Langsung ke konten utama

Demokrasi Dirampas Covid?



Oleh Muzirul Qadhi

Mahasiswa Universitas Bina Bangsa Getsempena, Banda Aceh, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe)


Sejak Pemerintah Indonesia menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional, tampak terlihat perubahan secara drastis, baik demokrasi maupun secara ekonomi kerakyatan. Hal tersebut tidak terlepas dari lahirnya kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid 19. Namun di sisi lain, ada hak – hak rakyat yang tidak terpenuhi yang tentunya akan dapat menjadi preseden buruk bagi Indonesia ke depan.


Sebelum penulis mengulas lebih jauh, penulis akan menerangkan terlebih dahulu apa itu Corona Virus (Covid 19). Dalam catatan World Health Organization (WHO), virus corona adalah  keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Pada manusia sendiri corona diketahui menyebabkan infeksi pernafasan, mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Mers dan Sars. 


Covid 19 merupakan penyakit menular dan pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 lalu yang kemudian kini menjadi wabah yang menakutkan bagi hampir setiap negara. Meskipun ada sebagian warga yang tidak percaya akan wabah itu, bahkan ada yang menganggap bahwa Covid 19 itu adalah konspirasi,bahkan ada pula yang menilai itu adalah senjata biologis. Ya begitulah, masyarakat kita melihat fenomena dan kondisi seperti ini.

Rasa - rasanya kita sudah dapat merasakan apa sebenarnya yang sedang terjadi.


Terlebih lebih rakyat hari ini merasa jenuh dan lelah dengan berbagai peraturan yang dibuat pemerintah, sedangkan kebutuhan hidup tidak sepenuhnya diberikan. Rakyat merasa gondok. Bagaimana tidak? Perintah untuk tetap di rumah dan tidak boleh bepergian ke luar rumah menjadi sebuah peraturan yang keliru, apalagi saat kebutuhan untuk makan sehari-hari saja rakyat sulit. Lalu belum lagi sikap arogansi para aparat, yang seolah corona ini lah yang menentukan hidup mati manusia. Lalu bagaimana kalau semua orang diam di rumah dan tak diberikan makan dan kemudian mati? Siapa yang bertanggung jawab?


Di Indonesia sendiri sejak 2  Maret 2020 hingga 4 Agustus 2021 tercatat angka kematian akibat terpapar Covid 19 mencapai 100.636 jiwa, menjadikan Indonesia berada diperingkat 12 sebagai negara dengan kasus kematian tertinggi di dunia. Hal tersebut didapatkan pada data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tentu hal ini menjadi duka yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia, meskipun seperti yang kita ketahui telah banyak program dan upaya penanganan yang dilakukan pemerintah, namun hal tersebut ternyata belum mampu menekan angka penularan covid 19. Sementara di Wuhan, China yang merupakan awal di temukanya Covid 19 mulai merangkak membaik, transaksi ekonomi mulai dibuka meskipun tetap mematuhi protokol kesehatan.


Jadi, disadari atau tidak, dampak Covid 19 bukan saja secara ekonomi, tetapi merenggut hak demokrasi dan ekonomi rakyat, meskipun sebelum adanya Covid 19 melanda dunia demokrasi Indonesia sudah terlihat merosot. Kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan kritikan, kini menjadi kekhawatiran bagi banyak kalangan. Para aktivis dan tokoh masyarakat seakan dituntut untuk hati – hati dalam memilih kata dalam mengkritik pemerintah. Bermacam delik digunakan dalam membungkam suara sumbang dari bawah. Jika sebelumnya undang undang IT banyak digunakan dalam menjerat para aktivis,’ kini ada undang – undang baru yang sudah dirancang yaitu Rancangan Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpeluang menjerat orang yang menghina lembaga negara. Ketentuan itu diatur dalam sejumlah pasal di Bab IX tentang Tindak Pidana Tehadap Kekuasan Umum dan Lembaga Negara.


Salah satu pasal tersebut adalah pasal 353, “setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasan umum atau lembaga negara dipidana dengan penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak katagori II  berkisar 10 juta,”.  Begitu bunyi pasal tersebut. Padahal Presiden atau DPR adalah institusi negara, di mana dalam hukum tata negara dua institusi itu adalah benda mati, yang hidup itu adalah individunya. Jadi bila pun ada yang mengkritik negara, tidak boleh tersinggung, karena yang ia emban adalah lembaga negara. 


Tidak sampai di situ,  banyak hal lagi yang penulis nilai dapat mengancam demokrasi Indonesia, Covid 19 menjadi salah satu dasar atau alasan tidak dikeluarkannya izin demonstrasi bagi mahasiswa dan masyarakat. Seakan Covid 19 ini dijadikan sebagai topeng hitam, sementara banyak kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang mengundang kerumuman, bahkan kerumunan di mall atau pergelaran yang dilakukan oknum pejabat tidak menjadi masalah. Yang lebih mirisnya lagi antrian vaksin yang notabenenya merupakan program pemerintah tidak menjadi sebuah persoalan. Kita tidak tahu pasti apa argumentasi yang kuat, sehingga hal tersebut tidak disoalkan. Apakah mungkin ada kaitannya dengan bisnis atau ada hal lain. Tentu itu menjadi tanda tanya besar di tengah – tangah masyarakat, yang seharusnya pemerintah menjadi contoh panutan bagi rakyat, malah ternyata pemerintahnya yang tidak memberikan contoh yang baik.


Hal lain yang meganggu demokrasi Indonesia, baru baru ini adalah adanya gambar mural di beberapa tembok di jalanan Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Mural menggambarkan berbagai macam kritikan, mulai dari menunjukkan pemerintah gagal dalam menangani Covid 19, kemudian kondisi ekonomi masyarakat hari ini yang terjepit. Mural itu sontak menjadi viral dan membuat pemerintah kelabakan untuk menghapus mural tersebut. Padahal menurut penulis, itu adalah wujud ekspresi yang dirasakan masyarakat hari ini di tengah situasi PPKM dengan segala kelemahannya. Misal seperti mural mirip Jokowi mengenakan pakaian putih dengan wajah tertutup masker, ini tentu memiliki makna kritikan sosial yang dituangkan melalui gambar pada beton fly over di Bandung.


Kini pelaku pembuat mural tersebut sedang diburu oleh pihak penegak hukum untuk mencari tahu apa maksud dari mural tersebut. Padahal sejatinya pihak kepolisian memiliki intelegensi dan psikologi yang kuat. Sangat mustahil gambar sesederhana itu tidak dapat dimengerti maksud dan tujuan. Seharusnya hal tersebut biarlah menjadi seni kritik, bukan malah semakin hari rakyat tertekan dan tertindas akibat tidak adanya kepastian ekonomi dan demokrasi Indonesia.


Oleh karenanya penulis mengharapkan Pandemi Covid 19 ini tidak menjadi ajang dalam merampas demokrasi dan ekonomi rakyat secara perlahan. Bukan pula menjadikan Covid 19 sebagai ajang bisnis papan atas, dengan mengenyampingkan hajat orang banyak. Yang semestinya hak – hak akan untuk hidup tersebut ditanggung oleh negara.


Penulis :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Guru- Guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 11 Banda Aceh

Dalam Rangka Memperingati Hari Guru   Canda Tawa Oleh  Dahrina,M,S.Sg.MA   Panggilan suara hati Menerjang segala penjuru Betabur butiran  resah dalam pandemi  Kemana muaranya dunia pendidikan   Tersungkur kaku aku dalam lamunan Terkontaminasi jiwa dalam keraguan Pikirku mulai menerawang Akan kah pandemik ini bisa kulawan   Aku memang tidak punya kuasa Tapi Allah Maha di atas segalanya Aku lemah dalam berlogika Tapi Allah Nyata adanya   Kini.... Derap langkah siswaku kembali terdengar Guruku kembali mengajar Canda tawa siswaku berbalut persahabatan Ada guru yang membimbing dengan balutan karakter budiman   Guru mari kita bersama ciptakan suasana baru  Wujudkan merdeka belajar  Negeri ini menantimu dalam karya yang terus dikenang   Baying-Bayang Pandemi Komite MIN 11 Banda Aceh    Hari ini terasa berbeda dengan tahun-tahun yang lalu Hari ini kita rayakan hari guru dengan sangat sederhana Tapi janganlah terperanjat dengan kesederhanaanya Syukurilah apa yang sudah di takdirkan Allah    Har

Tingkatkan Budaya Baca, Dispersa Kota Banda Aceh Bina Pustaka Sekolah dan Gampong

Banda Aceh - Pemerintah Kota Banda Aceh melalui program pengembangan minat dan budaya baca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh berupaya untuk terus meningkatkan minat baca masyarakat di Kota Banda Aceh. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh Alimsyah, S. Pd, MS melalui Sekretaris Dinas Amir mengatakan bahwa beberapa strategi dan upaya yang dilakukan yakni memberikan pembinaan kepada pustaka sekolah-sekolah dan gampong-gampong. "Yang dibina bukan hanya pustaka sekolah, dan pustaka gampong. Kita juga bina pustaka rumah sakit, pustaka di masjid-masjid dan di tempat-tempat publik, seperti pojok baca di Mall Pelayanan Publik (MPP) Kota Banda Aceh," jelasnya saat ditemui pasa Selasa, (17/6/2020) Selain itu jelasnya, pihaknya juga memberikan kemudahan dalam bentuk pelayanan pustaka keliling ke gampong-gampong atau sekolah-sekolah. "Untuk mendatangkan pustaka keliling ke sekolah atau gampong bisa masukkan surat ke dinas kita. Akan kita layani jika t

Peringati Hari Ibu, Kantor PPKB Banda Aceh Gelar Seminar Parenting

    Banda Aceh - Dalam rangka memperingati Hari Ibu ke-88 2016, Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Banda Aceh menggelar seminar parenting bertajuk “Menjadi Ibu Profesional”.    Menghadirkan ahli parenting nasional Septi Peni Wulandani yang juga pimpinan Institut Ibu Profesional (IIP) Jakarta sebagai pembicara utama, acara ini diikuti oleh ratusan kaum perempuan dari berbagai kalangan di Aula Lantai IV, Gedung A, Balai Kota Banda Aceh, Selasa (29/11/2016). Di antara tamu undangan terlihat hadir Ketua DPRK Banda Aceh Arif Fadillah, Ketua DWP Banda Aceh Buraida Bahagia, para pejabat di lingkungan Pemko Banda Aceh, Ketua Balee Inong se-Banda Aceh, dan sejumlah tokoh perempuan lainnya. Kepala Kantor PPKB Banda Aceh Badrunnisa menyebutkan peringatan Hari Ibu ke-88 2016 mengusung tema “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki untuk Mewujudkan Indonesia Bebas dari Kesenjangan Ekonomi, Kekerasan, dan Perdagangan Orang.” Pihaknya, sebut Badrunnisa, terus ber