Oleh Syauqi, S.Ag, M.Pd
Guru Bahasa Inggris MTs Jeumala Amal, Lueng Putu, Pidie Jaya, Aceh
Pada zaman dahulu, manusia dan gajah hidup berdampingan. Mereka saling berpapasan saat di jalan. Karena berbeda tradisi, sehingga suatu hari, manusia yang merasa keberatan akan keberadaan gajah dalam kehidupan mereka. Dengan segala daya upaya, berhasil mendapat dukungan. Sehingga gajah dan gerombolannya harus minggat ke daerah yang jauh dari kehidupan manusia.
Gajah yang terkenal sabar, tidak melawan saat nota kesepakatan ditanda tangani. Mereka memilih mencari tempat lain yang jauh dari keramaian manusia. Walaupun mereka sadar bahwa itu sangat merugikan kehidupan masyarakatnya. Dalam pembagian wilayah pun, gajah cuma mendapatkan tanah dengan luas 4 km memanjang dari dari ujung pulau sebelah barat sampai ke ujung pulau sebelah timur. Petugas turun ke lapangan, mengukur dan memasang patok perbatasan antara kawasan manusia dan gajah.
Suasana berjalan kondusif, tidak ada kejadian perselisihan sengketa lahan. Gerombolan gajah bebas berkeliaran mengitari pulau di tanah yang telah di tentukan. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tidak mengganggu batas patok batas wilayah. Namun beberapa tahun kemudian, beberapa anak manusia mulai mengusik distrik kekuasaan gajah. Hal itu diketahui ketika gerombolan gajah pulang dari merantau. Manusia sudah mendirikan bangunan-bangunan rumah, tempat bermain, dan juga sudah memasang pagar dijadikan ladang tempat menanam tanaman. Manusia sudah merebut wilayah para gerombolan gajah. Gajah mencoba mengalah, dengan harapan pemimpin manusia bersedia mengingatkan manusia supaya tidak menyerobot tanah yang bukan haknya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Tidak ada tindak lanjut dari pemimpin manusia untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Kawanan gajah mencoba untuk berontak merebut lahannya, yaitu dengan menghancurkan bangunan-bangunan rumah, merusak tanaman tanaman, bahkan tidak jarang membunuh manusia yang berada di kawasannya, sehingga terjadi konflik antara manusia dengan gajah berkepanjangan. Lalu, apa yang terjadi, pemimpin manusia malah mengusir kawanan gajah dengan kejam. Ada yang ditembak, dijerat dengan kawat yang kuat, malah ada juga diusir dengan bunyi-bunyi yang memekakkan telinga gajah. Sehingga terpaksa gerombolan gajah tersebut keluar dari distrik mereka sendiri.
Namun ada juga beberapa kelompok manusia yang mencoba untuk membela gajah, namun karena kekuatan dan kekuasaan mereka lemah, suara mereka tenggelam oleh keangkuhan manusia-manusia rakus. Manusia tetap menganggap bahwa gajah adalah pengganggu. Padahal bila ditelusuri sejarah, manusialah yang dhalim terhadap gajah.
Sesekali gajah mencoba merebut wilayahnya, tetapi lagi-lagi usaha mereka gagal. Sehingga mereka hanya pasrah dalam menjalani kehidupan mereka. Berharap suatu saat kelak mereka akan menuntut kedhaliman manusia terhadap mereka kelak di hadapan Allah SWT. Andaikan manusia tidak serakah dan rakus, niscaya konflik antara gajah dan manusia tidak akan terjadi. Gajah hanya membutuhkan sedikit tempat untuk mencari makan, berkembang biak. Sedangkan manusia sudah mendapat wilayah seluas bumi, sedalam lautan, setinggi gunung, tetapi tetap serakah, sehingga menguasai wilayah yang bukan haknya.
Semoga ke depan, muncul kesadaran manusia bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah kewajiban bersama. Bukankah “Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia” telah tercantum dalam Dasa Darma Pramuka?
Komentar
Posting Komentar