Langsung ke konten utama

Di Aceh, Bencana Datang, Mahasiswa Turun Ke Jalan



Oleh Tabrani Yunis

Pada hari Selasa 2 Mai 2017 sekitar pukul 02.30 musibah kebakaran hebat terjadi kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan. Sebanyak 26 unit rumah toko (ruko) semipermanen di kawasan Pasar Indrapura, Desa Manggis Harapan, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan itu musnah terbakar. Musibah itu tidak menyebababkan korban jiwa, namun kerugian para korban yang terdiri dari 28 kepala keluarga (KK), atau 91 jiwa, meliputi 40 laki-laki, 51 perempuan ditaksir mencapai miliaran rupiah. Pihak Pemda Aceh Selatan pun sudah turun tangan memberikan bantuan masa panic. Tentu saja itu tidak bakalan cukup.

Mulai pagi ini, hingga sore hari tadi, di sejumlah perempatan atau lampu pengatur jalan di kota Banda Aceh mulai terlihat sejumlah mahasiswa dan mahasiswi melakukan penggalangan dana untuk membantu korban kebakaran tersebut. Dengan berpakaian jas mahasiswa atau jas almamater, mereka membawa kotak-kotak yang bertuliskan, bantulah korban kebakaran di Labuhan Haji Aceh Selatan. Mereka mendatangi para pengemudi sepeda motor,maupun mobil yang sedang berhenti kala lampu merah menyala. Ada yang memberi, ada pula yang minta maaf.

Sebelumnya pada tanggal 19 April 2017, sekitar pukul 02.30 tragedi kebakaran hebat melanda Kota Fajar, Kluet Utara, Aceh Selatan yang menghanguskan 76 ruko. Kebakaran itu menyebabkan sebanyak 197 jiwa terpaksa mengungsi serta kerugian diperkirakan miliaran rupiah itu, sejumlah mahasiswa terjun atau turun ke jalan-jalan di kota Banda Aceh. Banyak orang dan kita ikut berduka dan merasakan penderitaan mereka.

Maka, keesokan harinya, para mahasiswa dari salah satu universitas di Aceh juga turun ke jalan-jalan, di persimpangan ( traffict lights). Mereka juga membawa kotak-kotak yang bertuliskan bantuan korban kebakaran. Seperti mahasiswa yang hari ini turun ke jalan, mereka saat itu juga mengenakan pakaian jaket seragam universitas. Ada laki-laki, juga ada perempuan. Setiap lampu merah menyala, mereka berjalan mendekati kenderaan yang berhenti, baik mobil, maupun sepeda motor dengan menyodorkan kardus yang bertulis bencana kebakaran itu. Para mahasiswa ini tampaknya bekerja keras, karena kendati pun sinar matahari yang begitu terik, membakar kulit serta membuat kening berkerut dan muka merah diterpa sinar matahari. Selama beberapa hari, mereka terus menggalang dana untuk membantu korban bencana tersebut.

Aksi para mahasiswa turun ke jalan, melakukan penggalangan dana dari masyarakat pengguna jalan adalah sebuah bentuk kepedulian dan kesigapan para mahasiswa untuk membantu mereka yang mengalami musibah. Penggalangan dana bantuan dengan cara turun ke jalan tersebut, akhir-akhir ini sudah menjadi pilihan solusi bagi para mahasiswa. Mungkin cara ini adalah cara yang mudah dan lebih cepat untuk dapat mengumpulkan dana. Mereka mengumpulkan dana dari orang-orang yang mau dan peduli serta berempati terhadap korban bencana tersebut dengan maksud bisa ikut serta meringankan beban derita para korban bencana di Aceh selama ini. Mereka dengan inisiatif sendiri, tergugah untuk bisa berkontribusi, berempati, serta ikhlas membantu dengan apa yang mereka lakukan, termasuk melakukan penggalangan dana di setiap persimpangan jalan di kota Banda Aceh ini. Selayaknya kita apresiasi inisiatif para mahasiswa ini, karena mereka bukan saja sekedar merasa prihatin, tetapi sekali gus dengan ikhlas dankerja keras, tanpa peduli dibakar matahari, seharian hingga malam melakukan aksi penggalangan dan di jalan-jalan tersebut. Sekali lagi, ini adalah insiatif yang sangat positif.

Namun, dengan tidak bermaksud memperkecil makna usaha para mahasiswa, inisiatif ini pun harus dikaji lagi oleh para mahasiswa. Melihat dan merefleksi tentang inisiatif ini. Ada banyak pertanyaan yang mungkin perlu dijawab oleh para mahasiwa dalam menggalang dana bantuan tersebut. Misalnya, apakah cara ini akan efektif membantu korban bencana? Apakah cara ini akan benar-benar menolong para korban bencana keluar dari kesulitan itu? Ata memang hanya sekedar kegiatan respon cepat untuk meringankan beban mereka yang menderita. Hal lain yang perlu dijawab adalah, apakah pada setiap bencana yang terjadi mahasiswa harus melakukan penggalangan dana bantuan tersebut? Bagaimana bila bencana yang terjadi adalah bencana rutin, seperti banjir, banjir bandang, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perilaku rakus para pengusaha, perusahaan kayu dan tambang? Apakah mahasiswa akan melakukan penggalangan dana dari masyarakat di jalan-jalan? Lalu, apa tanggung jawab mereka yang sudah merusak hutan atau lingkungan? Pasti masih banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan sebagai bahan renungan.

Pertanyaan-pertanyaan di atas, selayaknya kita jawab bersama. Hal ini penting, sehingga para mahasiswa, terutama yang sangat peduli dan berempati dan mau turun tangan membantu, tidak merasa dikecilkan usaha yang dilakukan mereka. Para mahasiswa tidak salah melakukan kajian itu, karena mahasiswa juga memiliki kecerdasan dalam berfikir dan bertindak.

Pemadam Kebakaran

Tak dapat dipungkiri bahwa aksi turun ke jalan, mengumpulkan uang-uang receh fari para pengguna jalan di kota Banda Aceh selama ini, pada hakikatnya adalah aksi positif yang lahir dari sebuah rasa kepedulian dan kemauan untuk membantu mereka, korban yang sedang dirundung malang. Namun, tidak dapat dibantah pula bahwa aksi-aksi itu ibarat menjalankan tugas pemadam kebakaran, karena tidak menyelesaikan akar masalah, terutama pada bencana kerusakan lingkungan, seperti targedi banjir yang terjadi secara berulang dan berlansung sepanjang tahun. Pada bencana banjir, banjir bandang dan kongsor akibat penambangan dan sebagainya itu, pendekatan model pemadam kebakaran tidak cocok untuk digunakan. Kecuali pada bencana kebakaran yang penyebabnya karena hal-hal yang incidental, tetapi untuk kasus lingkungan, yang menyebabkan banjir, banjir bandang atau seperti halnya bencana di Lapindo, banjir bandang di lawe Sigala-gala, Aceh tenggara dan di berbagai daerah, melakukan penggalangan dana seperti itu hanya akan menguntungkan pihak perusahaan perusak lingkungan. Apalagi kalau pengrusakan terus dilakukan, sementara masyarakat terus menjadi korban kerusakan itu, maka penggalangan dana di jalan-jalan itu, membuat mahasiswa akan semakin lelah dan masyarakat pun sudah bosa memberikan bantuan. Akibatnya, mahasiswa akan menuai kekecewaan.

Selayaknya, dalam hal penggalangan dana di jalan-jalan tersebut hanya dilakukan untuk membantu para korban bencana yang terjadi secara incidental, seperti kebakaran, diterjang putting beliung atau akibat gempa dan tsunami. Sementara akibat kerusakan lingkungan oleh perusahaan besar yang mengeksploitasi alam, mahasiswa harus bergerak menyelesaikan akar masalahnya. Bukan pada akibat banjir. Bila ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan fenomena puncak es. Hanya mengatasi hal-hal yang ada di permukaan. Inikah yang ingin dicapai oleh para mahasiswa yang beniat membantu korban? Mari kita berfikir ulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Petualangan

  Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok, Jawa Barat Baru kusadari, ternyata upaya memotong ikatan emosiku dengan dunia petualangan di alam terbuka dengan sekian tahun menutup diri dari interaksi dengan Mapala UI, tidaklah menghentikan petualangan itu. Ruh petualangan itu hanya berpindah di kehidupan keseharian. Aku masih ingat saat seorang kolega senior dalam dunia tersebut bicara tentang keinginan mendaki puncak Everest, lantas berlanjut ke 8.000 meter yang lain, kukejar dengan pertanyaan "sesudah itu...?" Tak pernah kuproleh jawaban yang jelas. Puncak Everest dan 8.000 an meter itu bukan milikku yang amatir, mereka milik para profesional dan sedikit kegilaan seperti tokoh di bawah ini. Kilas balik, memasuki dunia pendidikan STM Pembangunan adalah sebuah petualangan yang "terpaksa" karena ongkos memasuki SMA tak terjangkau. Di terima di PTN terbaik negeri ini juga petualangan, karena sungguh tak terbayangkan, ikut ujian PP-I di Gelora Senayan, sendirian tanpa kawa...

Berbagi Rambutan

  Oleh Salsabila Z   ​ Hari ini, Zain memanen buah rambutan di samping rumah bersama sang Ayah. Ia senang sekali, karena pohon rambutannya berbuah lebat dan rasanya pun manis. ​ “Alhamdulillaahh...” ujar Zain sambil memakan satu buah rambutan. ​ “Iya, alhamdulillaah...” ujar Ayah.”O ya, nanti Zain bantu Kak Salma membagi buah rambutann ini ke tetangga ya?” pinta Ayah sambil membagi  buah-buahan itu  sama banyak lalu menalinya dengan rafia. ​ “Kenapa dibagi Yah? Mending ,  kita  jual saja.  Biar tetanggak kita beli, lalu kita dapat banyak uang ,  deh,” usul Zain. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk membeli mainan baru  dari hasil menjual rambutan  nanti . ​ “Ya, nanti kita akan jual rambutan ini kepada Pak Sukri, pedagang buah samping pasar itu. tapi tidak semuanya. Ada yang kita bagi sama tetangga dan ada juga yang kita sisihkan untuk kita makan sekeluarga,” jawab Ayah. ​ “Kok begitu Yah?” ​ “Ya, tidak ada salahn ya   dong,...