Langsung ke konten utama

Guru Berkarakter untuk Pendidikan Berkarakter



Oleh : Mira Pasolong

Kemerosotan moral generasi muda bangsa kita sudah berada pada titik yang sangat memprihatinkan. Setiap hari kita mendengar berita tentang siswa yang tawuran, ikut balapan liar, mabuk- mabukan, mengkonsumsi narkoba ataupun hamil di luar nikah dan kemudian aborsi. Hal yang sangat jarang terjadi di beberapa dekade sebelumnya.

Masyarakat kemudian menuding dunia pendidikan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Tidak salah memang. Namun harus pula diingat bahwa mencetak generasi pelanjut yang mumpuni adalah tugas kita semua. Orang tua di rumah bertanggungjawab terhadap segala aktifitas anaknya, media massa terutama media elektronik bertanggujawab terhadap sajian tontonan yang diberikan dan sebagainya.

Bagaimana dengan peran guru? Guru, sebagai orang tua ke dua (setelah ayah ibu di rumah) tentu saja memegang peranan penting terhadap penyelamatan moral bangsa ini. Karena itu hal pertama yang harus dimiliki guru untuk melakukan peran itu dengan sebaik- baiknya adalah menjadi guru yang memiliki moralitas yang patut diteladani. Guru harus memiliki karakter seorang pendidik yang bisa digugu dan ditiru.

Sebagai teladan, guru harus senantiasa memiliki karakter terpuji yang bisa menginspirasi anak didik untuk lebih baik. Mirisnya, sekarang ini, di samping berita negatif tentang anak usia sekolah, berita negatif yang nyaris sama juga sering terdengar menimpa pendidik, misalnya seorang guru yang dijebloskan ke penjara karena terbukti bersalah melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya. Tentu saja hal ini merupakan duri dunia pendidikan yang harus disingkirkan.

Pengaplikasian pendidikan berkarakter yang belakangan ini sedang digalakkan haruslah dimulai dari pribadi pendidik itu sendiri, sebagai orang yang berinteraksi langsung dengan anak didik. Tidaklah cukup hanya menuliskan dengan terstruktur pendidikan karakter dalam kurikulum. Kurikulum barulah merupakan tataran konsep. Pengejawantahannya berada di tangan pihak sekolah, terutama guru. Untuk itu, maka sebelum mengajar anak didik dengan menggunakan kurikulum, silabus, ataupun RPP dengan embel- embel karakter, maka seorang guru haruslah juga berkarakter.

Lantas bagaimanakah guru yang berkarakter itu? Yang pasti seorang guru haruslah memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional. Dengan empat kompetensi itu, guru tidaklah cukup hanya pintar mengajar di kelas (pedagogik dan professional). Lebih dari itu guru haruslah mampu bersosialisasi, baik dengan seluruh elemen sekolah, maupun lingkungan sekitar (kompetensi sosial). Dan yang tak kalah pentingnya adalah guru harus mempunyai kepribadian yang baik (kompetensi kepribadian). Dalam tulisan ini Penulis akan mengulas tentang kompetensi kepribadian, sebagai kompetensi terpenting dalam mewujudkan pendidikan berkarakter.

Guru adalah teladan. Kalimat ini mungkin sudah sering kita dengar. Keteladanan ini tentu saja berkaitan dengan karakter- karakter terpuji. Seorang guru yang berkarakter harus memiliki sifat- sifat yang terpuji; religious, jujur, bertanggungjawab, disiplin, penuh kasih sayang, sopan, menghargai, tenggang rasa, percaya diri dan berjiwa besar. Nilai- nilai positif dari sifat tersebutlah yang kemudian ditularkan kepada anak didik. Tidak perlu menjelaskan satu per satu sifat tersebut. Anak didik, sebagaimana lazimnya anak- anak, hanya butuh teladan. Maka ketika guru memiliki karakter tersebut di atas, anak didik , pelan namun pasti, akan bisa pula memiliki karakter tersebut. Sebaliknya, jika guru tidak memiliki karakter terpuji, maka akan sangat susah untuk bisa menerapkan pendidikan karakter tersebut.

Seyogyanyalah, kita, sebagai pendidik, memperlakukan anak didik dengan adil. Dalam hal aturan sekolah misalnya, ketika anak didik diharuskan datang tepat waktu dan mendapatkan hukuman jika terlambat, maka gurupun harus seperti itu. Ketika anak didik tidak diperbolehkan merokok di lingkungan sekolah, maka seyogyanya pulalah tak ada guru yang melakukannya. Hal- hal seperti inilah, yang ketika bisa kita aplikasikan, maka akan berpengaruh terhadap karakter peserta didik.

Tidaklah zamannya lagi guru memperlihatkan kekerasan terhadap anak didik. Cukuplah kekerasan yang dengan leluasa bisa disaksikan di media elektronik merusak mental mereka. Marilah kita, para guru, mendidik mereka dengan kasih sayang, menegur dengan senyum ketika mereka bersalah, memeluk dengan lembut ketika mereka bersedih, dan memuji dengan tulus ketika mereka berprestasi. Inilah salah satu cara, dari sekian banyak, cara untuk menumbuhkan karakter mulia dalam diri anak didik. Jika guru sudah mampu mendidik dengan hati, dan bukan mengajar hanya menggunakan otak, maka penerapan pendidikan berkarakter tidaklah hanya akan menjadi sekedar rumusan di atas kertas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...