By Lina Zulaini
Mahasiswa Pendidikan Geografi FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh
“Kamu
yakin mau berpenampilan kayak gini Za?” tanya Diandra yang kesekian kalinya.
“Ya
Tuhan Yan, ya yakin lah, bahkan 100% yakin. Ini dari hati lho Yan” jawabku
mantap.
“Cuma
karena Bang Herri?” Diandra mulai membuatku kesal.
“Za, kalau
memang mau berubah itu karena Allah, bukan karena manusia” tambahnya lagi.
Aduh
Diandra kamu tahu berapa lama aku menunggunya? Batinku.
“Yan,
kamu tahu kan aku suka pada dia itu sudah dari kita SMP, SMP Yan, SMP. Coba deh
kamu bayangkan” aku melihatnya mulai angguk-angguk. Kuharap dia mulai mengerti.
“Iya Za
aku tau, tapi kalau emang mau berhijrah itu karena Allah, bukan karena Bang
Herri” Ah mulai lagi deh.
Diandra,
sahabatku dari kecil. Dia bukan sekedar sahabat, dia sudah ku anggap keluarga.
Mungkin karena ayah kami berteman sejak muda, jadi ya kami ikut menjadi sahabat
tak terpisahkan. Yan, itu panggilanku pada seorang Diandra yang shalehah ini.
Dia menjadi kerabat juga guru spiritualku. Dia memutuskan berhijrah ketika kami
mulai masuk universitas ternama di daerah kami. Dia seorang anak yang sangat
penurut pada ke dua orang tuanya. Gadis sulung ini sering membuatku iri karena
sikap lembutnya yang membuat semua orang mencintainya, termasuk ke dua orang
tuaku.
Zalmira
Tsania, nama yang begitu indah bagi ke dua orang tuaku. Aku anak ke dua dari
tiga bersaudara. Kakak sulung telah menikah dan kini tinggal di tempat
suaminya, sedangkan si bungsu masih duduk di kelas 3 SMA. Aku memutuskan masuk
universitas di tempat tinggalku, karena jaraknya yang dekat. Namun, aku telah
memutuskan ngekos untuk alasan aku ingin hidup mandiri, meski aku harus
merengek dulu ke ayah yang super protektif.
Aku dan
Diandra berada di kampus yang sama, namun jurusan yang berbeda. Kami berjumpa
hampir setiap hari, dan terkadang dia menginap di kos untuk alasan biar aku
ikut pengajian. Kini kami telah memasuki semester ke lima.
Suatu
hari Diandra mengajak aku ikut kajian islami di kampus salah seorang temannya.
Rasanya sangat malas dan jauh dari keinginanku. Tapi berhubung Diandra yang
mengajak aku tak bisa menggugah kata-kata tidak. Aku akan selalu mengikuti
ajakannya, karena aku takut mengecewakannya.
Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Pemateri kajian itu adalah seorang yang sangat ku
idam-idamkan. Herri Dermawan, abang kelas ketika aku SMP dan SMA dulu. Kini ia
hadir sebagai seorang pemuda yang bagaikan Yusuf. Aku telah menggilainya sejak
duduk di kelas 1 SMP dan dia kelas 3 SMP pada masa itu.
Selesai
kajian, aku memberanikan diri untuk sekedar menyapa sang penghuni hati ini,
meski Diandra menahanku begitu kuat.
“Tentu
saja abang ingat sama kalian berdua, ini Diandra kan?, kuliah di mana?” sangat
bahagia rasanya mendengar suara sang pemilik hati ini. Kajian itu menjadi ajang
kami bertukar nomor handphone. Entah apa yang merasukiku, sehingga hampir
setiap malam aku meWhattApps bang Herri. Meski hampir di setiap pembahasan kami
membahas tentang Diandra, sahabatku.
Aku
memutuskan berjilbab besar meski karena Bang Herri ketika memasuki semester 7,
dan kini aku telah mulai menyusun skripsi.
“Za,
aku jadi tunangan orang sekarang” pernyataan Diandra membuatku bahagia.
“Ya
Alhamdulillah lah Yan, ummi Sakdiahku ini bakal jadi istri orang” gelakku.
Namun
Diandra kelihatan takut, karena ia belum mengetahui siapa yang akan menjadi
pendamping hidupnya. Keluarganya merahasiakan hal itu sampai hari pernikahan
tiba. Aku ikut bahagia sekaligus khawatir akan calon prianya, meski kata ibunda
Diandra lelaki itu adalah orang yang baik dan pemuda yang shaleh.
Hari
bahagiapun tiba, Diandra terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin putihnya.
Ah sahabatku tercinta, kini kamu telah menjadi milik orang lain.
Mempelai
prianya tiba bagaikan pangeran William. Namun melihatnya mengiris hatiku, ingin
rasanya kubunuh waktu. Diandra menggenggam erat tanganku. Jantungku berdetak
cepat, mataku perih, dapat kurasakan bendungan itu akan jatuh di pipi ini.
“Dia,
jangan lupa baca doa yang ummi bilang tadi ya” Dia, panggilan sayang ibunda
Diandra untuknya.
“Ummi,
boleh kita bicara sebentar?”
“Tidak
Yan, Bang Herri memang jodoh yang pantas untukmu. Insya Allah aku akan kuat,
dan aku berjanji akan hijrah karena Allah, bukan karena orang yang kusuka”
ucapku sambil menarik tangan Diandra yang hendak menjelaskan segalanya ke
ibundanya.
Diandra
mengganguk sambil mengeluarkan air mata. Ini hari bahagiamu Yan, takkan
kubiarkan kau menangis karena merasa bersalah.
“Yan,
dia lelaki yang baik dan insya Allah akan menjadi suami yang sempurna untukmu”
Diandra mengisak sambil memelukku erat. Aku tahu dalam hatinya ia merasa sangat
bersalah.
Mengapa
harus dia ya Allah? Mengapa harus sahabatku sendiri? Aku belajar banyak dari
Diandra, berhijrah itu karena Allah jangan karena seseorang yang kamu suka,
karena kamu akan merasa sangat kecewa jika seseorang yang membuatmu berubah
pergi meninggalkanmu.
Diandra,
aku harap kamu bahagia dengan lelaki tambatan hatiku. Semoga Allah segera
menyembuhkan luka yang masih tersisa di lubuk ini. Dan mendatangkan seorang
imam bagi anak-anakku kelak.
Mantap linlin, itu bukan pengalaman pribadi kan?😂
BalasHapus