Oleh Tabrani Yunis
Sejak merebaknya penyebaran virus corona atawa Covid 19 yang berawal dari Wuhan, Cina di bulan Desember 2019 yang kemudian terus ke negara lain di dunia, seperti Italia, Amerika, India hingga Indonesia, telah mengubah tatanan kehidupan manusia. Covid 19 memaksa manusia di permukaan bumi untuk takluk pada diakibatkan oleh virus Corona tersebut. Segala sektor kehidupan terguncang, ibarat pesawat terbang yang tengah mengalami turbulance. Bukan hanya terguncang, tetapi menyebabkan kematian. Kematian usaha-usaha manusia dan bahkan merenggut jutaan nyawa manusia di permukaan bumi ini.
Virus Corona atau Covid19 yang kini masih terus melanda secara global ini, telah menyebabkan masyarakat dunia berada dalam ketakutan. Ketakutan akan terinfeksi Covid 19 yang mematikan tersebut. Akibatnya semua orang galau dan ketakutan. Ketakutan tersebut membuat kita, harus mencari cara agar tidak tertular dengan virus tersebut. Di tengah sulitnya mendapatkan cara agar tidak tertular, tidak dapat dipungkiri bahwa gerak langkah kita menjadi sangat terbatas. Covid 19 ternyata memaksa kita mengubah pola hidup kita, mengubah cara berpikir atau mindset kita. Covid 19 telah memaksa kita untuk selalu menjaga jarak, agar tetap di rumah saja, tidak boleh ini dan itu. Kita harus mengikuti protokol kesehatan. Pokoknya banyak aktivitas fisik kita menjadi sangat terbatas. Corona benar-benar telah membatasi gerak dan kegiatan dalam segala hal, sosial, ekonomi, budaya, bahkan kegiatan keagamaan dan pendidikan. Pilihan hidup yang tepat adalah stay at home, ya di rumah saja. Sehingga tidak sedikit orang yang kehilangan aktivitas di luar rumah. Akibatnya produktivitas masyarakat ikut surut dan bahkan hilang. Dahsyat sekali bukan?
Tentulah sangat dahsyat. Ancaman Covid 19 itu nyata dan telah menyebabkan jutaan orang terinfeksi dan bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia. Namun, tidak seharusnya kita kehilangan produktivitas, karena waktu yang kita miliki selama berada atau berdiam di rumah saja, sangat banyak dan kita malah kebingungan mau berbuat apa. Sebenarnya, berkurangnya aktivitas fisik, di luar rumah, tidak mengurangi atau malah lebih ekstrim, mematikan sikap produktivitas seseorang. Cukup banyak aktivitas lain yang juga bernilai ekonomi yang bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan runah, Satu dari sekian banyak aktivitas produjtif adalah menulis. Sepertinya aktivitas menulis tidak membutuhkan waktu dan tempat di luar rumah. Ya, cukup di rumah saja. Menulis bisa kapan saja, dimana saja dan sendiri saja. Yang penting mau. Kalau ,au, pasti bisa,
Nah, idealnya selama masa pandemi Covid 19 ini sangat banyak hal yang menjadi bahan tulisan, bisa ditulis. Artinya produktivitas menulis itu harusnya lebih tinggi. Banyak tulisan yang bisa ditulis, kapan saja dan dimana saja. Apalagi selama masa pandemi Covid 19 ini, banyak sekali peristiwa atau hal-hal menarik dan penting untuk ditulis dalam berbagai bentuk tulisan. Bentuk tulisan pun sebenarnya tidak terbatas. Bagi seorang penyair, bisa mengekspresikan pikiran lewat puisi dan karya sastra lainnya. Bagi seorang penulis opini pun demikian, bisa mengangkat persoalan Covid 19 ini dalam tulisan-tulisan berbentuk opini dan sebagainya. Yang jelas, semua bisa ditulis dan sesungguhnya semua bisa menulis dan bahkan bisa sangat produktif. Namun kadangkala, banyak orang yang kehilangan produktivitas menulis dalam waktu tertentu, termasuk dalam masa pandemi Covid 19 ini. Banyak orang yang tetap produktif, banyak pula yang tidak produktif, termasuk penulis sendiri. Ya, bagi penulis, yang selama sebelum wabah virus corona atau Covid19 menjadi pandemi global, sebenarnya termasuk sangat produktif menulis. Setiap hari ada satu dua bahkan tiga tulisan yang diposting di media online, seperti https://www.kompasiana.com/tabraniyunis,www.potretonline.comdan juga di www.watyutink.com.
Menjadi tanda tanya besar saat ini, mengapa tiba-tiba produktivitas menulis tersebut menurun, hingga jarang terlihat di media, baik media cetak dan juga media online? Pertanyaan ini seharusnya juga menjadi sebuah refleksi, bertanya pada diri sendiri, mengapa bisa seperti ini? Namun, secara umum seperti juga banyak terjadi di pada banyak orang, bahwa bila ditelusuri secara internal, maupun ekternal, ada banyak factor yang menyababkan hal tersebut. Secara internal, biasanya ketika seorang penulis dari hari ke hari mulai kurang membaca, maka sejalan dengan perjalanan waktu tersebut juga berkurangnya produktivitas menulis tersebut. Dikatakan demikian, karena ketika seorang penulis banyak membaca, maka kala membaca tersebut banyak ide menulis yang didapat. Ya, setiap kali kita membaca, pasti ada yang membuat kita tersentak dari bacaan tersebut. Misalnya, terasa tidak enak dan bertentangan dengan pikiran, itu adalah ide yang bagus untuk menulis. Jadi, semakin sedikit kita membaca, maka semakin kita kehilangan ide.
Selain kurang membaca buku atau sumber bacaan lainnya, hilangnya priduktivtas menulis bisa disebabkan oleh berkurangnya rasa peduli atau care terhadap persoalan – persoalan di lingkungan sekitar atau lingkungan global. Bisa jadi munculnya sikap apatis terhadap masalah tersebut, sehingga tidak muncul keinginan untuk menulis masalah-masalah tersebut. Tidak sedikit pula factor tidak ada mood untuk menulis sesuatu, membuat tingkat produktivitas menulis seorang penulis itu menurun. Sementara factor eksternal, factor yang datang dari luar diri penulis adalah karena sulitnya menembus platform sebuah media. Ini tentu bisa berlaku bagi para penulis yang tidak mengelola media. Tentu tidak selayaknya membuat alasan karena tidak sempat, karena bila itu alasannya, sangat banyak waktu yang terbuang untuk membuat status di media social.
Nah, bagi penulis sendiri, kondisi semacam ini membuat diri resah dan malah merasa malu ketika melihat tingkat produkvitas anak sendiri menulis. Ananda Nayla yang masih duduk di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 5 Ule Kareng Banda Aceh, sejak pertengahan bulan puasa hingga kini sudah lebih dari tiga puluh tulisan menulis di www.majalahanakcerdas.com. Harusnya, penulis tidak membiarkan memudarnya atau menurunnya produktivitas menulis hingga ke titik nadir, karena bisa menyebabkan mati rasa terhadap segala perosalan di sekitar maupun di level global.
Seorang penulis harus menjaga dan merawat produktivitas menulis dengan tetap merawat kebiasaan membaca, mengamati dan menyikapi suatu kondisi untuk diidentifikasi masalah-masalah pa saja yang terjadi, melihat factor-faktor penyebab terjadinya sesuatu, baik factor internal, maupun factor eksternal serta variable-variable lainnya. Dengan demikian, akan selalu banyak ide atau gagasan untuk ditulis dan dikembangkan menjadi tulisan yang bukan hanya akan melahirkan satu tulisan, tetapi bisa sebanyak yang kita mampu tulis.
Nah, bila ingin menjaga dan merawat produkvitas menulis, seorang penulis harus selalu merawat dan menjaga agar minat serta kebiasaan membaca setiap hari. Hal ini penting, karena bagi seorang penulis, semakin banyak ia menulis, maka semakin puas batinnya. Sebab satu dari sekian banyak keuntungan menulis yang hakiki adalah kepuasaan batin. Oleh sebab itu, tetaplah membaca dan produktiflah menulis.
Komentar
Posting Komentar