Oleh Qurrata A'yuni
Mahasiswa Prodi Farmasi angkatan 2019, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala.
Dua puluh enam Desember...
Hari yang seharusnya dipenuhi oleh tawa anak-anak di taman, hari dimana orangtua beristirahat dari rutinitas kerjanya, hari penantian bagi mahasiswa untuk mencuci pakaiannya dengan tumpukan tak terhingga, hari dimana pasar sudah ramai bahkan saat ayam pun belum sempat bersenandung. Tapi, semua lenyap. Tidak terdengar tawa riang anak-anak, tidak terlihat kesibukan di pasar, bahkan tali jemuran yang seharusnya sudah penuh oleh cucian pun tampak kosong. Dalam kedipan mata, dunia seakan gelap, laut murka, langit menangis, semesta telah mengamuk pada manusia.
Dua puluh enam Desember...sebuah tanggal yang akan selalu membekas di relung masyarakat Aceh. Luka ini membawa dampak yang cukup besar, merobek ke dalam jiwa-jiwa yang lemah, membuat tatapan-tatapan kosong yang berharap bahwa kejadian ini hanyalah mimpi buruk di malam hari.
Tepatnya pada 26 Desember 2004, masyarakat Aceh tak pernah menduga datangnya bencana tersebut. Hilir mudik orang-orang kian terasa dikarenakan hari libur, bukan hanya libur natal, tapi juga bertepatan dengan hari Minggu. Banyak warga yang memanfaatkan libur dua hari tersebut untuk sekadar liburan singkat ke Banda Aceh. Menyesap harumnya kopi Ulee Kareng, atau sekedar merasakan semilir angin pantai Ulee Lheu. Resort dan Hotel di Banda Aceh diisi oleh para pelancong dari luar daerah.
Tidak ada yang tahu, tepatnya pukul berapa gempa berkekuatan tinggi dimulai. Yang pasti Minggu pagi yang diidamkan berubah menjadi tragedi. Gempa berkekuatan 9.1-9.3 SR mulai meluluhlantakkkan bumi Serambi Makkah. Kanak-kanak hingga dewasa tak kuasa menahan ngeri. Tangisan mulai terdengar di sana-sini. Seolah tak ingin mengerti gelisah yang melanda rakyat Aceh. Bumi kembali mengguncangkan diri. Berkali-kali hingga bangunan remuk redam. Tak beberapa lama gempa mulai agak berhenti, tetapi diikuti teriakan ngeri orang-orang “Ie ka I ek” atau air naik. Kata ini merujuk pada air laut yang mulai naik ke permukaan. Orang-orang mulai berlari menyelamatkan diri. Namun air laut tersebut tidak peduli, belum sempat mereka menyelamatkan diri, air laut kembali menerjang, seperti air bah.
Air laut tersebut seolah memiliki gergaji, memotong semua benda yang dilewatinya. Bangunan yang tadinya sudah hancur karena gempa mengikuti derasnya air laut, menerjang seluk beluk kota Banda Aceh, menghancurkan semua bangunan dan kendaraan yang dikehendaki. Air tersebut sangat berbahaya, derasnya air ditambah dengan puing-puing bangunan, belum lagi kendaraan dan hewan yang ikut terseret.
Melihat hal ini orang-orang semakin panik, merangsek masuk ke pelataran Masjid Baiturrahman. Namun kuasa Tuhan Yang Maha Esa, walaupun di luar air sangat deras, tapi di pelataran masjid air tenang. Mungkin karena dihalangi oleh pagar masjid. Jadi puing-puing tersebut tidak terlalu merangsek masuk ke pelataran masjid. Hal ini juga yang menampilkan suasana takjub sekaligus mencekam di pikiran orang-orang di masjid. Mereka mulai meraung, menangis, berdoa sekaligus berzikir memohon pertolongan yang Maha Kuasa. Tua, muda, kaya, miskin, muslim maupun non muslim bercampur aduk dengan pakaian compang camping.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Untuk pertama kalinya rakyat Aceh merasakan bencana dahsyat ini. Tanpa basa-basi menghancurkan negeri, tanpa ada peringatan, tanpa ada wanti-wanti, tanpa desus ataupun gosip tetangga. Menurut teori bencana ini terjadi karena pergerakan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang menelan korban meninggal mencapai 167.000 dan 500.000 lainnya kehilangan tempat tinggal. Bencana ini setidaknya memberikan dampak pada 14 negara.
Setelah air surut, orang-orang mulai berbenah diri, mencari sanak keluarga dan sesuap nasi. Bantuan mulai datang dari berbagai negara. Namun anehnya bahkan sebelum Indonesia bersiap memberi bantuan, kumpulan tentara dari sebuah negara telah siap memberikan bantuan. Hal inilah yang di kemudian hari isu merebak terkait aktifitas nuklir di bawah laut yang menyebabkan bencana dahsyat ini terjadi.
Baiklah mari sejenak melepaskan diri dari teori-teori dunia. Sebenarnya mengapa ini terjadi di Serambi Makkah? Apakah karena kesombongan dan kelalaian rakyat Aceh, seolah lupa siapa penciptanya? Seolah lupa maksud dan tujuan mereka hidup di bumi ini? Sibuk dengan kerlap kerlip duniawi?. Pagi itu mungkin tidak ada yang menduga bencana dahsyat melanda bumi Aceh. Siapa yang akan menyangka libur mereka dihiasi tangis dan darah . Siapa yang menyangka pagi sibuk mereka menjadi pagi mencekam yang pernah mereka alami. Tidak ada yang menyangka, tidak ada yang menduga.
Bahkan setelah 15 tahun berlalu tidak ada yang menyangka pagi di akhir tahun 2004 akan menjadi awal mula rebuilding Banda Aceh. Tidak ada yang menyangka kota ini akan lebih tertata dan rapi dengan pembangunan ulang di sejumlah tempat. Bahkan tidak ada yang menyangka setelah 15 tahun tragedi ini terjadi tak banyak yang berubah dari perilaku rakyat Aceh. Bahkan ada yang mengatakan perilaku masyarakat lebih parah dibandingkan sebelumnya. Bertahun-tahun menerima bantuan dari seluruh dunia membuat Aceh menjadi pemalas. Malas merubah diri, malas mencari rezeki, dan malas instropeksi diri.
Setelah satu dekade lebih melewati masa-masa terpuruk, Banda Aceh terlihat gagah, seolah menampakkan dirinya sebagai ibukota nan megah, ditambah dengan penampakan Masjid Raya Baiturrahman yang disebut-sebut “miniatur” Masjid Nabawi itu seakan menambah kekokohan kota ini. Namun kejadian lima belas tahun silam seolah tak membekas, tak memberi efek jera pada masyarakat Aceh, mereka lupa dulunya negeri ini menyandang titel “Serambi Makkah”. Modernisasi tampaknya cukup mempengaruhi perangai pemuda di Aceh. Mereka sanggup berlama-lama duduk di warung kopi, memandangi gadget tanpa henti, namun sangat berat hati melangkah ke masjid. Pergaulan bebas pun bukan menjadi hal yang tabu lagi, banyak bayi hasil “pekerjaan haram” dibuang dan ditelantarkan. Tak cukup, para “kaum belok” yang ada di Aceh pun sudah berani menampakkan keeksistensian mereka di khalayak ramai. Seolah ini bukanlah masalah besar.
Entahlah, apa yang akan terjadi pada negeri ini jika maksiat terus menjadi santapan. Kelam yang terjadi 15 tahun silam seakan telah sirna. Semoga Tuhan mengampuni, semoga musibah besar itu tak lagi menghantui.
Komentar
Posting Komentar