Oleh Rizkina Meutuah
Mahasiswa aktif Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala
Aceh, sebuah provinsi yang di
dalamnya melekat banyak adat dan budaya. Tradisi yang diturunkan dari zaman
dahulu begitu mengakar di setiap lini kehidupan, termasuk budaya minum kopi.
Tradisi minum kopi bahkan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dan tradisi
ini bukanlah suatu hal yang dianggap biasa oleh masyarakat Aceh—sama seperti
halnya di Jepang yang terkenal dengan tradisi minum tehnya—tradisi minum kopi
ini memiliki nilai filosofis tersendiri.
Minum kopi bagi masyarakat Aceh
adalah cara mereka berinteraksi, menyambung silaturrahmi dan sudah menjadi
identitas masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya warung kopi yang
memiliki berbagai keunikan, baik dari suasana warungnya, jenis kopi yang
disediakan, maupun cara penyajian kopinya. Uniknya, orang yang duduk di warung
kopi tak senantiasa memesan kopi, tapi yang dibutuhkan adalah suasana keakraban
antar teman dan pembicaraan-pembicaraan yang tercipta di dalamnya. Kopi
terkadang menjadi hidangan sampingan sementara komunikasi menjadi hidangan
utama. Keakraban dan interaksi yang terjalin ini juga berperan dalam membangun
karakteristik umum orang Aceh yang memiliki hubungan erat. Orang yang memiliki
hubungan erat salah satu cirinya adalah terdapat kelekatan emosional (Brehm
& Kassin, 1996) dan ini bisa didapatkan salah satunya melalui budaya ngopi.
Banyak warung kopi sederhana,
namun dipenuhi pengunjung. Ini bisa menjadi salah satu bukti bahwa bukan bagus
atau tidaknya sebuah warung kopi, tapi senyaman apa warung tersebut untuk bisa
menghasilkan pembicaraan-pembicaraan hangat antar kelompok mereka. Budayanya,
keramaian selalu tercipta di warung kopi; orang yang belum mengenal menjadi
saling kenal; orang yang sedang penat, hilang penatnya. Namun, di era sekarang,
suasana warung kopi menjadi sedikit banyak berbeda. Banyak café yang menyediakan wifi
atau fasilitas internet gratis sehingga banyak menarik kawula muda untuk betah
berlama-lama sambil minum kopi. Ironisnya, di balik kelebihan fasilitas
internet gratis tersebut, banyak yang berubah dari budaya minum kopi yang telah
mengakar itu. Sebuah nilai filosofis penting memudar; interaksi sosial menjadi
berkurang karena para pengunjung menjadi sibuk sendiri dengan fasilitas yang
ditawarkan.
Keramaian yang tercipta menjadi
berbeda; warung kopi pilihan adalah yang memiliki fasilitas internet; interaksi
berkurang; orang terasing di tengah keramaian. Mengapa hal tersebut bisa
terjadi? Kemajuan teknologi bisa menjadi salah satu jawaban. Dengan kecanggihan
teknologi yang telah mengglobal, membuat kita bisa dengan mudah mengakses
segala hal yang ada di belahan dunia lain. Tanpa kita sadari, kita telah
diperbudak oleh interaksi maya dan mengabaikan komunikasi langsung. Tentunya
ini memiliki dampak yang besar bagi kebiasaan ngopi masyarakat Aceh. Terdapat pergeseran budaya dan gap yang cukup besar.
Saat individu mulai
mengesampingkan interaksi langsung, orang bisa menjadi apatis terhadap
lingkungan sekitarnya. Ketika seorang apatis hidup di lingkungan sosial yang
sangat kolektivis—seperti halnya di Aceh—maka lingkungan akan memandang aneh individu tersebut yang berdampak
pada munculnya ketidaknyamanan pada diri individu sehingga mampu menimbulkan
kecemasan. Namun, apabila hal seperti ini masif terjadi, kecemasan individu
terhadap hal tersebut dapat ditekan dengan dalih bahwa banyak yang berperilaku
demikian sehingga orang tersebut tidak mengalami diskriminasi sosial.
Dilihat dari perspektif
sosiologi, interaksi sosial adalah hubungan yang dinamis sehingga bukan tidak
mungkin bahwa suatu saat bisa terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi pada
memudarnya unsur-unsur kemasyarakatan sehingga menghasilkan suatu pola
kehidupan yang tidak sesuai. Fenomena seperti yang telah diuraikan di atas
seharusnya menjadi suatu pembelajaran bagi generasi muda sekarang bahwa
interaksi kita tak lagi membumi karena kemajuan teknologi yang semakin pesat.
Seharusnya, kemajuan teknologi ini menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk
mendekatkan yang jauh bukan justru menjauhkan yang dekat.
Esensinya, tradisi ngopi
yang kini semakin marak bagi kalangan anak muda seharusnya mampu membawa
generasi muda itu pada suatu inti pemecahan masalah bersama mengenai isu-isu
sosial yang cukup penting bagi negeri ini melalui interaksi sesama kelompok.
Akan tetapi, jika kemudian tradisi ngopi
ini sendiri hanya menjadi sarana untuk menghabiskan waktu sia-sia, terlibat
pembicaraan tidak jelas, tentu saja nilai filosofis tradisi ini telah berubah
sedikit demi sedikit.
Harapan penulis adalah budaya ngopi Aceh kembali membawa makna
filosofisnya dalam menjalin hubungan emosional antar masyarakat sehingga
ukhuwah yang dibangun juga semakin kuat.[]
Komentar
Posting Komentar