Langsung ke konten utama

EKOFEMINISME : KETERIKATAN ANTARA PEREMPUAN DAN ALAM


Oleh Lili Nurmayanti
Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris (PBI) IAIN, Langsa, Aceh
Sampai hari ini sistem patriarki masih tetap menjadi budaya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi dalam berbagai bidang seperti moral, politik, sosial, bahkan penguasaan properti. Dikarenakan laki-laki sering menjadi subjek pertama yang mendominasi, maka perempuan sering menjadi subjek ke dua atau objek yang memperoleh tindakan diskriminasi maupun eksploitasi.

Konsep gender sebenarnya merupakan hasil dari gagasan yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Konstruksi digunakan untuk melemahkan posisi perempuan karena diartikan sebagai kodrat yang diberikan Tuhan secara lahiriah. Maka dari sini lah muncul berbagai macam kekerasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan, sehingga muncul stigma bahwa kaum maskulin yang memegang kuasa dan mendominasi.

Orang-orang memiliki perspektif bahwa nelayan itu merupakan julukan yang disematkan untuk laki-laki yang bekerja menangkap ikan di laut. Padahal nyatanya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebagai contoh kaum nelayan perempuan di Demak, Jawa Tengah. Hingga hari ini undang-undang masih mengelompokkan perempuan nelayan sebagai bagian dari rumah tangga para nelayan. Hingga hari ini mereka belum mendapat pengakuan. Mereka masih menuntut agar keberadaan mereka diakui oleh hukum dan negara, sehingga mendapat akses dan bantuan seperti asuransi nelayan. Hal yang mengharukan ketika mereka mencoba melakukan audiensi dengan DPRD Provinsi Jateng, salah satu anggota Dewan di sana berpendapat bahwa profesi perempuan nelayan itu adalah nista. Karena seharusnya perempuan itu di rumah dan dimuliakan.

Subordinasi gender yang terjadi saat ini mungkin lebih tersusun apik menggunakan jargon-jargon yang mengatas namakan pembangunan yang disebarkan oleh dunia Barat kepada Dunia Ketiga. Ide pembangunan ini merupakan buah dari pemikiran modern yang mengutamakan kemajuan teknologi dan manusia berperan penting di dalamnya sebagai faktor krusial. Namun upaya pembangunan yang modern ini, pada kenyataannya perempuan masih mengalami keterbelakangan. Sekalipun gagasan ini diusung untuk kemajuan peradaban manusia, namun patut diwaspadai bahwa ini merupakan cara dunia Barat menyebar luaskan budaya patriarki.

Menilik lagi dari konsep pembangunan, alam dan manusia memiliki keterikatan yang tidak bisa dipisahkan dan menarik untuk kita cermati. Manusia memandang alam sebagai objek yang sancta berharga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Nyatanya saat ini manusia dan alam semakin hari semakin jauh. Manusia saat ini berusaha meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam, meskipun mereka harus menguras hingga titik terdalam terhadap apapun yang dimiliki oleh alam. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia, sumber air, dan oksigen sebagai kebutuhan vital manusia, kini tergerus oleh kepentingan-kepentingan yang mengejar jumlah kuantitas tertentu saja.

Vanda Shiva merupakan perempuan yang berkebangsaan India, mengungkapan bahwa ada sisi feminim yang dimiliki oleh alam. Dan hal ini menunjukkan adanya keterikatan antara perempuan dan alam. Alam dan perempuan adalah penyelenggara kehidupan, karena perempuan memiliki rahim untuk memproduksi seperti alam memproduksi. Hal ini yang menyebabkan perempuan dan alam sering menjadi objek eksploitasi. Contoh bentuk eksploitasi perempuan dan alam adalah ketika menyamakan bentuk tubuh perempuan dengan hewan ataupun tumbuhan. Seperti “bibirnya semerah delima,” atau “alisnya seperti ulat bulu.” Selanjutnya timbul sebuah pertanyaan, apakah menghubungkan antara perempuan dan alam adalah tindakan memberdayakan atau malah menjadi sebuah penindasan?

Sebenarnya hierarki adalah biang keladi dari sebuah dominasi. Dominasi ini terjadi antara dua subjek. Seperti halnya laki-laki adalah kepala keluarga, maka perempuan sebagai subjek ke dua yang mengurus hal-hal yang diperlukan dalam rumah tangga. Dikarenakan laki-laki menjadi seorang pemimpin dan sebagai subjek utama, maka perempuan sebagai subjek kedua ini sering dijadikan bahan eksploitasi dan tindakan semena-mena laki-laki. Dan sering kali perempuan dianggap lemah tanpa laki-laki. Begitu juga alam, manusia menganggap bahwa alam tidak bisa hidup tanpa adanya manusia. Padahal kenyataannya alam beserta isinya telah ada sebelum manusia ada.

Maka dari sinilah teori ekofeminisme yang dicetuskan oleh Vandana Shiva yang berasal dari India berkembang. Ekofeminisme menawarkan sebuah konsep human behavior. Konsep ini mengutamakan pada kepentingan sebuah pengakuan atas keadaan saling ketergantungan kita terhadap satu sama lain. Baik antara laki-laki dan perempuan, maupun manusia dan alam. Keadaan saling ketergantungan ini merupakan sebuah kondisi fundamental yang tidak dapat di ganggu gugat oleh manusia. Hal ini bisa merubah pola pikir hierarki yang menempatkan wanita lebih rendah dari laki-laki, dan manusia lebih tinggi dari pada alam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...