Bagian kedua
Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Idealnya, SPI adalah SPI yang tanpa mengesampingkan cita cita Konstitusi, namun mampu menjawab tuntutan dunia Global. Apakah 8 SNP tidak? Sebetulnya, jika penafsirnya andal dan canggih, maka semua narasinya sudah ada di sana, karena penyusunnya pasti merujuk ke cita - cita Konstitusi. Mengapa saya sebut tafsir, karena meski narasi normatifnya ada, namun harus ditulis jelas. Nah, Standar barulah yang wajib menuliskan.
Kompetensi dasar bernalar sehat (discipline mind, HG 2019) itu tidak ada khilaf, di seluruh dunia sama: cakap dalam bernalar sehat, membaca bermakna dalam bahasa masing-masing dan pemahaman dasar tentang sains. Meski, dalam standar prosesnya wajib diperbaiki dan kontekstual geografis masing masing. Landasan ini akan mewujut pada kreatifitas dan kritis dalam bernalar. Tanpa kecakapan dalam nalar sehat yang dicampur dengan empati, kreativitas dan inovasi sangat sulit (jika enggan menulis mustahil) muncul (Gardner, 5 Minds for Future dan NSA-HPL, 2019).
Acuan standar "generik" agar WNI cakap bergaul dengan sesama (komunikasi dan kolaborasi) dalam batasan (domain) tatanilai universal (Integritas, Kredibel, Kapabel dan Akuntabel) dan dengan negaranya (patriotik) wajib ditetapkan. Sehingga, akan terlihat jelas, Indonesia 1st dan Warga Dunia next. Acuan generik di jenjang Dikdas ini wajib dievaluasi oleh Negara. Terserah lembaga Independen apa yang akan melaksanakan. Yang pasti, tidak elok jika Kemdikbud sebagai pelaksana acuan Standar, mengevaluasi sendiri capaiannya. Kursus Toefl dan/atau ISO, bukanlah evaluator Toefl dan ISO.
Karena generik, maka Negara hanya melakukan evaluasi dampak dan bisa dilakukan paling cepat 3 Tahun sekali capaian SKL nya, meskipun bisa menitipkan evaluasi portofolio ke sekolah. Dari sinilah, jika negara ikut "School of Thought" Forum Ekonomi Dunia (WEF), akan bisa mengetahui perkembangan indeks modal manusia (Human Capital Index) yang lebih kompleks daripada IPM yang hanya mengukur lama sekolah, sedangkan HCI mengukur pula mutu hasil belajar (Learning outcome) peserta didik dan tentu sesekali dampaknya.
Di jenjang SLTA apalagi Perguruan Tinggi, meski ada acuan mutu generik, namun evaluasinya serahkan kepada "EndUser" alias pengguna. Jadi, teruskan kebijakan tanpa UN di SMA/MA/SMK dan meski diluluskan oleh unit jenjang SLTA, namun terserah pengguna untuk mengujinya. Pengguna dan sekolah akan melakukan evaluasi capaian standar Output dan sebagian Outcome. Negara bisa sesekali melakukan evaluasi Learning Impact kepada peserta didik, terutama yang terkait dengan praksis Tatanilai dengan sesama manusia, sesama profesi dan warga negara serta warga dunia.
(Habis)
Komentar
Posting Komentar