Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Jakarta
Saya pernah menjadi Acting Presdir dan Manager Keuangan sebuah pabrik coil pendingin khusus untuk mesin mesin besar di Pasuruan selama hampir setahun. Ketika pak Harto menyatakan berhenti, malamnya saya begadang dengan semua yang shift malam sekalian menjaga pabrik. Dua expatriat Jerman dan Austria sudah kabur ke Bali.
Expat Jerman yang bernama Christian adalah pekerja keras dan tipikal manusia Jerman yang lugas dan disiplin. Dia adalah Direktur produksi yang mengepalai seluruh proses produksi pabrik dari menerima bahan baku plat, hingga tube tembaga yg mahal dan khusus diimpor dari Jerman, hingga mengepak barang jadi masuk truk trailer. Jadi, Christian ini rajanya lantai bawah.
Lantai atas depan dikepalai oleh Spilauer alumnus Harvard Business School yang mengurusi keuangan dan menjadi Managing Directornya dan saya Acting Dirut/Manajer Keuangan. Ketika Spilauer masuk, aku langsung katakan kepadanya "mohon kebijakanmu yang menyangkut hajat hidup dan kegiatan karyawan selalu konsultasikan denganku.... ini masalah sensitifitas local culture" dan dia langsung setuju.
Sebelum Spilauer masuk, Christian itu nyaris "digantung" karyawan dan penduduk kampung di lingkungan pabrik dengan tudingan "melarang karyawan pabrik salat Jumat” Perkaranya sepele. Karyawan dia hukum, karena telat masuk usai istirahat siang pada hari Jumat karena waktu salat sedang "mundur". Jika awalnya makan siang dan salat Jumat tidak merampas waktu kerja. Karena waktu Jumat mundur, maka telatlah karyawan masuk dan bos berang. Ada yang melempar isu kepada karyawan produksi yang 99,9 % muslim lelaki itu bahwa Christian melarang salat Jumat.
Untunglah manajer personalia pabriknya adalah mantan staf TNI AL yang bijak dan dihormati karyawan, kasus selesai dengan damai. Mana yang salah dalam kasus di atas, tidak ada. Christian lugas menjalankan aturan yang sudah diketahui oleh karyawan dan karyawan merasa bahwa jika telat sesekali karena urusan dengan Tuhan, bos yang juga beragama akan mahfum. Yg "salah" adalah Christian melanggar kepatutan lokal Pasuruan, karena memakai ukuran Jerman. Karyawan juga "salah" menganggap bos sudah mengerti "konteks lokal".
Berdomisili di Jakarta
Saya pernah menjadi Acting Presdir dan Manager Keuangan sebuah pabrik coil pendingin khusus untuk mesin mesin besar di Pasuruan selama hampir setahun. Ketika pak Harto menyatakan berhenti, malamnya saya begadang dengan semua yang shift malam sekalian menjaga pabrik. Dua expatriat Jerman dan Austria sudah kabur ke Bali.
Expat Jerman yang bernama Christian adalah pekerja keras dan tipikal manusia Jerman yang lugas dan disiplin. Dia adalah Direktur produksi yang mengepalai seluruh proses produksi pabrik dari menerima bahan baku plat, hingga tube tembaga yg mahal dan khusus diimpor dari Jerman, hingga mengepak barang jadi masuk truk trailer. Jadi, Christian ini rajanya lantai bawah.
Lantai atas depan dikepalai oleh Spilauer alumnus Harvard Business School yang mengurusi keuangan dan menjadi Managing Directornya dan saya Acting Dirut/Manajer Keuangan. Ketika Spilauer masuk, aku langsung katakan kepadanya "mohon kebijakanmu yang menyangkut hajat hidup dan kegiatan karyawan selalu konsultasikan denganku.... ini masalah sensitifitas local culture" dan dia langsung setuju.
Sebelum Spilauer masuk, Christian itu nyaris "digantung" karyawan dan penduduk kampung di lingkungan pabrik dengan tudingan "melarang karyawan pabrik salat Jumat” Perkaranya sepele. Karyawan dia hukum, karena telat masuk usai istirahat siang pada hari Jumat karena waktu salat sedang "mundur". Jika awalnya makan siang dan salat Jumat tidak merampas waktu kerja. Karena waktu Jumat mundur, maka telatlah karyawan masuk dan bos berang. Ada yang melempar isu kepada karyawan produksi yang 99,9 % muslim lelaki itu bahwa Christian melarang salat Jumat.
Untunglah manajer personalia pabriknya adalah mantan staf TNI AL yang bijak dan dihormati karyawan, kasus selesai dengan damai. Mana yang salah dalam kasus di atas, tidak ada. Christian lugas menjalankan aturan yang sudah diketahui oleh karyawan dan karyawan merasa bahwa jika telat sesekali karena urusan dengan Tuhan, bos yang juga beragama akan mahfum. Yg "salah" adalah Christian melanggar kepatutan lokal Pasuruan, karena memakai ukuran Jerman. Karyawan juga "salah" menganggap bos sudah mengerti "konteks lokal".
Komentar
Posting Komentar