Oleh Kinanthi Anggraini
Mahasiswi Pascasarjana P.Sains UNS
Mahasiswi Pascasarjana P.Sains UNS
Penulis dan Model Hijab
‘Kekejaman ini telah diawali oleh sejarah masa lalu. Di zaman raja Fir’aun, yang akan membunuh setiap bayi berjenis kelamin laki-laki dan zaman Jahiliah, yang akan membunuh setiap bayi yang terlahir perempuan. Dan kini, bayi-bayi yang dibuang dan dibunuh justru berlaku untuk bayi laki-laki dan juga perempuan’
Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, pasti akan kesulitan untuk membuat keputusan, apakah akan dilanjutkan atau melakukan tindakan aborsi. Hal ini terjadi pada semua perempuan tanpa memandang usia. Pengambilan keputusan yang tepat sangat terpengaruh oleh tingkat kesiapan mental dan tekanan lingkungan sekitar.
Pada umumnya yang mengalami kehamilan dalam kasus ini belum siap secara emosional, kognitif dan finansial untuk menjalani peran sebagai orangtua yang kerap disebabkan oleh tiga faktor besar yaitu; hamil di luar nikah, hubungan gelap dan anak hasil perkosaan. Perempuan yang hamil di luar nikah ini akan mengalami guncangan emosi seperti shock, cemas, malu, takut diketahui orang lain dan merasa bersalah. Selain itu masalah yang timbul dari hamil di luar nikah adalah putus sekolah, kemungkinan aborsi akan lebih tinggi dan membahayakan bagi dirinya sendiri. Kecenderungan juga terjadi pada kasus anak yang lahir dalam hubungan gelap. Tekanan dari pihak lain dan lingkungan akan sangat berpengaruh untuk jatuhnya keputusan untuk menggugurkan atau membuang bayi yang tengah lahir. Sementara untuk perkawinan yang dipaksakan berdasar kasus pemerkosaan tentunya akan memberikan efek yang kurang baik dalam rumah tangga. Perempuan cenderung marah dan dendam kepada lelaki yang harus menjadi suami, belum lagi kasus KDRT yang kemungkinan akan terjadi nantinya.
Pembuangan dan pengguguran bayi ini akan memberikan efek timbulnya perasaan bersalah dan depresi yang berkepanjangan. Mereka cenderung takut menghadapi orangtua, mencemaskan masalah pendidikannya, belum siap secara emosional sebagai ibu, dan tidak siap untuk menghidupi keluarga. Ketika mereka melahirkan, mereka akan menjadi ibu-ibu muda yang menghadapi faktor risiko yang besar. Kemungkinan kematian baik untuk ibu atau anak begitu besar terjadi. Sehingga jalan keluar yang diambil tak jarang adalah menggugurkan kandungan atau aborsi.
Pada buku Winters tahun 2012 yang berjudul “Black Teeanage Pregnancy : Dynamic Social Problem” menyebutkan bahwa keputusan untuk melakukan aborsi juga dipengaruhi oleh ras dan status ekonomi. Selama remaja tersebut dari ras yang baik dan memiliki ekonomi yang stabil maka kehamilan pada remaja tersebut cenderung akan dipertahankan.
Selain itu, keputusan melakukan aborsi juga dipengaruhi oleh keinginan melanjutkan pendidikan dan pekerjaannya (Sivho, S. Dkk., 2003 dalam J Epidemiol Community Health yang berjudul Women’s Life Cycle and Abortion Decision in Unintended Pregnancies).
Diperkirakan setiap tahun jumah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Yang parahnya untuk 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Demikian data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2013.
Selain kasus aborsi, ditemukan juga kasus pembuangan bayi dari hasil hubungan seksual di luar nikah, perkosaan dan perselingkuhan. Perilaku pembuangan bayi ini merupakan tindakan biadab yang dikategorikan sebagai perilaku kejahatan (kriminal). Hal ini menggambarkan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, gagal untuk melakukan penyesuaian diri dari kondisi yang penuh dengan tekanan. Penyesuaian dalam lingkup ini mencakup respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha mengatasi dan menguasai tekanan, frustasi dan konflik yang dialaminya dalam proses psikologis. Dimana seseorang melakukan tindakan untuk mengatasi tuntutan dan sikap yang akan terjadi di lingkungan dimana dia tinggal. Tentunya tidak mudah untuk menanggung segala konsekuensi yang terjadi bersebab kehamilan di luar nikah.
Maka tindakan yang dapat dilakukan sejak dini adalah mencegah terjadinya akibat tersebut. Sehingga kita tidak mengalami bahkan menanggung risikonya. Diperlukan kesadaran dari diri yang sangat tinggi, disamping pengawasan dari orangtua, penanaman moral dan agama, taat pada norma dan aturan yang berlaku di dalam lingkungannya.
Di samping itu, orangtua dituntut untuk memberikan pengawasan khusus berupa pendekatan dan pengarahan tentang pengetahuan seputar seksualitas berserta dampak baik dan buruknya, khususnya bagi remaja perempuan. Sebab pada masa remaja inilah terjadi transisi dimana remaja mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, ingin dianggap telah mandiri dan cakap bertanggungjawab sendiri. Masa ini adalah periode kritis, mereka cenderung berjuang melepaskan diri dari ketergantungan tehadap orangtua, berusaha mencapai kemandirian dan diakui dewasa sebelum waktunya. Hal ini yang menjadi kekhawatiran mendasar, jika tidak dibekali oleh ilmu agama yang kuat dan pendidikan, baik dalam lingkungan ataupun keluarga.
Maka, pendampingan pada masa anak usia transisi ini sangat diperlukan agar menjalani proses dengan baik, dengan liku jalan yang baik dan terhindar dari risiko yang tidak baik. Dengan begitu, diperolehnya pengetahuan tentang hal baru tentunya akan dapat menolong mereka mengenali dan menyesuaikan diri, patuh menaati aturan, takut terhadap dosa dan norma, serta sanksi yang terjadi dalam masyarakat.
Diharapkan tulisan ini dapat memberikan masukan dan informasi bagi semua pihak yang ikut andil dalam proses perkembangan remaja serta bermanfaat untuk pengetahuan dan peringatan bagi remaja itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar