dok.Landscapeindonesia.com
Oleh : Malisa Aini Alasa
“ Manusia kerap kali tidak menyadari hal terbaik yang telah diperolehnya, selalu ingin seperti dan memperoleh apa yang didapatkan orang lain. Ketidaksadaran itu cenderung membuat timbulnya rasa tidak bersyukur serta menuntut kekurangan diri sendiri. Namun, di tengah sifat seperti itu, ternyata tuhan masih menitipkan cahaya-Nya di relung kalbu orang-orang pilihan. Terkadang mereka hanya belajar dari ‘tiga kata’, tatapi bisa menganalisis dan mempelajari diri juga lingkungannya”. Siap sudah kata-kata bijak yang kudapat hari ini dan biasa kutulis sebelum tidur di sebuah buku pemberian kepala sekolah ketika aku menduduki bangku SMA dulu.
‘Bait-bait motivasi’, buku yang menjadi motivasi kedua setelah foto keluarga yang kuberi nama ‘kunci motivasi’. Buku ini sangat berarti bagiku. Betapa tidak, di dalamnya terdapat gambar-gambar tamanku,saat kami kelas satu SMA yang kelihatan sangat polos juga foto pahlawanku. Kami memanggilnya Ama(ayah) dan Ine(ibu). Mereka guru yang menempa kami hingga menjadi seperti sekarang ini. Pesan terakhir kepala sekolah kurangkai di halaman pertama ‘bersinarlah wahai mutiara’. Bukan hanya itu nasehat serta motivasi juga masukan dari teman-teman dan kakak kelas telah menjadi bagian dari buku ini.
Satu bulan sebelum acara perpisahan sudah membuat kami merasa akan kehilangan. Jalinan keluarga yang kami rajut dua tahun lalu, kini telah menjadi sebuah ikatan yang sangat erat sampai kiamat sekalipun. Kami berusaha saling menampakkan keceriaan, meski masing-masing di balik wajah dan hati sangat jelas tergambar kepedihan. Ujian nasional bukan menjadi kekawatiran, tetapi moment yang akan mengingatkan semakin dekat dengan hari di mana akan meninggalkan keperihan hati yang tidak dapat digambarkan. Sebentar lagi kami rasakan, merasakan detik-detik menjelang hari itu saja terasa sangat menyayat, bagaimana nantinya di hari H? Wallahu’alam…
Bernaung di bawah payung asrama selama tiga tahun, selama itu juga berbagai rasa dan pelajaran kami rasakan bersama. Persaudaraan dan kekeluargaan yang kami rajut sangatlah erat. Kedekatan bersama guru mengobati kerinduan terhadap orang tua di rumah. Kegiatan yang ditentukan selama dua puluh empat jam selalu dipantau oleh beliau, berbagai aturan asrama diberlakukan. Semua itu tidak membuat kami bosan, apalagi untuk menentangnya, tetapi dengan menjalaninya bersama dengan ikhlas justru menimbulkan persaudaraan, kebersamaan, saling menyayangi. Ikatan batin yang kuat, rasa sedih,senang, haru senyum,tawa, benci, cinta, dan sayang kami jalani telah mengubah bosan itu menjadi kebiasaan. Kebiasaan itulah menemukan kami dengan jati diri, juga menjadi ciri khas siswa SMAN Seribu Bukit.
Selama dua puluh empat jam berbagai pelajaran telah menempa kami menjadi “manusia”. Kemampuan menguasai pelajaran akademik dan ilmu pengetahuan lainnya tidak cukup membuat seseorang menjadi pintar, mengerti orang lain bahkan mengerti pada dirinya sendiri. Masih ada hal penting yang diikut sertakan di sela-sela berbagai macam ilmu yang selalu ingin dikuasai manusia. Itu adalah hati, hati yang harus disesuaikan dengan pikiran serta pikiran harus diletakkan di bawah hati itu sendiri.
Berbagai pelajaran melalui kegiatan kami sehari-hari yang tanpa disadari selalu diberikan guru di sela-sela kebersamaan kami, bersama beliau telah menuntun agar dapat menemukan dan menggunakan hati beserta pikiran. Hati dan pikiran yang akan mengubah Gayo Lues, Aceh, Indonesia, bahkan dunia sekalipun. Insya Allah...
***
Waktu tidak dapat diajak kompromi untuk memperlambat dirinya. Kini ketabahan dan ketegaranlah yang terus berusaha menghibur hati yang semakin teriris melihat orang nomor satu berdiri di atas pentas. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bangga. Selama dua puluh tahun menjadi pendidik tidak pernah mengatakan bangga kepada siswanya, akhirnya kata itu terucap di saat waktu hanya tersisa dua puluh empat jam bersamanya.
Bersama sambutan itu, pikiranku melayang kedua tahun yang lalu. Setelah mengantar ke asrama orang tuaku pamit pulang. Aku bisa membaca aura kesedihannya, meski merasa sama kuusahakan menutupinya. Melewati gerbang SMA N Seribu Bukit, artinya kita sudah siap dengan sederetan aturan juga sanksi jika melanggranya.
Jam lima kurang, Kepala asrama menghidupkan serunai tanda bangun pagi. Aku mengumpulkan seluruh tenaga untuk beranjak dari tempat tidur. Awalnya memang sulit, tetapi setelah berlangsung lama teman-teman dan senior kerap kali memintaku membanguni mereka sebelum suara serunai menari-nari di setiap sudut asrama putri. Entah, aku sendir tidak mengerti setiap jam empat pagi mataku terbuka dengan sangat ringan, meski tiada yang membangunkan
Satu bulan ini aku tidak melihat dunia luar. Yang ada hanya kegiatan kami satu persatu menghampiri kantor, kelas, asrama putri dan putra, perpustakaan, lab biologi, fisika, kimia, matematika,bahasa (Inggris, Arab, Indonesia dan Mandarin), lab computer, aula, dapur,ruang makan, kantin, rumah guru, kepala asrama, lapangan bola volly, dan tempat tongkrongan di sore hari kami beri namanya” balai percinongan”.
Letak sekolahku sejauh tiga km dari pusat Gayo Lues, di kaki gunung Leuser dan dikelilingi oleh jurang. Pada hari minggun aturan tidak diberlakukan, bebas melakukan apa saja (dalam hal positif). Jika hari ini tiba, aku menghabiskan waktu di perpustakaan, lab computer, nonton di lab bahasa atau duduk di tempat favoritku di belakang masjid di tepi jurang. Jika memandang ke bawah, terhampar berbagai macam tumbuhan tropis, terlihat sangat indah. Jika memandang lurus, aku menyaksikan deretan pinus di sebelah jurang ini dan jika melihat ke atas, akan tampak gunung yang berada di bawah langit biru.
Tiga bulan sekali ada acara malam kreativitas seni. Di sini bebas mengekspresikan jiwa. Banyak acara yang ditampilkan. Aku biasanya ikutan menari, yaitu (tari bines, aunen,canang berok, nayu,zapin dan tarian yang kami ciptakan sendiri tari ‘ngaro’), musikalisasi puisi,drama,dan teater. Malam itu yang ada hanya tawa dan senyuman. Kepala asrama tidak memperbolehkan kami memegang buku ketika acara ini berlangsung.
Lantas, “bagaimana dengan dekorasi pentas?” Sedangkan sekolah kami jauh dari pusat kota. Solusinya kami turun ke jurang mengambil daun pinus, pohon bambu, dedaunan yang lebar dan indah, tumbuhan menjalar, bunga paku, bunga pisang dan aneka warna bunga liar. Sangat cantik. Sudah sepuluh bulan aku tidak menyaksikan semua ini..
Menghabiskan hari-hari di asrama, menjalani kegiatan yang telah terjadwal. Aku hampir sama sekali tidak memikirkan dunia luar. Di setiap sudut asrama, hanya menyaksikan anak manusia dan buku, di kelas, kantin, bawah pohon, masjid, asrama, dan duduk di tepi jurang semuanya “tiada hari tanpa buku”. Agus yang sering menjadi wasit bola volley masih menyempatkan membaca di tengah runtunan smash para pemain. Malam hari kami belajar di kelas sampai pukul 10. Beberapa teman cowok kerap kali mengganggu. Keseriusanku hilang dan terjadi kejar mengejar di dalam kelas. Semua tertawa, bahagia, lepas tanpa beban. Terkadang sifat kekanak-kanakan membuat kami lupa duduk di kelas 3 SMA. Aku sendiri heran, selama kuliah sifat ceria itu hilang. Yang ada hanya diam dan belajar. Dalam pikiranku selalu melintas jelas bayangan sahabat yang tidak pernah tergantikan.
***
Tepukan tangan para wali murid dan siswa mengakhiri sambutan kepala sekolah. Setelah orangtua kelas XII pulang, acara masih dilanjutkan dengan beberapa tampilan junior-junior kami hingga larut malam.
Luapan akhir segala rasa tertumpah pada sujud terakhir di masjid, ketika melaksanakan salat safar (salat perjalanan jauh). Suara tangisan memenuhi ruangan ini. Sangat berat rasanya melepas pelukan, juga jabatan tangan teman-temanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya saja air mata yang berlomba-lomba membasahi pipi. Mengatakan pesan, maaf, dan harapan terakhir pada semua sahabat di teras masjid sederhana itu.
Aku menyadari setelah perpisahan ini, di luar sana sudah menunggu deretan dan tantangan yang akan menentukan bagaimana aku enam hingga setelah sepuluh tahun ke depan. Syukurlah, hingga saat ini (kuliah) motivasi masih selalu kudapatkan, meski melalui perantara HP, sudah membuatku sangat kuat di sela masalah yang bertubi-tubi.
“Saudaraku….., setelah melintas gunung perjuangan di sekolah yang dikelilingi tamannya yang agung, kakiku menapak jejak-jejak yang tak tampak. Malam bagiku adalah irama degup jantung pencarianku yang seperti tak ada ujung, sementara matahari tak jemu merayuku, walau galau wajahku membayang di tepi sebuah pintu. Cakrawala itu luas sekali wahai saudaraku, nantikan setelah gerimis reda, kau naiklah meniti pelangiku warna-warni. Setelah kepal tangan kukayuh perahu bersama basah pelupuk mata, kujatuhkan tetesan air yang menyatu pada gerimis pelangimu. Setelah nelangsa sudah aku pada cakrawala, yang menghampar di depan mata, tinggalkan jejakku yang tak beraturan saat kukejar selendang jingga. Pelangi yang selalu kucari setelah itu,, rinduku padamu sahabat membuncah pada fikir yang tak bisa kucerna karena ternyata aku hanya sebuah nama. Kuingin rangkuh semua asa yang pernah menjelma, adakah kita sahabat penerus generasi penegak kehormatan tak gentar diterpa badai, tak luruh disapu topan? Kita adalah permata yang selalu hadir bawa sejuta mimpi dan asa bilakah cita kan teraih melihat ayunya dibalut cahaya iman”.
Komentar
Posting Komentar