Oleh: Dana Hasibuan
Tenaga Pengajar di Universitas Gadjah Mada
Di dalam bukunya yang berjudul Global Cities, Saskia Sassen (1994) mengajak pemerhati urban untuk mencermati kota dengan perspektif yang relevan dengan perkembangan ekonomi global hari ini. Melalui konsep yang disebut (global cities), Sassen memandang bahwa perkembangan suatu wilayah urban tidak dapat dipisahkan dari formasi globalisasi sehingga membahas kota-kota metropolis misalnya seperti New York, London, Tokyo, dan Singapura perlu dikaitkan dengan cara kerja ekonomi global hari ini.
Lalu seperti apa cara kerja ekonomi global hari ini? Disini kita bertemu dengan tantangan pertama sebab globalisasi adalah suatu fenomena yang multidimensional, terdiri dari berbagai sisi dan lapisan yang dapat dibedah tergantung perspektif yang digunakan. Merujuk kembali kepada pemikiran Sassen, salah satu aspek dominan di dalam globalisasi adalah penghargaan sistem ini terhadap pasar ekonomi finansial.
Kontras dengan kondisi perekonomian di era kolonial hingga perang dunia kedua, perkembangan suatu kota atau wilayah urban lebih ditentukan oleh partisipasinya di dalam jaringan bursa saham dimana kapital tidak pernah berhenti diperjualbelikan melalui serangkaian spekulasi harga dan asumsi-asumsi ekonomi instrumental.
Dan melanjutkan teori ketergantungan dan teori sistem dunia yang berkembang di era 1990an, konsep Global Cities mengidentifikasi bahwa ada hubungan yang timpang diantara kota-kota yang saling terhubung.
New York dan London sebagai pusat dari sistem pasar finansial menempati posisi teratas, disambung kemudian oleh kota-kota seperti Tokyo, Seoul, dan Hongkong yang menjadi penghubung antara kota-kota yang menempati peran dominan dengan kota-kota besar yang berada di posisi terbawah dan menjadi suplemen bagi sistem global ini seperti kota Jakarta.
Lalu bagaimana kemudian nasib kota-kota besar lainnya yang tersebar dari pulau Sumatera hingga Papua? Apakah kota-kota besar yang tersebar di Indonesia perlu dipaksakan untuk bergabung ke dalam sistem ekonomi finansial yang menghasilkan ketimpangan dan penundukan? Seperti yang sudah disampaikan diatas, globalisasi memiliki berbagai jenis sisi dan lapisan sehingga sifatnya multidimensional.
Dan di dalam keragaman tersebut, ada peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Banda Aceh. Salah satunya adalah peluang di dalam perdagangan ekonomi global berbasis manufaktur yang saat ini tengah mengalami pergeseran episentrum dari Amerika ke Cina. Seperti yang sudah kita ketahui, dalam 1 dekade terakhir, ekonomi Cina mengalami pertumbuhan yang signifikan sebab kota-kota besar yang berada di dalamnya menjadi destinasi utama bagi industri-industri dari seluruh penjuru dunia.
Ketersediaan tenaga kerja yang murah, fasilitas infrasturktur yang memadai, dan kontrol politik yang sentralisitik menjadi faktor-faktor utama yang membuat kota-kota di Cina dapat berkembang tanpa harus terintegrasi ke dalam sistem pasar finansial. Perkembangan terbaru dari politik luar negeri Cina, yang kemudian dapat menjadi peluang bagi Banda Aceh, adalah Cina hendak membangun kembali jalur perdagangan sutra (Silk Road) yang dahulu pernah berjasa besar dalam mengangkat kejayaan dinasti-dinasti Cinta.
Jalur perdagangan sutra (Silk Road) yang hendak dibangun oleh Cina terdiri dari dua jalur, yakni jalur darat dan jalur laut. Jalur darat disebut dengan Silk Road Economic Belt (SREB) atau lebih sering disebut The Belt dan jalur laut disebut dengan Maritime Silk Road (MSR) atau lebih umum dikenal dengan istilah The Road (Guardian, 2017). Jalur darat akan menghubungkan Cina dengan Eropa melalui Asia Tengah dan Timur Tengah sedangkan jalur laut akan menghubungkan Cina dengan Afrika melalui Asia Tenggara, Asia Selatan hingga ke laut Mediterania seperti yang terlihat di gambar bawah ini.
Apa tujuan dari upaya menghidupkan kembali jalur perdagangan global ini? Memperluas pengaruh pasar Cina hingga ke Eropa dan Afrika di tengah-tengah meredupnya status Amerika di dalam percaturan geopolitik dan ekonomi global hari ini. Dan seperti yang terlihat di dalam peta diatas, Banda Aceh akan menjadi salah satu daerah yang dilalui oleh jalur perdagangan global baru.
Dan ini dapat menjadi peluang untuk menghidupkan kembali perekonomian di Banda Aceh dan Aceh secara umum jika momentum ini dapat dimanfaatkan secara tepat. Singapura tentu tidak dapat diharapkan oleh Cina untuk menjadi mitranya di dalam perdagangan global ini. Selain karena ekonomi Singapura dibangun untuk melayani pasar finansial global New York dan London, Singapura sendiri memiliki afiliasi yang kuat dengan Amerika sebab menjadi salah satu pangkalan militer Amerika untuk wilayah Asia Tenggara.
Situasi ini praktis membuka jalan bagi Banda Aceh untuk menjadi alternatif destinasi bagi jalur perdagangan global tersebut. Sebagai salah satu wilayah pesisir yang telah berkembang menjadi area urban, Banda Aceh dapat menjadi gerbang perekonomian bagi seluruh wilayah NAD. Komoditas yang selama ini diproduksi oleh sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, industri manufaktur, perikanan, pariwisata, dan lain-lain dapat memperoleh akses ke pasar perdagangan global seiring dengan terjadinya pergeseran kutub perekonomian dari Amerika ke Asia.
Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa perkembangan situasi politik Aceh terkini di tengah-tengah bergesernya tatanan politik global? Apakah ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tata kelola kelembagaan, kebijakan publik, dan ketahanan masyarakat siap merespon konstelasi politik global? Untuk menjawab pertanyaan ini fokus analisis akan diarahkan ke praktek demokrasi Aceh terkini.
Komentar
Posting Komentar