(Refleksi Hari Anak Nasional 2019)
Oleh: Harri Santoso
Judul di atas merupakan terjemahan dari kata It Takes a Village to raise a child, yang merupakan pepatah masyarakat Afrika yang sangat popular. Bagi penulis, pepatah ini setidaknya telah membantah pemahaman besar kita selama ini bahwa keluarga memiliki peran sentral terhadap tumbuh kembang anak. Namun, menurut pepatah ini tidak hanya orang tua atau keluarga inti, namun masyarakat sekampung. Artinya jika kita berbicara masyarakat sekampung, maka disini akan ada peran orang tua kandung tentunya, guru, pemimpin desa, tokoh agama, pihak keamanan, pemuda, tokoh politik dan sebagainya. Singkat kata, It Takes a Village to raise a child adalah sebuah semangat bahwa diperlukan kerjasama menyeluruh dari semua komunitas untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehat dan berkualitas bagi tumbuh kembang anak.
Mentalitas ini menjadikan seluruh anggota masyarakat untuk aktif mengawasi lingkungannya dari perilaku-perilaku bermasalah yang dilakukan anak-anak di sekitarnya terlepas anak tersebut anak kandungnya atau bukan, menjadi tanggung jawab bersama untuk mengingatkan, menegur bahkan memberikan hukuman yang pantas agar di kemudian hari anak-anak tersebut tidak melakukan hal-hal yang salah di tengah masyarakat.
Dengan demikian, anak-anak tidak hanya diawasi dan dijaga oleh orang tua kandungnya, namun juga diawasi oleh lingkungannya. Kondisi ini tentu bertolak belakang dari keadaan masyarakat kita hari ini. Sebagai contoh, di jam pelajaran sekolah, anak dengan mudahnya membolos dan pergi ke tempat-tempat hiburan seperti game on-line, super market dan lain-lain, karena tidak diketahui orang tua dan guru sekolahnya. Seharusnya pemilik game on-line atau penjaga super market tidak mengizinkan mereka untuk masuk dan bermain, bahkan jika perlu mereka dapat menghubungi sekolah tempat mereka belajar atau menghubungi orang tua mereka.
Contoh lain, misalnya adakah orang tua yang mengizinkan anak di bawah umur untuk merokok, namun kenyataannya anak-anak Indonesia saat ini dengan mudah membeli dan merokok di pinggir jalan, warung kopi atau tempat-tempat hiburan karena tidak ada orang tua mereka. Seharusnya penjual rokok tidak menjual rokok kepada anak-anak tersebut dan pemilik warung kopi setidaknya bertanya dan mungkin saja melarang mereka untuk merokok di tempat tersebut. Dengan demikian anak terawasi oleh lingkungannya selama 24 jam.
Perubahan Nilai dan Budaya
Penulis menyadari adanya perubahan nilai dan budaya yang terjadi pada masyarakat kita. Di masa kecil penulis merasakan tidak hanya takut kepada orang tua kandung jika melakukan kenakalan, namun juga ada rasa ketakutan jika dilihat oleh orangtua yang bukan kandung seperti tetangga, sahabat orang tua dan sebagainya. Karena orang tua, tetangga dan sahabat orang tua pada masa ituakan menegur dan tidak segan-segan melaporkan apa yang terjadi pada anaknya kepada orang tua kandung anak tersebut.
Bagi penulis, membangun mentalis di atas sangat diperlukan pada saat-saat seperti ini mengingat tidak mungkin bagi orangtua untuk mampu memantau pergaulan anaknya hingga 24 jam penuh dengan berbagai alasan seperti pekerjaan orang tua yang harus pergi pagi pulang malam, ibu bapak yang bekerja, orangtua dan anak tidak tinggal dalam satu kota yang sama dan sebagainya. Dengan demikian tanggung jawab menciptakan anak Indonesia hebat tidak hanya tanggung jawab orang tua, keluarga, kementerian pemberdayaan perempuan dan anak, namun menjadi tanggung jawab bersama masyarakat Indonesia. Ingat anak dan remaja hari ini adalah pemimpin di masa yang akan datang. Selamat Hari Anak Nasional 2019.
Harri Santoso.,S.Psi.,M.Ed
adalah akademisi di Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan Pemerhati Anak Berkebutuhan Khusus, berdomisili di Banda Aceh, e-mail:harri.santoso@ar-raniry.ac.id
Komentar
Posting Komentar