Langsung ke konten utama

Headline bagi Siapa?


Oleh: Iqbal Perdana
Staff di CCDE

Pada anatomi media masa, headline menjadi wajah yang mencuri minat baca. Ia menjadi godaan paling mujarab untuk “menjerumuskan” para pembaca membeli, dan mengeja sebuah peristiwa, kata demi kata. Mengamini, sambil mengeleng-gelengkan kepala, lalu menjadi bahan bincang di meja-meja warung kopi.

Dari sekian banyak tahapan pemberitaan; menentukan peristiwa, menentukan sumber yang akan diwawancarai, menulis dalam bentuk tulisan, editing, publish. Pembaca akan berperan setelahnya, yakni mengkonsumsi. Pembaca secara umum, langsung, tidak bisa mengintervensi praktek-praktek jurnalistik. Nantinya, pembaca hanya dapat memberi feedback.

Sampai disini, rasanya pembaca tidak ada daya apalagi upaya menentukan headline, menempatkan sebuah peristiwa pada halaman depan atau halaman kesekian. Ia menjadi hak prerogatif media, atau mereka yang berkepentingan di belakangnya.

Kalau sudah begini, rasanya pembaca seperti didikte untuk mengetahui hal ini saja, atau hal itu saja. Tanpa harus mengetahui mengapa peristiwa tersebut layak menjadi headline dan “wajib” dibaca.

Bahkan diantara para pembaca, menolak “mensuudzonkan” sebuah tayangan atau pemberitaan. Apakah telah dikemas, diproses secara “halal” atau tidak.

Membongkar kelayakan sebuah reportase menjadi headline adalah sebuah kenaifan, menurut saya. News value yang menjulang, unsur kedekatan; sosiologis dan geografis, atau unsur-unsur lain yang telah dirumuskan oleh para pakar jurnalistik, agaknya sekarang hanya menjadi benang-benang merah yang diurai dalam bangku pendidikan tinggi saja. 2 SKS, atau 3 SKS.

Dalam prakteknya, headline adalah bentuk lain dari kepentingan-kepentingan perusahaan media, atau mereka yang memberi imbalan dalam bentuk yang paling populer saat ini; kursi. Hampir semua bos-bos media masa di Indonesia pernah duduk di kursi-kursi “panas”, tanah ibu pertiwi. Sebagian masih berjuang, menayangkan lagu-lagu partai, dengan scene-scene mulia pada waktu-waktu prime time.

Disini, media menjadi senjata yang paling menjanjikan. Media ibarat bom atom, sebab dapat menjangkau banyak orang, setiap golongan, dimanapun, kapanpun. Tanpa peduli siapa yang menjadi “korbannya”; anak-anak, remaja, dewasa.

Unsur-unsur ideal dalam menyajikan konten pemberitaan pun jauh-jauh dipinggirkan. Digusur. Diberangus tanpa pamit. Media-media seperti ini patut segera dihindari, dicoret dari daftar beli.

Media lebih condong untuk menyajikan sesuatu yang bagi mereka penting. Meski belum tentu penting bagi pembaca. Oleh karenanya, dalam hal ini, perangai latah harus “dinonaktifkan” terlebih dulu, bagaimana pun caranya. Sebab tidak sedikit berita-berita hoax justru menjadi viral. Pelakunya adalah para pembaca. Sedikit saja dipancing dengan unsur SARA, maka akan booming.

Sudah tidak dapat menyeting headline, jadi pelaku kejahatan penyebar berita hoax pula. Sudah tidak punya kepentingan, jadi pendukung karbitan, gelap pula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...