Langsung ke konten utama

Empe Tega

 


Oleh : Indra Mardiani, S. Pd

 

Alkisah di sebuah desa di Aceh Besar, hidup seorang perempuan kecil dengan neneknya.Perempuan itu sering disebut dengan Inoeng dan neneknya dipanggil dengan sebutan Empe. Kehidupan mereka sangatlah memprihatinkan, tetapi mereka menjalani kehidupan dengan penuh syukur dan pantang menyerah.


Sayangnya,  keprihatinan tersebut dari hari ke hari semakin tak dimengerti oleh Inoeng. Seringkali ia tidak punya makanan yang bisa dimakan. Inoeng biasanya bekerja mencari kayu bakar ke hutan dan menukarnya dengan beras. Sedihnya, pekerjaan itu tak dapat ia lakukan, karena ia harus menjaga neneknya sakit.


Inoeng, jak kenoe sajan Empe, picet ulee siat,” ( Inoeng, kemari sebentar, tolong pijit kepala nenek,”

“Get, Empe”

Inoeng tak pernah membantah apa yang diminta oleh neneknya. Ketika Inoeng memijit kepala neneknya, ia berdoa dalam hati agar neneknya mau makan dan minum, walaupun hanya air putih yang ada di rumahnya. Selama sakit satu gelas air pun tak habis diminum oleh nenek.

Inoeng sangat khawatir bila itu terus berlanjut. Ia akan tinggal sendiri bila neneknya juga pergi menghadap Yang Maha Kuasa seperti kedua orang tuanya.


Seperti biasa, Inoeng pukul 09.00 berpamitan kepada neneknya untuk mencari kayu di hutan dan berharap dapat menemukan buah-buahan untuk dimakan. Inoeng menyalami tangan nenek yang renta. Kulit yang keriput serta kendor menandakan bahwa usia nenek sangatlah tua.


Nenek tak kuasa melarang Inoeng pergi ke hutan, karena itu salah satu cara mereka untuk bertahan hidup.

“Beu get-get, Inoeng beh,” dengan suara yang bergetar nenek tetap mengingatkan cucunya ketika berangkat mencari nafkah.

“Get, Empe, Assalamualaikum.”


Hampir satu jam perjalanan, Inoeng belum menemukan kayu bakarnya serta buah-buahan seperti yang ia impikan dari rumah, tetapi Inoeng belum berputus asa. Ia terus menelusiri jalan setapak, sampai akhirnya beristirahat di akar pohon rimbang yang sangat besar.


Tatapan matanya terus tertuju pada benda yang berwarna putih di balik daun rimbang.  Inoeng mendekatinya dan …

“Alhamdulillah kameteme boh manok uteun saboh,” ( Alhamdulillah sudah dapat telur ayam hutan satu,”)

“Nyoe raseuki Empe,” (ini rejekinya nenek).


Tanpa berpikir panjang Inoeng bergegas pulang ke rumah. Padahal ia belum mendapatkan kayu bakar, hanya sebutir telur, tetapi hatinya sangat senang.

Tiba di rumah Inoeng merebus telur tersebut dan memberikan untuk neneknya. Tak seperti biasanya nenek yang tidak berselera makan dan minum kini menghabiskan sebuah telur yang dibawa oleh cucunya.


Satu jam kemudian nenek kembali memanggil cucunya untuk membawakan segelas air putih. Sungguh girang hati Inoeng, karena nenek sudah mau minum air putih, bahkan menghabiskannya.

Ternyata hal itu terus terjadi. Satu jam sekali nenek meminta untuk dibawakan air minum. Tiga hari berlalu kesehatan nenek terus membaik.  Nenek lebih kuat dari biasanya.


Nenek hanya minta air, ia tak pernah meminta nasi. Hal ini membuat Inoeng curiga. Apakah neneknya terjangkit penyakit baru.

“Ah, itu tidak mungkin, tepis Inoeng. Tapi … mengapa tingkah Empe sangat berbeda ya? Setelah seminggu ia makan telur tersebut, ia terus menerus meminta air putih. Bila semula hanya satu jam sekali meminta satu gelas air, kini satu jam sekali ia meminta untuk dibawakan satu ember air untuk ia minum.” Hati Inoeng terus berbicara.


Sampai akhirnya Empe meminta air, tetapi Inoeng sudah tak kuat mengangkat air karena ia kelelahan. Hebatnya ia tak mengeluh kepada neneknya. Tetapi nenek tak sabar dengan langkah Inoeng yang semakin lama membawa air untuknya. Nenek segera bangkit dari kasur yang selama tujuh bulan tak sanggup ia tinggalkan karena sakit.


Nenek segera mendekati sumur untuk menimba air, karena sumur begitu dalam nenek harus berusa keras untuk menarik tali timba dan membutuhkan waktu yang lama pula. Setelah 17 timba nenek meminum air, tetapi ia masih saja merasa haus. Sampai akhirnya nenek melompat ke dalam sumur dengan tujuan untuk meminum air. Inoeng tak sempat mencegahnya agar nenek jangan melompat ke sumur.  

Malang pun tak dapat diraih, akhirnya nenek yang berniat untuk meminum air pun meninggal di dalam sumur karena tidak mampu bernafas dan tenggelam di dalam sumur. Inoeng tak bisa membantu nenek untuk naik ke atas, serta tak ada tetangga yang bisa membantunya. Akhirnya nenek menghembus nafas terakhir di dalam sumur tersebut.


Inoeng terduduk lemas di samping sumur. Ia tak menyangka neneknya meninggal dengan cara seperti itu. Nenek yang selama ini lemas setelah memakan telur yang ia berikan menjadi kuat dan bertenaga sampai akhirnya mampu menimba air sendiri di sumur, ternyata yang membuat neneknya seperti itu adalah pengaruh dari telur yang diberikan oleh Inoeng.  Rupanya, itu bukalah telur ayam uteun. Itu adalah telur Ular.

Secara filosofi apabila kita memakan telur ular, maka kita akan terus menerus merasa haus dan ingin minum air sebanyak-banyaknya. Nah, itu pula yang terjadi pada Empenya si Inoeng sampai harus menghembus nafas terakhir di dalam sumur. Kini Sumur tersebut diberi nama dengan Empe Tega ( Nenek kuat ).


Pembelajaran bagi kita.

Akibat ketidaktahuan kita mengakibatkan orang yang kita cintai terluka.

Akibat kurangnya ilmu yang kita miliki, membuat kita salah memberi solusi.

Maka dari itu tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya agar hidup kita lebih terarah dan mampu memberikan solusi terhadap orang yang kita cintai

 

Referensi: Dari orang tua yang dituakan di kampong yang diceritakan secara turun temurun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...