Catatan D Kemalawati
Butuh waktu beberapa lama bagi saya menulis pengantar buku puisi Tabrani Yunis yang diberi judul “Kulukis Namamu di Awan”. Bukan semata-mata karena waktu membaca yang terbatas, tetapi setiap satu puisi saya baca, selalu saja saya temukan sesuatu yang membekas di sana. Saya harus berhati-hati memilih dari sekian puisi yang meninggalkan bekas itu, untuk saya jadikan pembuka jalan masuk ke puisi-puisi lainnya yang semuanya memiliki cita rasa istimewa.
Menilik judul buku yang dipilih penyairnya “Kulukis Namamu di Awan” maka kelindan pikiran kita saat menggauli isinya adalah adanya nama-nama dan peristiwa yang menjadi garis hubung dengan si penyair. Garis hubung yang tegas diabadikan dalam puisi-puisi di sana. Dan, tentu dengan mudah nama-nama itu dapat kita temukan ditulis dengan jelas seperti pada puisi berikut:
Seonggok Rindu
(Buat istriku Salminar, dan anak-anakku Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunissa)
Bismillah
Al fatihah
Hari ini genap 12 tahun kita berpisah
Sudah lebih satu dasawarsa hati gelisah
Walau kadang mengalir dalam desah
Namamu Salminar masih singgah
Namamu Albar Maulina Yunisa masih mendesah
Juga Amalina Khairunissa yang hingga kini terekam
Dalam setiap sinar mentari merekah
Aku ingin katakan
Walau tak pernah menemukan di mana batu nisan
Walau tak pernah bertemu wujud badan
Kala bencana tsunami menyimpan kalian
Nuraniku masih menyimpan
Setiap tingkah, raut wajah dan gerak badan
Sebagai isyarat kita punya ikatan
Hari ini
Izinkan aku meneteskan air mata tanda kenangan
Izinkan aku menyebut nama-nama kalian
Izinkan aku menitipkan seunggu doa dan ucapan
Aku masih cinta dan memimpikan
Namun aku wajib mengingat Tuhan
Allah yang memiliki semua isi alam
Aku tidak punya kekuatan
Semua milik Tuhan
Aku rela karena kita milik Tuhan
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun
(Desember 2016)
Izinkan aku menyebut nama-nama kalian, tulisnya. Salminar, Albar Maulana, Amalina Khairunissa adalah tiga nama yang terus hadir dalam ingatannya. Tiga nama yang disimpan ke dalam bejana air raya dalam dekapan gelombang tsunami. Tiga nama yang terus mengalirkan rasa gelisah karena hingga dua belas tahun sudah wujud badan yang tak ditemukan. meski ia bersama teman relawan mencarinya siang dan malam. Tiga nama yang hanya bisa dilukis di awan, bukan di batu-batu nisan.
Seonggok Rindu bukan puisi rekaan yang lahir dari imajinasi penyair. Nama-nama yang ditulis dan peristiwa yang disebutkan adalah nyata. Tetapi puisi itu tidaklah personal ungkapan perasaan Tabrani Yunis sebagai penyair. Puisi itu ketika dibaca akan mewakili setiap jiwa yang kehilangan orang-orang terkasih saat bencana tsunami menghantam negerinya, siapapun ia. Kita dapat merasakan bagaimana kerinduan seorang suami sekaligus ayah kepada istri dan anak-anaknya meski perpisahan itu sudah lebih satu dasawarsa. Begitupun, Penyair tidaklah membesar-besarkan rindunya dengan menulis, misal ‘Segunung Rindu’, Ia hanya menulis ‘Seonggok Rindu’ untuk melukiskan perasaannya yang tak bisa disembunyikan lagi. Tidak juga kata ‘rindu’ diulang-ulangnya dalam baris-baris puisinya, meski baris puisinya melebihi dua puluhan baris panjangnya.
Puisi Seonggok Rindu cukup membuat kita mengenal bagaimana sikap Penyair dalam menerima ketentuan Allah kepada dirinya. Ia merupakan sosok yang kuat, yang bersandar diri kepada Tuhan. Syekh Ibn Athaillah al-Sakandari dalam terjemahan al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir menuliskan catatannya bagaimana cahaya Tuhan membantu seseorang dalam menghadapi ketentuannya seperti kutipan berikut: Ketahuilah, jika Allah SWT hendak menguatkan hamba dalam menerima sesuatu yang Dia tetapkan atas dirinya, Dia akan menyelimutinya dengan cahaya sifat-Nya. Dengan begitu, liputan cahaya-Nya akan mendahului datangnya ketentuan-Nya. Karenanya, ia menggantungkan diri kepada Tuhan, tidak bersandar kepada dirinya sehingga ia kuat dan bersabar memikul semua beban (Mengapa Harus Berserah, Serambi 2007). Lalu, apakah Tabrani Yunis adalah orang pilihan Tuhan untuk diliputi cahaya-Nya?
Bagi saya, cahaya-Nya itu jelas terlihat dalam baris-baris kalimat puisinya. Bermula dengan Bismillah dilanjutkan Al Fatihah dan diakhiri dengan innalillahi, menjadikan puisi memiliki batang tubuh yang utuh dan bersinar. Dengan tidak sebuah kalimat pun berburuk sangka kepada ketentuan Allah, Tabrani Yunis sesungguhnya sudah sepenuhnya menerima apa yang telah ditentukan Allah untuk dijalaninya. Sebagai hamba, Tabrani Yunis pasti berpegang kepada firman Allah yang menyatakan “Atau apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya?! (Tidak) hanya milik Allah kehidupan akhirat dan dunia.”(Q.S al-Najm:24-25)
Tidak semua yang diinginkan manusia bisa didapatkan, itu janji Allah. Tabrani Yunis sebagai penyair sangat menyadari hal itu, namun rasa rindunya terhadap anak istrinya yang sudah di sisi Allah membuatnya tetap berandai-andai.
Andai hari ini aku bisa melihatmu
Kan kuulurkan tangan menarikmu
Tapi aku tenggelam dalam rindu yang tak bertepi
(petikan Puisi “Aku Tenggelam Dalam Rindu”)
Rindu yang tak bertepi dirasakan penyair adalah rindu yang tak pernah berubah. Dalam puisinya berjudul Rindu Tak Berubah Ia menulis untuk anaknya:
Nak,
Rinduku belum terkubur bersama lumpur nan mengalir dari bah
Rinduku belum pupus walau waktu berubah
Masih tulus menembus desah
Rindu yang tak berubah masih tulus menembus desah sehingga Ia mampu menemukan dimana rindu itu dititipkan. Pada ombak, ya pada ombak yang pernah marah membawa luka di ujung masa.
Kutitip Rindu Pada Deburan Ombak
Kutitip rindu pada deburan ombak nan membelai pantai
Agar lega luka nan menganga
Obati duka pada cinta na hilang
Kutitip rindu pada ombak
Agar setiap kali ombak pecah
Hadir wajah mungilmu nan kurindu
Kutitipkan rindu pada deburan ombak nan membelai pantai
Tuk kujadikan cerita
Bahwa kau pernah ada dalam jiwa
Kau pernah sejukkan raga
Walau hanya sekejap
Kutitipkan rindu pada deburan ombak
Tuk kujadikan catatan bahwa cinta kasih sayangku pernah ada
Walau sebutir embun karena sesungguhnya kau bukanlah milikku
Kau hanyalah milik Sang Khalik
Kutitipkan rindu pada ombak nan putih
Tuk kujadikan sejarah
Bahwa di tanah kita pernah ada amarah ombak
Yang membawa luka di ujung masa
Di tanggal dua puluh enam Desember dua ribu empat.
Menitipkan rindu pada ombak yang telah menyebabkan penyair kehilangan orang-orang yang dicintai adalah prilaku yang mulia. Laut marah dijadikan sejarah bukan tempat Penyair meluahkan amarah. Betapa indah dan ihlasnya puisi di atas. Tak ada rasa benci dan amarahnya pada ombak meski telah membawa luka hingga ke ujung masa. Ombak yang membuat negerinya hancur porak poranda, ratusan ribu nyawa melayang karenanya. Sesungguhnya kau bukanlah milikku, tulus Penyair dalam lariknya, Kau hanyalah milik Sang Khalik.”
Jika pada ombak Penyair menitipkan rindunya, maka pada gumpalan pasir nan ditampar-tampar gelombang Ia mengadu tentang gelombang pasang membawa hilang buah cinta yang disayang. Di Babah Dua Penyair bercerita tentang luka yang menganga, bertanya kemana gerangan kau bawa pendamping setia. Puisi yang mewakili perasaan tak berdaya mereka yang ditinggal pergi begitu saja dalam musibah bencana dalam hitungan menit saja.
Pada Gumpalan Pasir Putih di Babah Dua
Pada gumpalan pasir di Babah Dua
Kuceritakan tentang luka menganga,
Tatkala laut murka menerjang
Ombak dan gelombang menerkam alam
Membawa serta nan kucinta
Pada pasir putih nan ditampar-tampar gelombang di Babah Dua
Ku mengadu tentang gelombang pasang membawa hilang
Buah cinta yang kusayang
Pada gelombang nan menjilat garis pantai di Babah Dua
Kubisikan tentang bulir air mata dan tangis lirih nan menyeka mata
Tatkala mata duka tak mampu menatap relung hati
Yang kehilangan buah hati
Kepada ombak dan riak di Babah Dua kubertanya
Kemana gerangan telah kau bawa buah cinta
Kemana gerangan kau bawa pendamping setia
Gumpalan pasir putih
Gelombang dan ombak di Babah Dua
Kenapa tak pernah rela berikan jawaban?
Membaca puisi-puisi Tabrani Yunis dalam kumpulan puisi ini menurut saya adalah membaca rindu manusia pada umumnya kepada orang-orang terkasih, rindu yang tak ada tepiannya. Kenapa gumpalan pasir, gelombang dan ombak tak pernah rela memberi jawaban? Jawaban saya karena jawabannya sudah ada dalam puisi-puisi yang ditulis Penyair Tabrani Yunis, puisi-puisi yang diperuntukkan untuk gizi Nurani. Nah! Selamat menikmati.
Banda Aceh, Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar