Oleh Mulkan Kautsar
Hujan
telah berhari hari turun dengan sangat deras. Sebagian jalanan di kota Banda Aceh,
bahkan tergenang oleh air hujan yang seakan tidak mau berhenti. Seperti biasa,
gaya gravitasi kasur tempat tidurku terasa sangat besar dalam keadaan cuaca
seperti ini. Aku bahkan tidak sanggup untuk melihat jam.
“Kamu
tidak ke kampus?” Tanya Kak Ari.
“Hujan”
Jawabku santai.
“Aku
juga tahu itu hujan, tapi itu bukan badai. Sana mandi dan bergegas ke kampus,
pakai saja jas hujan milikku” Kak Ari kembali berceloteh.
Dengan
sedikit dorongan aku berdiri dan menyambar handukku yang sudah semakin gelap.
Dia terlihat lebih eksotis dan hitam manis dibanding saat aku membelinya tiga
tahun yang lalu. Beberapa titik tahi lalat tampak memberi aksesoris di pinggirannya.
Selesai
mandi, aku segera berpakaian rapi dan bersiap untuk pergi ke kampus. Untuk
sesaat aku tidak bisa menemukan sepatuku. Aku sudah mencarinya ke seisi rumah,
namun juga tidak menemukannya. Aku mulai pasrah, sampai Kak Ari memberitahu
bahwa sepatuku ternyata masih di luar rumah. Astaga, aku lupa membawanya masuk
dan sekarang pasti sudah basah. Benar dugaanku, sepatuku satu satunya sudah
basah dan tidak layak dipakai untuk ke kampus dengan kondisinya yang demikian.
Aku hanya punya dua pilihan saat itu, memakainya lalu berisiko kutu air dan
berbau busuk atau mundur dan kembali tidur, tapi risikonya akan ada tanda
silang menghiasi absenku.
Aku
tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama dan memutuskan untuk memilih
pilihan pertama yaitu tetap memakainya. Aku sudah siap untuk hal ini karena
ketakutanku saat ini adalah menghindari coretan silang dari dosen. Sesampainya
di kampus aku segera masuk ke kelas dan duduk di bangku tengah. Aku mencoba
bersikap biasa dengan kondisi kakiku yang dingin karena bersentuhan dengan
sepatuku yang basah. Detik demi detik lalu menit berganti menit kakiku mulai
gatal. Aku mencoba berkonsentrasi pada penjelasan dosen di depan, namun aku
tidak bisa.
Aku
sangat membenci keadaan seperti ini, pikiranku tidak bisa terfokus pada apa
yang dijelaskan oleh dosen. Sepatu ini membuatku menjadi tidak nyaman dan hanya
bisa bersikap seolah tidak terjadi apa pun. Oke aku bisa, hanya dua jam dan
semuanya akan berakhir. Kalau ada bau yang tidak sedap untuk dicium untuk saat
ini maka kupastikan bahwa itu adalah bau sepatuku. Astaga, aku menertawai
diriku sendiri, ya terkadang hidup memang harus ditertawakan. Keadaan masih
bisa kukendalikan sampai aku merasa ada yang aneh dengan sikap orang-orang di sampingku.
Hidung mereka terlihat seperti mengendus sesuatu yang aku harap belum diketahui
sumbernya.
“Bau
apa ini? busuk sekali” kata Rizki.
“Seperti
bau kaus kaki yang sudah lama tidak dicuci” Mirza ikut menimpali.
“Iya
bau sekali ya, hahaha” Aku ikut menjawab untuk menghilangkan kecurigaan.
“Mungkin
bau sepatu yang basah” kata Rahma.
Penghuni
kelas yang lainnya mulai ikut dalam pembicaraan dan beberapa di antaranya
dengan liar menggerayangi seluruh ruangan sembari memicingkan mata untuk
mencurigai salah seorang di antara kami semua. Beberapa yang lainnya ada yang
mulai beralih peran menjadi pelacak dengan mengendus seakan hidung mereka
memiliki kemampuan indera penciuman yang sangat tinggi. Di antara yang sibuk
tersebut ada yang masih berkonsentrasi mendengarkan materi dari dosen. Apa yang
aku lakukan? Tentu saja aku berpura pura bodoh dan seakan berkata. Hei sepatu
siapa ini busuk sekali?. Kalau aku disuruh memilih keadaan, maka hal terbaik
yang terjadi adalah waktu segera cepat berjalan agar aku bisa keluar dari kelas
ini dan menyingkirkan barang bukti.
Tidak
lama setelah itu dosen mengakhiri materi kuliah dengan tugas makalah yang harus
dikumpulkan pada minggu depan. Tidak biasanya beliau keluar dengan cepat
seperti pada hari ini. Aku sempat berpikir apakah beliau merasa mual mencium
bau yang tidak sedap dari sepatuku. Tapi setidaknya aku sangat bersyukur bahwa
aku bisa segera pergi dari ruangan ini. Dengan secepat kilat aku segera
mengambil motor yang kuparkir di belakang kampus dan menembus hujan tanpa
menggunakan jas hujan. Aku pacu dengan secepat kilat berbalapan dengan jatuhnya
hujan agar bisa segera pulang ke rumah.
Sesampainya
di rumah aku meletakkan sepatuku di luar. Kak Ari mual mencium baunya dan aku
sendiri harus menunda masuknya oksigen ke hidung untuk beberapa saat. Kakiku
menjadi sangat pucat dan berkerut. Keadaannya mengerikan dan kaku seperti mati
rasa. Aku segera mencuci kaki dan merendamnya dalam ember yang sudah kutuangkan
sabun cair. Akhirnya kakiku bebas dari bau yang bisa memuntahkan siapa saja
yang di dekatku. Selamat tinggal sepatu busuk.
Biodata :
Nama :
Mulkan Kautsar
Email : mulkankautsar@gmail.com
Alamat :
Gampong Pante Pisang, Jalan Medan-Banda Aceh, Kecamatan Peusangan, Bireun
Komentar
Posting Komentar