Dok Pribadi
Bagian Pertama
Oleh Tabrani Yunis
Dalam perjalanan keliling Aceh pada hari Rabu, hingga Jumat, 11-13 Desember 2019 lalu, perjalanan dimulai pantai barat-selatan Aceh. Garis mulai (starting point) adalah Banda Aceh ke Calang, singgah Meulaboh, makan mie rebus di Blang Pidie dan berhenti sejenak menyaksikan latihan seni debus di Lhok Bengkuang, Tapak-tuan. Usai meneguk secangkir the hangat yang disajikan gadis kecil, puterinya Sarbunis dan berbincang-bincang sejenak, jarum jam sudah menunjukan pukul 21.30 WIB. Ada keinginan untuk mencari hotel di Tapaktuan, untuk merebahkan badan. Namun, diskusi singkat dengan dua rekan seperjalanan, akhirnya memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan ke Subulussalam. Aku bertanya pada sang sopir, apakah masih sanggup untuk melanjutkan perjalanan ke Subulussalam. Dengan penuh yakin, ia berkata, sanggup. Maka, mobil Avanza yang kami gunakan meluncur ke jalan raya dan selanjutnya mengarungi jalan berbukit antara Tapaktuan dan Terbangan ( kini bernama Pasie Raja).
Agar aman dari rasa lapar di perjalanan yang akan melewati jalan berbukit-bukit, atau berkelok-kelok, setiba di Kota Fajar, berhenti sejenak membeli buah-buahan untuk bisa menjadi penopang mata dari rasa kantuk. Sekilo jeruk dan sekilo salak, cukuplah untuk menemani malam di perjalanan. Perjalanan pun dilanjutkan hingga melewati Bakongan dan Sibadeh, lalu ke Sultan Daulat. Belum habis Sultan Daulat, teman yang menyopiri mobil sudah diselimut rasa kantuk. Kecepatan mulai menurun. Namun, Muhammad Hamzah, yang menjadi teman di perjalanan, mengambil alih setir. Ia turun dan menggantikan sang sopir. Sementara aku, memilih tidak menyetir mobil, karena tidak terbiasa dengan mobil yang dibawa. Aku memilih duduk dan menemaninya agar tidak tertidur. Anehnya, ketika hati ingin untuk tidak tertidur, ternyata mata malah melemah dan akhirnya memejamkan mata, terlelap sambil bersandar.
Sesekali terjaga, karena jalan berlubang dan bantingan keras. Bung Muhammad Hamzah, terus memacu kecepatan dan saling kejar dengan sebuah mobil di depan, hingga akhirnya tiba di Subulussalam pada pukul 12.00 WIB. Wow, ternyata kurang dari 3 jam perjalanan bisa tembus ke Subulussalam. Nah, karena waktu yang sudah begitu larut, tidak elok untuk terus melanjutkan perjalanan ke Kotacane, Aceh Tenggara. Pilihan terbaik adalah mencari tempat penginapan. Menginap semalam di kota ini. Pagi esok masih ada. Ada sebuah hotel kecil, di pinggir jalan raya yang memberikan ruang bagi kami untuk bisa mengistirahatkan mata, hingga waktu subuh tiba dan terbangun melaksanakan kewajiban salat subuh.
Tanpa ada yang memberikan perintah atau aba-aba, kami mandi bergiliran dan bersiap untuk menikmati sarapan pagi. Di luar hotel itu ada banyak orang menjajakan makanan berupa kue dan nasi serta lontong. Tinggal memilih, mana yang ingin disambangi, berhenti dan masuk menikmati sarapan pagi ditemani pancaran mentari pagi yang menghangatkan tubuh.
Sepiring nasi yang terjadi terasa pedas, membuat sahabatku Hamzah tidak mau menghabiskannya dan melanjutkan dengan meneguk teh hangat. Pedas, katanya. Ya, sudah, bayar dulu dan sebaiknya melanjutkan perjalanan menuju Kotacane, Aceh Tenggara. Perjalanan ke Aceh Kotacane, diperkirakan sekitar 5 jam. Terus terang, aku tidak punya bayangan yang jelas bagaimana medannya perjalanan ke Kotacane, karena belum pernah ke sana dan ini adalah perjalanan pertama. Yang pasti dalam pikiran adalah rute jalan-jalan yang berliku-liku, menanjak dan menurun. Pikiran itu muncul, karena Kutacane itu berada di daerah pegunungan Gayo Alas. Sebuah wilayah yang dikelilingi oleh deretan gunung dan berbukit-bukit.
Sinar matahari pagi merekah dan menghangatkan perjalanan kami menuju Sidikalang, Sumatera Utara. Tujuan ke Sidikalang, bukan karena ada kepentingan sesuatu, tetapi karena kepentingan pintu masuk ke wilayah Kotacane. Ya, untuk ke Kotacane, kami harus melewati Sidikalang, Dairi itu. Bila tidak, kami harus ke Kaban Jahe. Namun, karena rute perjalanan kami dari Subulussalam, maka jalan terdekat adalah lewat Sidikalang melalui Kutabuluh. Apa yang mengagetkan adalah ketika menuju jalan ke Kutabuluh, kondisi jalan penuh lubang. Namun tidak begitu panjang, karena selanjutnya sudah lebih mulus, walau kenderaan harus goyang senggol, karena banyak belokan dan tanjakan, ketika melewati kawasan jalan yang dikelilingi kebun-kebun jagung itu.
Alhamdulilah, pada pukul 12.30 WIB, masuk ke pusat kota, Kotacane. Waktu yang tepat untuk mengisi kampung tengah. Apalagi bukan urusan perut. Perut tak mau diajak diskusi dahulu. Maka, pertemuan dilakukan sambil menikmati sajian makan siang. Bertemu Yashut, sahabat yang asli Aceh tenggara itu. Ia mengajak makan di sebuah kafe, Raja Muda. Café yang menyajikan masakan lokal yang menggoyang lidah. Aku menikmati makanan yang dulunya adalah sajian makanan raja-raja.
Komentar
Posting Komentar