Langsung ke konten utama

Memimpin Bangsa, Buku, Visi dan Pendidikan



Oleh Ahmad Rizali

Berdomisili di Depok, 

 

Menganggur, meskipun seorang sahabat mengatakan "haram hukumnya" memicuku membayar utang membaca berbagai buku yang "  kujanjikan dalam hati" akan kubaca, jadilah entah berapa puluh ribu halaman sudah kuhabiskan membacanya. 

 

Menggagas dan menemani kawan kawan dalam Gernas Tastaka membuatku tercebur membaca esai pendek, jurnal hingga buku tebal tentang "Learning"bagaimana manusia belajar menurut ahli sains yang memelajari otak. Bagaimana otak menusia belajar matematika, apa dampak cara pembelajaran yang buruk dan lain sebagainya. 

 

Aku pun terpaku dengan begitu banyak data statistik tentang kinerja murid Indonesia dalam membaca, sains dan matematika di jenjang SD/MI. Berpuluh laporan studi yang saling mendukung hasil dalam angka angka itu. Semuanya membuatku dan kawan-kawan semakin yakin ada masalah dalam pembelajaran ketiga "ilmu alat" dasar itu dan haqqul yaqin pilihan menerjuni Gernas Tastaka.

 

Ketika iseng mencari bacaan yang lebih menghibur dan jelas buatku adalah cerita silat, alamak, kesasar dan jatuh cinta dengan kisah Pendekar Tanpa Nama, karya Seno Gumira. Pentalogi yang masing-masing berhalaman 1000an ini ternyata bersilatnya hanya alurnya saja, isinya lebih banyak filsafat dan telaah serta tafsir ajaran Hindu dan Budha serta sejarah Mataram dan Sriwijaya abad ke 6 dan 7 dan kerajaan- kerajaan di Asean serta kekaisaran Tiongkok jaman dinasti Tang. 

 

Buku ini seakan menjadi pemicu dan penerang ketika membaca buku tentang perbandingan pendidikan di Cina dan USA yang ditulis pendidik imigran Cina dari Universitas Michigan. Tulisan Seno tentang bagaimana kaisar Cina menyeleksi pegawai terbaiknya dikisahkan kembali oleh Prof. Zhao dalam buku "Catch Up or Leading The Way". Aku semakin faham konteks ujian jaman Kaisar dan ujian di jaman modern ini yang sudah out of context.

 

Sebelumnya, sudah kukhatamkan "Finnish Lessons" Pasi Sahlberg, sebuah kisah sukses negeri kecil di Skandinavia yang terbelakang dan berubah dalam berpuluh tahun menjadi negeri makmur berbasis iptek, dengan pendidikan dasar terbaik di dunia. Negeri asal produk telepon genggam Nokia lahir. 

 

Sesekali,  kubaca artikel pendek di medsos tentang penelitian "brain science" dan "Math Education", namun sebuah buku Tahun 2015 yang ditulis seorang pakar akademikus dan praktisi yang bekerja untuk PBB, CIA, FBI, Pentagon, Senat Amerika, Kementrian LN Amerika dan ahli Cina berjudul "100 Years Marathon" seakan akan menjadi sebuah muara sintesis pemikiran bagaimana manusia manusia memimpin bangsanya. 

 

 

Visi

 

Dari semua buku yang aku sebutkan di tulisan sebelumnya, kebesaran sebuah bangsa, baik itu Tiongkok di jaman sebelum kelahiran Isa Almasih, negara superpower di abad ke 7 dan 8, Majapahit di abad ke 14 hingga USA, Tiongkok dan Finlandia di abad ke 20 dan 21, selalu kulihat jelasnya impian pendiri bangsa dan pemimpinnya. Bahkan kadangkala hanya dari sekelompok suku kecil, lantas menjadi sebuah bangsa yang besar. 

 

Tentulah impian yang berbentuk visi ini mereka perjuangkan dengan segala cara, penaklukan tanpa darah, tipu muslihat hingga banjir darah. Perang saudara di Amerika menurut catatan sejarah, membunuh sejuta lebih manusia Amerika di abad ke 17 itu. Revolusi Kebudayaan Mao, selain digerus saat revolusi, kegagalan panen juga membunuh jutaan rakyat Cina. 

 

Namun, tak ada pemimpin besar yang bersih dari cipratan darah dan musuh. Sejak sebelum masehi Alexander Zulkarnain, kaisar Cina pemersatu Shi Huang Ti hingga Gajahmada dengan Majapahit sampai ke perang dingin. Namun seorang pengarang menulis bahwa abad ke 21 adalah abad yang paling sedikit darah tertumpah karena perang. 

 

Visi itu pula yang menyebabkan semua pemimpin nyaris selalu mencari "musuh bersama" untuk menyatukan rakyat yang dipimpinnya. Tidak cukup musuh yang ada di depan mata seperti penyakit menular, kebodohan dan kemiskinan, namun sosok bangsa lain. Tiongkok kuno memiliki musuh bersama Tibet, Uigur dan Mongolia serta Viet. Di era modern menempatkan USA sebagai musuh bersama yang mesti harus menunggu 1 abad untuk dapat mengalahkannya.

 


Sejak Tjokroaminoto hingga Husni Thamrin, Muh. Yamin dan Soekarno, aku yakin mereka terinspirasi dengan kebesaran kerajaan Sriwijaya di abad ke 7 dan Majapahit di abad ke 14. Tiongkok sudah lebih dahulu selalu menarik visi bangsanya dengan filosofi Konfusius yang lahir sebelum Isa as dan dengan menggunakan strategi pencapaian Visi dengan kisah- kisah muslihat perang di jaman Sam Kok yang juga sebelum Masehi. The Art of War karya Sun Tsu diimplementasi dalam konteks masa kini.

 

Saking seriusnya pimpinan Tiongkok membangun negerinya, mereka mematok 100 tahun untuk mencapai tujuan dan menempatkan USA sebagai musuh utama, sekalipun dengan tipu muslihat yang dipelajari dari jaman Sam Kok, USA adalah negeri paling utama dalam membantu pertumbuhan ekonomi Tiongkok hingga sekarang PDB (ppp) sudah menyelip USA. Ujar penulis buku "100 Year Marathon", Tiongkok menipu USA seperti Tom Sawyer menipu kawannya mencat pagar rumahnya tanpa sadar ditipu. 

 

Tiongkok juga menulis ulang sejarah bangsanya dan sejarah USA yang diajarkan di sekolah- sekolah Tiongkok sesukanya dan mayoritas tanpa bukti nyata, bahkan dengan memutarbalikan fakta, hanya untuk "memastikan" USA adalah musuh besar bersama. Pemimpin Tiongkok juga meminjam tangan USA mendiskreditkan Rusia, padahal merupakan sekutu sesama penganut aliran komunis. 

 

Dalam film Gravity tahun 2013, yang dibintangi G.Cloney dan Sandra Bullock, dikisahkan 2 astronot ini akan terancam oleh serpihan dan dampak satelit Sovyet yang dihancurkan dari bumi oleh negeri itu karena sudah tak berguna dan tertolong oleh stasiun Ruang Angkasa Cina. Faktanya, ujar Michael Phillsbury sang pengarang "100 Tahun Maraton", tidak mungkin terjadi, karena Tiongkok tidak akan semudah itu mengijinkan stasiun ruang angkasanya dipakai dan fakta nyata, satu satunya negeri yang menembak hancur satelitnya di orbit dengan senjata dari bumi adalah Tiongkok pada tahun 2007. 

 

Rusia yang sudah mengecil kena diskreditkan via film dan Tiongkok menjadi hero dengan fakta yang sebaliknya. Ternyata persepsi rakyat USA pun sudah termakan propaganda Tiongkok dan Hollywood juga menyasar rakyat Tiongkok agar menonton. Jika fakta yang difilmkan, jelas akan dilarang masuk ke sana.

 

Pemimpin Tiongkok pun untuk menjalankan visinya melakukan semua cara, mencuri, membajal dan memalsu Teknologi canggih USA yang dibuktikan dengan berulangkali penangkapan spion mereka. Seorang spion yang tertangkap adalah insinyur yang bekerja puluhan tahun di dunia Industri penerbangan dan Angkasa USA. Saat digrebek, ditemukan 350.000 halaman dokumen rahasia yang siap dikirim ke negerinya. Aku kagum dengan kesetiaan para Spion itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...