Oleh Riazul Iqbal
Guru SMP Swasta Sukma Bangsa Pidie, Aceh
Semua Pahlawan/orang sukses itu lahir di keluarga yang sederhana sampai keluarga menderita, kecuali Batman dan Ironman? Saya melihat Kante dan Gabriel Jesus, anak yang hidup di jalan. Hidupnya pedir, harus menjadi pekerja bangunan, tetapi fokus pada hobinya bermain bola sampai dipakai di starting eleven ole Liga utama Inggris.
Aku bertemu sahabatku baru-baru ini di Jantho, Intelektual muda yang sejak kuliah sudah menghafal kata-kata sulit di kamus, beristrikan seorang pekerja sosial yang mengabdikan diri memberikan sekolah kepada anak-anak pemulung di Gampong Jawa, Banda Aceh.
Dalam sekelebat bicara kami, aku menyerap darinya kalau semua anak itu spesial, baik anak orang kaya ataupun anak pemulung. Hanya berbeda treatment saja ole orang tua mereka. Mungkin orang tua anak orang kaya mengerti akan pendidikan dan supaya tidak susah menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit dan mendapatkan guru-guru yang bagus.
Bagaimana dengan orang miskin dan orang tua mereka juga ‘miskin’ akan kepahamannya terhadap pendidikan? Anakku asal sekolah saja sudah cukup, bagaimana kualitas sekolah itu, bagaimana gurunya dan bagaimana perkembangan anaknya hari-harinya di sekolah, dia tak peduli. Kalau anaknya tidak sekolah atau tidak naik kelas, anaknya akan dimarahi habis-habisan.
Maka timbullah niat kawanku Aiyub dan Istrinya Maulidar mengajarkan literasi pada anak pemulung. Kalau sebelum mereka datang, anak-anak ini ‘mungkin’ belum bisa membaca dan memahami kalau semua anak itu spesial. Mereka pasca doktrin literasi, anak-anak yang kurang beruntung ini jadi berprestasi di kelas. Walaupun kalau berbuat salas, nanti dimarahi guru dan orang tua dan membuat mereka malas bersekolah lagi.
Anak semua spesial, jika dia menemukan guru yang paham akan anak dan tidak melarang bakatnya. Kasihan sekali para seniman kehidupan dipaksakan menjadi yang tidak mereka inginkan. Literasi baca membuka pintu bagi mereka untuk melihat kemana arah mereka di masa depannya. Itu adalah hal yang diterapkan di keluarga Piyeung. Kalau tak salah tangkap dari status seorang anak Piyeung, ayahnya dulu di lemari buku rumahnya menyediakan banyak sekali buku berbagai macam ilmu, untuk anaknya.
Anaknya disimulasikan untuk gemar membaca dari kecil, kadang membawa ke toko buku dan kadang membacakan pada anaknya cerita sebelum tidur atau sesudah bangun. Sehingga anak-anak mereka dari yang paling besar sampai paling kecil dapat mengejar passionnya dari kecil. Anak yang paling besar jadi Dosen, filosof dan Pakar Hukum, anak selanjutnya jadi Humas dan anak selanjutnya lagi menjadi presenter TV dan tak ada paksaan dari ayahnya mereka harus jadi apa, sehingga mereka bahagia menjalani karir masing-masing.
Sekolah juga masih ada yang tidak pro dengan minat dan bakat anak-anak, masih dikatakan nakal anak yang suka mengambar di buku catatannya. Padahal, siapa tahu dia keturunan pengukir ornamen di rumah adat Aceh yang sudah hampir punah belakangan ini. Anak yang suka nyanyi dibully kalau salah sedikit not dan baling suaranya dan anak yang berani selalu dia-dia saja yang disuruh.
Yang dipuja puji guru adalah anak yang tak mau ambil risiko, anak yang bled-in (seperti anak biasanya) melakukan hal-hal biasa dan jadi orang biasa, tak boleh beda dengan orang lain dan menjalani hidup seperti orang-orang semestinya, dan mati tanpa karya, tanpa kenangan yang begitu berarti bagi semesta.
Komentar
Posting Komentar