadi kunci dalam membangun pendidikan yang berkualitas, adalah pameo yang sudah kita dengar sejak dahulu kala. Apalagi, eksistensi lembaga pendidikan formal dituntut tampil menjadi center of excellent, pusat layanan unggulan yang menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, serta sebutan guru sebagai agent of change, sumber inspirasi, pantaslah guru selalu dituntut memiliki kreativitas yang tinggi. Tuntutan itu selalu menggema, akan tetapi gema itu membahana tanpa ada kepastian seperti apa pencapaiannya. Sementara guru-guru yang kreatif tetap menjadi kebutuhan bagi dunia pendidikan.
Sayangnya, guru-guru yang memiliki tingkat kreativitas dan inovasi tinggi semakin jauh dari harapan. Maka, Prof. Muhajir Effendi sebagai Mendikbud saat itu, merasa perlu melakukan pelatihan guru yang sistematis, untuk memenuhi kebutuhan akan guru-guru yang harus memiliki ke empat kompetensi seperti disebut. Lalu, pilihan pelatihan yang cocok dan sesuai dengan kurikulum 2013 adalah pelatihan yang ditujukan untuk mengisi kebutuhan akan terlaksananya Kurikulum 2013 yang berbasis Penalaran Tinggi ( higher order thinking skills yang disingkatkan dengan HOTS).
Idealnya memang demikian. Apalagi pelatihan yang sistematis itu ditujukan untuk menyiapkan guru yang kreatif untuk melaksanakan kurikulum yang berbasis penalaran tinggi atau HOTS. Sayangnya, program ini bisa saja kandas, ketika menteri Pendidikan berganti. Biasanya, setiap kali ganti menteri, akan ganti kurikulum, termasuk pada periode Nadiem Makarim ini. Banyak sekali alasannya, zaman berubah, pemilik zaman juga berubah yang konsekwensinya, menteri Pendidikan yang sekarang pun harus memiliki visi dan misi milenial. Maka, pelatihan guru yang sistematis dan kurikulum 2013 yang berbasis HOTS menjadi sangat dibutuhkan.
Pertanyaannya, apakah ketika Mendikbud berencana melakukan perombakan pada kurikulum 2013, juga akan melatih para guru? Dapat dipastikan ya. Mengapa demikian? Yang pasti, pelatihan atau training merupakan kegiatan yang secara ideal bisa meningkatkan kapasitas guru, untuk membangun dan meningkatkan ke empat kompetensi yang disebut di atas. Oleh sebab itu, ketika Mendikbud, Nadiem Makarim mengundang organisasi guru seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan PGRI maupun organisasi guru lainnya, masukan-masukan diberikan adalah program peningkatan kualitas guru lewat pelatihan, workshop dan lainnya. Ini Ada kebutuhan akan pelatihan guru yang sistematis itu sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pendidikan.
Nah, ketika kegiatan pelatihan guru yang sistematis tersebut harus dan penting dilakukan lagi, maka ada banyak hal yang harus segera dibenah oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) harus melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan kegiatan peningaktan kualitas guru melalui berbegai program, terutama lewat kegiatan palatihan atau penataran itu. Sebab selama ini banyak sekali kritikan dan suara miring tentang penataran guru tersebut, karena penataran guru tersebut tidak berjalan ideal. Ya tidak membuat para guru yang mengikuti pelatihan atau penataran tersebut menjadi cerdas. Begitu banyak distorsi dan disorientasi dalam pelaksanaan pentaran. Berbagai praktik ketidakjujuran terjadi. Banyak kasus manipulasi waktu proses penataran, misalnya kegiatan yang seminggu, dipersingkat menjadi kurang dari saru minggu. Program penataran pun lebih cendrung menjadi proyek peningkatan kapasitas guru. Bisa dikatakan bahwa selama ini kegiatan penataran guru tidak berbasis data yang valid, sehingga peserta pelatihan tidak merata kepada semua guru. Ada guru yang secara terus menerus mengikuti penataran, ada pula yang terus tertinggal dan luput dari perhatian. Penataran guru juga tidak berbasis kebutuhan guru. Ditambah lagi, pola penataran atau lepatihan masih berkutat pada paradigm lama, sehingga penataran dan pelatihan guru terasa tidak mencerdaskan. Belum lagi orientasi guru yang ikut pelatihan tersebut melenceng dari tujuan pelatihan yang hakiki.
Jadi, kini saatnya yang tepat bagi Kemendikbud mengevaluasi semua program dan kegiatan pelatihan guru yang sudah dilakukan selama ini. Ini penting, karena bukan hanya untuk mengetahui seberapa urgennya pelatihan guru, tetapi juga, mengidentifikasi segala kelemahan atau kesalahan yang terjadi dalam program peningkatan kualitas guru yang kita sebut dengan penataran, latihan atau juga bimbingan teknis dan workshop itu.
Kedua, selama ini pemerintah sudah mengucurkan begitu banyak dana untuk mengadakan kegiatan penataran guru, apakah pelatihan atau penataran yang dilakukan sepanjang tahun tersebut telah memberikan dampak positif berupa perubahan yang signifikan? Bila tidak, maka perlu diteliti, agar program peningkatan kapasitas guru tidak sia-sia.
Ketiga, paradigma dan metode pelaksanaannya harus diubah dan bahkan harus diluruskan untuk masuk ke jalur pelaksanaan pelatihan guru yang benar dan berada pada track yang sesungguhnya. Karena selama ini, yang namanya pelatihan (training) yang dalam hal ini disebut penataran itu, bagai kegiatan yang mubazir dan sia-sia.
Ke empat, perlu ada system atau mekanisme control terhadap jalannya program pelatihan guru yang sistematis tersebut. Ini diperlukan untuk menjamin agar pelatihan guru bisa berjalan dengan baik dan jujur, serta tidak semata mengejar keuntungan proyek.
Ke lima, pelatihan guru harus dirancang sedemikian rupa, menjadi pelatihan yang berbasis data yang valid, berbasis kebutuhan guru dalam pencapaian visi dan misi pendidikan, dan dengan paradigm baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kurikulum yang berlaku. Tentu masih banyak hal yang harus dibenah agar pelatihan guru yang sistematis tersebut bisa dilakukan dengan baik dan jujur, serta berdampak besar terhadap peningkatan kapasitas dan kualitas guru kreatif, inovatif dan produktif dalam menghadapi disrupsi dan masa depan generasi bangsa ini. Kita yakinMendikbud, Nadiem Makarim akan mengevaluasi program peningkatan kapasitas guru ini, karena peningkatan kualitas guru adalah kunci.
Komentar
Posting Komentar