Langsung ke konten utama

Media Cetak,Bernafas Dalam Lumpur atau Mati?



Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini semakin pesat dan mendorong semakin cepatnya perubahan dalam berbagai sector kehidupan.  Perubahan dalam berbagai hal semakin tak terbendung dan tak dapat dihindari. Banyak produk teknologi informasi dan komunikasi yang dulu canggih dan terkesan mewah, kini tinggal kenangan. Satu contoh saja adalah pesawat telpon yang dahulu hanya menjadi milik orang-orang (kalangan) tertentu, kini sudah tidak dipakai lagi. Penggantinya lebih canggih, yakni berbagai macam jenis telepon selualar yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, asal ada layanan internet. Semua informasi ada di tangan, semua ruang bisa dijangkau dalam waktu yang sangat cepat. Ruang semakin sempit dalam genggaman globalisasi.

Karena, dengan satu klick, semua informasi ada di genggaman kita. Tak dapat dipungkiri bahwa  penyampaian dan penyebaran informasi bisa berjalan dalam hitungan detik dengan cara yang paling mudah dan semakin murah. Orang-orang mengatakan, ini zaman digital.

Benar kan? Dulu, orang-orang yang mencari sebuah berita tentang sebuah peristiwa yang terjadi di belahan bumi atau dunia sana, harus menunggu waktu satu hari untuk mendapatkan beritanya. Mengapa demikian? Ya,  karena harus menunggu berita surat kabar harian. Sehingga, peristiwa yang terjadi hari ini, baru bisa dibaca keesokan harinya. Pembaca pasti ingat tentang bencana gempa bumi yang melanda Pidie jaya, Aceh. Berita tersebar begitu cepat. Inilah bukti kecepatan  berita itu, bisa langsung dibaca dengan tersedianya jaringan internet. Tidak harus menunggu terbitnya koran besok atau koran sore. Apalagi menunggu berita dari majalah mingguan, maupun bulanan. Pasti bukan zamannya lagi.

Nah, sejalan dengan cepat dan kencangnya perubahan tersebut, di sector media cetak, banyaknya media yang dahulu menjadi andalan kini, mulai ditinggalkan, walau tidak seluruhnya hilang dengan tiba-tiba.  Namun membaca gelagat yang ada saat ini, banyak fakta yang membuktikan bahwa banyak media cetak, baik surat kabar, bulletin, maupun majalah yang selama ini menjadi pilihan untuk dibaca atau diakses, kini satu per satu, media tersebut tumbang, gulung tikar atau mati. Tidak percaya? Silakan diidentifikasi media yang ada di sekitar kita.

Bagi kami, tidak perlu jauh-jauh menengadah ke atas, atau melihat ke bawah, di antara sekian banyak media yang sulit untuk bangkit dan berkembang, majalah POTRET adalah salah satu contoh yang mengalami kesulitan itu. Keberadaan majalah POTRET bagai kerakap tumbuh di batu. Ya, hidup enggan bahkan susah, namun tak mau mati. Nasibnya juga bagikan bernafas di dalam lumpur. Ya, sangat sulit. Kesulitan itu sebenarnya bersumber pada kemampuan finansial, berupa biaya yang harus dikeluarkan setiap kali terbit. Kekuatan finansial sebuah media, bersumber dari dukungan iklan. Iklan menjadi nafas bagi sebuah media untuk terbit, sementara hasil penjualan adalah pendukung kedua, karena pada tataran penjualan, sangat ditentukan oleh seberapa besar jumlah pembeli dan pelanggan sebuah media. Majalah POTRET, sejak awal, miskin iklan, miskin dukungan, baik perusahaan maupun pemerintah daerah. Namun, alhamdulilah bisa bertahan hingga 14 tahun, hingga kini. Kekuatan yang ada hanyalah sebuah idelisme dan komitmen untuk tetap terbit, walau terbirit-birit. Sebagai contoh, edisi 80 ini yang seharusnya terbit beberapa bulan lalu, namun karena terkendala dana, tidak ada iklan atau pariwara seperti yang dipasang oleh pemerintah local di media tertentu, team POTRET harus berusaha dan berdoa untuk mendapatkan dukungan dana, paling tidak sebagai biaya cetak saja.

Lalu, mengapa tetap terbit? Jawabnya sederhana. Impian untuk membangun budaya literasi, sebegaimana pada awal penerbitan ini, masih belum selesai. Upaya membangun budaya baca, budaya menulis dan meningkatkan daya baca di kalangan masyarakat kelas bawah, kelas miskin dan perempuan, masih belum tercapai. Sementara kini keinginan menulis para remaja, perempuan yang mulai tumbuh, membutuhkan media untuk menampung aspirasi dan karya mereka. Kondisi ini juga membuat hati terenyuh dan bertekat tetap terbit, walau tidak teratur sebagaimana yang direncanakan. Walau bagai bernafas dalam lumpur, Alhamdulilah, POTRET edisi 80 ini kini bisa ada di tangan anda. Terima kasih kepada pihak yang sudah berkontribusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...