Oleh Tabrani Yunis
Sering sekali saya bertanya kepada para mahasiswa di Kampus terkait aktivitas membaca selama ini dianggap sebagai kegiatan membuka jendela dunia, tampaknya sudah tidak berlaku lagi, sejalan dengan semakin berkembang dan merebaknya piranti teknologi komunikasi dan informasi di dalam kehidupan masyarakat global. Kehadiran segala piranti teknologi kosmunikasi dan informasi tersebut, seperti hadirnya berbagai jenis gadget yang merata dimiliki oleh setiap, orang dan mudahnya akses internet, yang diakses dimana saja dan kapan saja, telah menyebabkan pola atua gaya hidup masyarakat dunia berubah, termasuk dalam hal membaca. Bila dahulu di masyarakat Jepang, atau masyarakat dari negara maju selalu membawa buiu saat berpergian atau travelling, sekarang budaya itu terus memudar. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya adalah karena untuk membaca tidak harus membawa buku, tetapi banyak buku yang bisa dibaca di gadget. Bahkan, remua buku bisa dibaca asal saja kita bisa membelinya. Bahkan sangat banyak buku gratis yang ada di Google. Tinggal baca saja. Ya, begitulah alasan banyak orang selama ini. Namun, pertanyaannya, di tengah membanjirnya informasi atau melubernya jumlah buuu dan bacaan yang ada di internet tersebut ada dibaca?
Nah, sebelum bertanya pada orang lain, cobalah tanyakan pada diri sendiri. Apa jawabannya? Sudahkah ditemukan jawabannya? Ada berapa artikel? Ada berama buks yang dibaca? Kalau pun membaca artikel, apakah dibaca secara tuntas, ataukah hanya membaca judul, lalu scroll ke yang lain? Lalu sekarang mulailah bertanya pada orang terdekat, kepada anak yang sedang bersekolah atau kuliah. Tanya saja, selama kuliah, satu semester, dua semester, tiga, empat, lima, enam, bahkan judah sarjana. Ada berapa artikel tau buk yang sufah habijt dibaca. Jangan heran bila jawaban yang diperoleh adalah gelengan kepala, atau dalam ucapan lugas, tidak ada. Bila ini jawaban mereka, apakah arti belajar di sekolah atau kuliah di Perguruan Tinggi? Bukankah yang terjadi, bahwa anak-anak kita kuliah dalam pengertian datang, duduk, dengar, diam, lalu pulang dan kemudian belum habis bulan sudah menelpon orang tua minta dikirimkan tambahan uang belanja. Bila seperti ini kenyataannya, bukan kah ini yang namanya memetik sia-sia?
Tentu saja sia-sia. Ibarat kata pepatah kuno, berburu ke padang datar, data rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga tumbuh tak jadi. Jadi, apa yang kita bisa harapkan bila anak-anak kita selama ini kuliah, tetapi tidak membaca. Padahal, membaca adalah salah satu cara mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan perubahan sikap atau perilaku yang lebih baik. Idealnya, semakin banyak mereka membaca, maka semakin terbuka pikiran, smakin kaya pengetahuan, ketrampilan dan smakin mätäng pula perilaku meteka dan bahkan smakin mandiri dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Sayangnya, bangsa kita sejak dahulu memang masih bermasalah dengan persoalan minat membaca. Ketika bangsa lain telah menjadikan membaca sebagai budaya, bangsa kita masih sedang membudayakan membaca. Telah terlalu sering kita mendengar dan membaca tentang hail survey dan penelitian mengenai minat membaca yang menempatkan bangsa Indonesia pada rangking terendah. Misalnya saja data UNESCO pada tahun 2016 menyebutkan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, arena hanya 0.01 persen yang artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Masih banyak fakta menyedihkan soal minat baca masyarakat Indonesia yang berada pada posisi paling bawah tersebut. Data itu perlu dan banyak, namun tanpa melihat data tersebut, di lapangan, di tengah masyarakat dan di lembaga pendidikan kita saat ini bisa langung kita lihat. Sangat menyedihkan. Bayangkan saja, ketika kita tanyakan sejumlah pertanyaan, baik terkait dengan spesialisasi mereka, maupun pengetahuan umum, menunjukan ketidak tahuaan mereka memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan.
Rendahnya minat membaca para siswa, mahasiswa dan sarjana, telah menyebabkan sulitnya para lulusan perguruan tinggi mejawab soal-soal yang se level stal CAT. Begitu banyak yang gagal tau tidak mampu menjawab soal yang akhirnya mereka menuai kegagalan dalam mengikuti ujian penerimaan calon PNS. Bukan hanya itu, sebagai orang tua, cobalah lakukan tes mandiri terhadap anak sendiri, berikan ia sejumlah pertanyaan umum, misalnya dimanakah Austria itu? Pasti akan mendapat jawaban yang mengagetkan.
Nah, bila kuliah tanpa banyak membaca, apa yang mereka dapat di kampus? Cukupkah dengan selembar ijazah yang berisi angka-angka atau huruf fantastis yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak jujur? Lalu mau dibawa kemana ijazah sarjana tersebut bila usai kuliah hanya bisa menjadi penganggur? Sudah saatnya setiap orang tua mengevaluasi anak yang sedang belajar di semua jenjang pendidikan. Mulai sekarang, rajin-rajinlah memonitor anak apakah mereka benar-benar sedang belajar atau sibuk dengan media sosial dan game online?
Wahh menarik sekali pak🙂👍
BalasHapus