Langsung ke konten utama

Jejak Kerajaan Pedir Yang Hilang

 

 


Oleh NAB BAHANY AS

Budayawan, tinggal di Banda Aceh


 

 Dalam banyak riwayat yang ditutip para penulis sejarah, terutama dalam catatan bangsa Cina (Tiongkok) menyebutkan bahwa sejak abad ke 5 M, di ujung Sumatera bagian Utara telah muncul sebuah kerajaan yang tergolong besar. Negeri itu sangat luas, penduduknya makmur dengan hasil pertanian yang melimpah, dan mereka menganut kepercayaan animisme. Berdasarkan sumber ini, para ahli kemudian mencoba menelusuri dengan berbagai pendekatan yang dilakukan untuk mngetahui di mana letak kerajaan yang disebutkan dalam catatan bangsa Cina ini. Dari berbagai penelusuran dan interpretasi yang dilakukan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam sumber Tiongkok ini, tersebutlah satu kata “Poli” sebagai sebuah nama kerajaan yang letaknya di Aceh.


Groeneveldt yang mengutip sejarah Dinasti Liang (502-556 M) yang kemudian dikutip Muhammad Said (1981) menyebutkan, bahwa kerajaan Poli terletak di sebuah pulau di Tenggara Kanton (Tionhkok), yang letaknya kira-kira dua bulan pelayaran. Luas negeri itu dari timur ke barat mencapai 50 hari perjalanan. Sementara dari Utara ke Selatan 20 hari perjalanan. Hal ini juga disebutkan  dalam sebuah ensiklopedi Jepang yang ditulis 300 tahun lalu sebagaimana dikutip Muhammad Said, bahwa jarak kerajaan Poli (atau “Phoni”dalam dialek Jepang) dari Chepo(Jawa) 45 hari pelayaran, dan dari San Fu Tjai(Sriwijaya) 40 hari pelayaran, serta dari Poli ke Campa (Indo Cina) selama 30 hari pelayaran.


Keterangan yang dikutip Muhammad Said dari sumber-sumber Cina di atas tak jauh beda dengan apa yang  diterangkan HM. Zainuddin (1961) yang menyebutkan, bahwa dalam riwayat Cina (Tiongkok) pada masa Dinasti Liang abad ke 5 tahun 413 M. diceritakan tentang kisah seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian) telah melawat ke Jeep Po Tidi Sumatera Utara. Salah satu negeri yang disinggahinya adalah Poli di ujung Sumatera Utara. Luas negeri Poliini kira-kira 100 x 200 mil jauhnya, atau 50 hari perjalanan dari timur ke barat. Sementara dari utara ke selatan mencapai 20 hari perjalanan, dengan penduduknya yang makmur dari hasil pertanian menanam padi dua kali dalam setahun.


Informasi keberadaan kerajaan Polisejak abad ke 5 M yang terdapat dalam catatan-cataan Cina ini, kemudian dipertegas kembali oleh pengembara-pengembara berikutnya setelah beberapa abad kemudian. Baik dari Cina sendiri seperti Cheng Ho, ataupun oleh pengembara Eropa Marco Polo dan Ibnu Batutah dari Moroco. Dalam periode ini untuk nama kerajaan yang sebelumnya disebut “Poli” kemudian dikenal dengan mana “Pedir”. Akan tetapi, dalam catatan Marco Polo yang disunting kembali  Anthony Reid (2010) Marco Polo menyebutkan nama Pedir dengan sebutan Gragoian, maksudnya Pedir.

Dalam singgahannya di Pedir pada tahun 1260-an, Marco Polo mencatat:   “Pedir adalah kerajaan terpisah yang berdiri sendiri dan memiliki raja dengan bahasanya sendiri. Masyarakatnya masih menyembah berhala dan akan saya ceritakan satu kebiasaan mereka yang sangat buruk”. Yang disebutkan Marco Polo terhadap masyarakat Pedir kala itu adalah masyarakat yang masih karnibal. Kondisi karnibalisme masyarakat ini juga ditemukan Marco Polo dalam singgahannya di Perlak sebelum melanjutkan pelayarannya ke Pedir. Jadi kalau kita berpedoman pada berita Marco Polo ini memberikan informasi bahwa penduduk kerajaan Pedir dalam pertengahan abad ke 13 M masih sangat primitif dan karnibalisme.


Kita boleh saja meragukan apa yang ceritakan Marco Polo tentang keberadaan masyarakat Pedir saat itu yang masih karnibal. Tapi yang ingin dikemukakan di sini adalah, dari catatan-cataan yang telah disebutkan makin memberikan informasi bahwa kerajaan Pedir ini telah muncul di Aceh jauh sebelum adanya informasi-informasi tentang keberadaan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah ini.

Seperti kerajaan Perlak, kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Aru dan kerajaan Lamuri di Aceh Besar. Kerajaan-kerajaan ini baru terdengar kemunculannya pada akhir-akhir abad ke 12 dan abad ke 13, dibandingkan dengan kerajaan Poli(Pedir) yang sudah disebut-sebut kemunculannya sejak abat ke 5 M. Hal ini mengindikasikan bahwa kerajaan Pedir jauh lebih tua dibandingkan kerajaan-kerajaan lainnya yang muncul di Aceh tempo dulu.

 

 

Pusat Kerajaan Pedir

Yang menjadi pertanyaan sekarang, di mana dulunya  letak pusat kerajaan Pedir ini? Kalau kerjaan Perlak—terlepas dari pro-kontra ada atau tidak adanya kerjaan Perlak ini—tetapi lokasinya sudah jelas di Bandar Khalifah Perlak Aceh Timur. Demikian pula kerajaan Samudra Pasai yang lokasinya di Gedong Pase Aceh Utara. Begitu pula kerajaan Lamuri di Aceh Besar yang keberadaannya dulu jelas di Lamreh, Kreung Raya Aceh Besar. Sementara kerajaan Pedir hingga saat ini belum ditemukan jenaknya di mana pusat kerajaan Pedir tempo dulu.

Menurut HM Zainuddin (1961) yang mengitip perkiraan para ahli, kerajaan Pedir memiliki wilayah batasannya dari kuala Ulim (Pijay sekarang) hingga ke kuala Batee ( Laweueng?) dan seterusnya. Kerajaan Perlak dari Bayeuen sampai kuala Idi, kerajaan Samudra Pasai dari kuala Jambo Aye sampai kuala Ulim, dan kerajaan Lamuri dari kuala Batee sampai kuala Aceh—mungkin yang dimaksudkan kuala Aceh adalah kuala krueng Aceh sekaranng ini. Sementara di wilayah timur ada kerajaan Aru yang luas wilayahnya dari Tamiang sampai sungai Rokan.

Dari batas-batas wilayah kerajaan itu, HM Zainuddin yang mengutip keterangan dari catatan seorang pengembara Cina tahun 413 M, pelabuhan Poli—yang kemudian dikenal dengan nama Pedir—terletak pada suatu teluk yang genting bentuknya. Yang dimaksud teluk genting ini menurut Zainuddin adalah Kuala Batee yang sampai sekarang nama tempat itu masih disebut Genting.  Tidak jauh dari pelabuhan Genting ini ada satu tempat yang bernama Panai atau Pandei.Pendapat ini sepertinya selaras dengan apa yang dikemukaan seorang pakar Tionghoa Hsu Yun Tsian (dalam Muhammad Said (1981), yang cendrung menyebutkan kerajaan Poli(Pedir) dengan nama kerajaan Panai. Hal ini setidaknya dapat memperkuat dugaan bahwa pusat kerajaan Pedir dulunya berada di teluk genting Kuala Batee Pidie.

Dugaan ini tidak serta merta bisa dijadikan sebuah kebenaran sejarah sebelum didapatkan pembuktian secara otentik. Baik secara primer (sumber tertulis) maupun secara sekunder (sumber fisik) termasuk galian-galian temuan arkeologis yang dapat  mendukung keyakinan sejarah bahwa di teluk genting Kuala Batee ini dulunya benar sebagai sebuah pusat kerajaan.

Selama bukti-bukti itu belum ditemukan, kita hanya bisa menduga untuk tidak dapat berkesimpulan dalam menentukan sebuah kebenaran sejarah. Apa lagi dalam menetukan pusat kerajaan Pedir tempo dulu, kerena selain dugaan di teluk kuala Batee, juga masih ada titik-titik lain yang juga mengindikasikan sebagai pusat kerajaan Pedir. Seperti Gigieng di simpang tiga Sigli, Pente Raja di Pidie Jaya sekarang, kuala Nenjong di Lueng Putu dan Sanggeue Ribee Pidie. Ini adalah titik-titik lokasi yang diduga dulunya sebagai pusat tempat penyelenggaraan pemerintahan kerajaan Pedir.

 

Perlu Kajian Serius

Ma Huan seorang Sekretaris dan penerjemah Laksamana Cheng Ho yang selalu ikut dalam ekspedisi pelayaran Cheng Ho dari Tiongkok ke India, Eropa, hingga ke Madagaskar Afrika. Ma Huan selalu mencatat peristiwa di setiap negeri yang dikujungi dan disinggahi Laksamana Cheng Ho. Namun dari tujuh kali ekspedisi pelayaran Laksamana Cheng Ho ke wilayah Sumatera pada abad ke 14 M, hanya empat kali singgah di kerajaan Pedir Aceh.


Yang rutin disinggahi Cheng Ho dalam tujuh kali pelayarannya ke Sumatera melalui Selat Malaka adalah kerajaan Samudra Pasai, selain kerajaan Aru dan Lamuri di Aceh Besar. Tapi Ma Huan tidak memberikan keterangan yang mengembirakan mengenai gambaran keberadaan letak kerajaan Pedir yang pernah empat kali disinggahi Cheng Ho pada abad ke 14. Ma Huan malah lebih banyak menceritakan tentang keberadaan kerajaan Samudra Pasai dan kerajaan Lambri (Lamuri) di Aceh besar.

Mengenai kerajaan Pedir, Ma Huan hanya menyebutkan nama kerajaan itu adalah “Lide” (maksudnya Pedir). Dalam catatannya Ma Huan hanya menggambarkan bahwa kerajaan Lide(Pedir)saat ia mengunjungi terdapat lebih kurang 3.000 kepala keluarga. Mereka mengangkat seorang sebagai rajanya. Raja itu berada di bawah kekuasaan Samudra Pasai. Hasil Bumi kerajaan Liditidak ada yang terkenal. Bahasa penduduknya sama dengan bahasa yang dipakai di Samudra Pasai. Tapi di negeri ini banyak  terdapat badak. Sang raja menyuruh memburu  binatang hutan ini untuk dijadikan bingkisan bersama dengan kerajaan Samudra Pasai yang dikirim ke Tiongkok (Kong Yuanzhi: 2005). Keterangan ini mengindikasikan bahwa pada abad ke 14 M, kerajaan Pedir pernah tunduk dalam kekuasaan kerajaan Samudra Pasai.


Untuk menentukan apakah kerajaan Pedir dapat digolongkan sebagai sebuah kerajaan paling awal di Aceh, dibandingkan kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Lamuri, dan kerajaan Aceh Darussalam, atau kerajaan Daya dan kerajaan Lingge di Aceh Tengah. Kalau dirunut pada berita-berita Cina sebagaimana yang sudah disebutkan, jelas bahwa kemunculan kerajaan Pedir telah disebut-sebut keberadaannya sejak abad ke 5 M. Sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya di Aceh baru diketahui kemunculannya  pada abad ke 12 atau dalam abad ke 13 M.


Jadi, kalau dibandingkan dengan kerajaan Aceh (di Aceh Besar) yang didirikan oleh Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) sebelum Sultan Mughayat Syah (1515-1530 M) mendirikan kerajaan Aceh Darussalam, di mana masa pemerintahan Sultan Johan Syah di Aceh Besar ini kemudian diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya kota Banda Aceh, yang sekarang sudah berusia 816 tahun.  Kalau itu yang menjadi hitungan sejarah berdirinya Kota Banda Aceh, maka tidak salah kalau cikal bakal berdirinya Ibu Kota Pedie—yang sekarang disebut Sigli—bila dihitung mudur pada muculnya kerajaan Pedir yang telah disebut-sebut dalam catatan Cina sejak abad ke 5 M.  jelas menunjukkan Ibu Kota Pidie jauh lebih tua dari kota Banda Aceh.


Akan tetapi sekali lagi, kita tidak bisa dengan serta-merta dapat menyimpulkan perbandingan-perbandingan ini, sebelum memiliki bukti sejarah yang cukup dan menyakinkan dalam menentukan sebuah kesimpilan sejarah. Untuk itu diperlukan kajian dan penelitian-penelitian yang lebih mendalam lagi tentang jejak kerajaan Pedir sebagai kerajaan tertua di Aceh. Kajian ini penting dilakukan untuk menemukan tahun yang tepat, sejak kapan berdirinya kota Pidie yang sekarang di sebut Sigli.<nabbahanyas@yahoo.co.id>

 

Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh.

 

 

 

 

 

 

NAB BAHANY AS

Budayawan, tinggal di Banda Aceh

 

 

Dalam banyak riwayat yang ditutip para penulis sejarah, terutama dalam catatan bangsa Cina (Tiongkok) menyebutkan bahwa sejak abad ke 5 M, di ujung Sumatera bagian Utara telah muncul sebuah kerajaan yang tergolong besarNegeri itu sangat luas, penduduknya makmur dengan hasil pertanian yang melimpah, dan mereka menganut kepercayaan animisme. Berdasarkan sumber ini, para ahli kemudianmencoba menelusuri dengan berbagai pendekatan yang dilakukan untuk mngetahui di mana letak kerajaan yang disebutkan dalam catatan bangsa Cina ini. Dari berbagai penelusuran dan interpretasi yang dilakukan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam sumber Tiongkok ini, tersebutlah satu kata “Poli” sebagai sebuah nama kerajaan yang letaknya di Aceh.

Groeneveldt yang mengutip sejarah Dinasti Liang (502-556 M) yang kemudian dikutip Muhammad Said (1981) menyebutkanbahwa kerajaan Poli terletak di sebuah pulau di Tenggara Kanton (Tionhkok), yang letaknya kira-kira dua bulan pelayaran. Luas negeri itudari timur ke barat mencapai 50 hari perjalanan.Sementara dari Utara ke Selatan 20 hari perjalanan.Hal ini juga disebutkan  dalam sebuah ensiklopediJepang yang ditulis 300 tahun lalu sebagaimana dikutip Muhammad Said, bahwa jarak kerajaan Poli (atau “Phoni” dalam dialek Jepang) dari Chepo (Jawa) 45 hari pelayaran, dan dari San Fu Tjai (Sriwijaya) 40 haripelayaran, serta dari Poli ke Campa (Indo Cina) selama 30 hari pelayaran.

Keterangan yang dikutip Muhammad Said dari sumber-sumber Cina di atas tak jauh beda dengan apa yang  diterangkan HM. Zainuddin (1961) yang menyebutkan, bahwa dalam riwayat Cina (Tiongkok) pada masa Dinasti Liang abad ke 5 tahun 413 M.diceritakan tentang kisah seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian) telah melawat ke Jeep Po Tidi Sumatera Utara. Salah satu negeri yang disinggahinya adalah Poli di ujung Sumatera Utara. Luas negeri Poli ini kira-kira 100 x 200 mil jauhnya, atau 50 hari perjalanan dari timur ke barat. Sementara dari utara ke selatan mencapai 20 hari perjalanan, dengan penduduknya yang makmur dari hasil pertanian menanam padi dua kali dalam setahun.

Informasi keberadaan kerajaan Poli sejak abad ke 5 M yang terdapat dalam catatan-cataan Cina ini,kemudian dipertegas kembali oleh pengembara-pengembara berikutnya setelah beberapa abad kemudian. Baik dari Cina sendiri seperti Cheng Ho, ataupun oleh pengembara Eropa Marco Polo dan Ibnu Batutah dari Moroco. Dalam periode ini untuk nama kerajaan yang sebelumnya disebut “Poli” kemudian dikenal dengan mana “Pedir”. Akan tetapi, dalam catatan Marco Polo yang disunting kembali  AnthonyReid (2010) Marco Polo menyebutkan nama Pedir dengan sebutan Gragoian, maksudnya Pedir.

Dalam singgahannya di Pedir pada tahun 1260-an, Marco Polo mencatat:   Pedir adalah kerajaan terpisahyang berdiri sendiri dan memiliki raja dengan bahasanya sendiri. Masyarakatnya masih menyembah berhala dan akan saya ceritakan satu kebiasaan mereka yang sangat buruk”. Yang disebutkan Marco Polo terhadap masyarakat Pedir kala itu adalah masyarakat yang masih karnibal. Kondisi karnibalisme masyarakat ini juga ditemukan Marco Polo dalam singgahannya di Perlak sebelum melanjutkan pelayarannya ke Pedir.Jadi kalau kita berpedoman pada berita Marco Polo ini memberikan informasi bahwa penduduk kerajaan Pedir dalam pertengahan abad ke 13 M masih sangat primitifdan karnibalisme.

Kita boleh saja meragukan apa yang ceritakan Marco Polo tentang keberadaan masyarakat Pedir saat itu yang masih karnibal. Tapi yang ingin dikemukakan di sini adalahdari catatan-cataan yang telah disebutkan makin memberikan informasi bahwa kerajaan Pedir ini telah muncul di Aceh jauh sebelum adanya informasi-informasi tentang keberadaan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah ini.

Seperti kerajaan Perlak, kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Aru dan kerajaan Lamuri di Aceh Besar.Kerajaan-kerajaan ini baru terdengar kemunculannyapada akhir-akhir abad ke 12 dan abad ke 13, dibandingkan dengan kerajaan Poli (Pedir) yang sudah disebut-sebut kemunculannya sejak abat ke 5 M. Hal ini mengindikasikan bahwa kerajaan Pedir jauh lebih tua dibandingkan kerajaan-kerajaan lainnya yang muncul di Aceh tempo dulu.

 

 

Pusat Kerajaan Pedir

Yang menjadi pertanyaan sekarang, di manadulunya  letak pusat kerajaan Pedir iniKalau kerjaan Perlak—terlepas dari pro-kontra ada atau tidak adanya kerjaan Perlak ini—tetapi lokasinya sudah jelas di Bandar Khalifah Perlak Aceh Timur. Demikian pulakerajaan Samudra Pasai yang lokasinya di Gedong Pase Aceh Utara. Begitu pula kerajaan Lamuri di Aceh Besar yang keberadaannya dulu jelas di Lamreh, Kreung Raya Aceh Besar. Sementara kerajaan Pedir hingga saat ini belum ditemukan jenaknya di mana pusat kerajaan Pedir tempo dulu.

Menurut HM Zainuddin (1961) yang mengitip perkiraan para ahli, kerajaan Pedir memiliki wilayah batasannya dari kuala Ulim (Pijay sekarang) hingga ke kuala Batee ( Laweueng?) dan seterusnya. Kerajaan Perlak dari Bayeuen sampai kuala IdikerajaanSamudra Pasai dari kuala Jambo Aye sampai kuala Ulim, dan kerajaan Lamuri dari kuala Batee sampai kuala Aceh—mungkin yang dimaksudkan kuala Aceh adalah kuala krueng Aceh sekaranng ini. Sementara di wilayah timur ada kerajaan Aru yang luas wilayahnya dari Tamiang sampai sungai Rokan.

Dari batas-batas wilayah kerajaan itu, HM Zainuddin yang mengutip keterangan dari catatan seorang pengembara Cina tahun 413 M, pelabuhan Poli—yang kemudian dikenal dengan nama Pedir—terletak pada suatu teluk yang genting bentuknya. Yang dimaksud teluk genting ini menurut Zainuddin adalah Kuala Batee yang sampai sekarang nama tempat itumasih disebut Genting.  Tidak jauh dari pelabuhan Genting ini ada satu tempat yang bernama Panai atau Pandei. Pendapat ini sepertinya selaras dengan apa yang dikemukaan seorang pakar Tionghoa Hsu Yun Tsian (dalam Muhammad Said (1981), yang cendrungmenyebutkan kerajaan Poli (Pedir) dengan nama kerajaan Panai. Hal ini setidaknya dapat memperkuat dugaan bahwa pusat kerajaan Pedir dulunya berada di teluk genting Kuala Batee Pidie.

Dugaan ini tidak serta merta bisa dijadikan sebuah kebenaran sejarah sebelum didapatkan pembuktian secara otentik. Baik secara primer (sumber tertulis) maupun secara sekunder (sumber fisik) termasuk galian-galian temuan arkeologis yang dapat  mendukung keyakinan sejarah bahwa di teluk genting Kuala Batee ini dulunya benar sebagai sebuah pusat kerajaan.

Selama bukti-bukti itu belum ditemukan, kita hanya bisa menduga untuk tidak dapat berkesimpulan dalam menentukan sebuah kebenaran sejarah. Apa lagi dalam menetukan pusat kerajaan Pedir tempo dulu, kerena selain dugaan di teluk kuala Batee, juga masih ada titik-titik lain yang juga mengindikasikan sebagai pusat kerajaan Pedir. Seperti Gigieng di simpang tiga Sigli, Pente Raja di Pidie Jaya sekarang, kuala Nenjong di Lueng Putu dan Sanggeue Ribee Pidie. Ini adalah titik-titik lokasi yang diduga dulunya sebagai pusat tempat penyelenggaraan pemerintahan kerajaan Pedir.

 

Perlu Kajian Serius

Ma Huan seorang Sekretaris dan penerjemahLaksamana Cheng Ho yang selalu ikut dalam ekspedisi pelayaran Cheng Ho dari Tiongkok ke India, Eropa,hingga ke Madagaskar Afrika. Ma Huan selalu mencatat peristiwa di setiap negeri yang dikujungi dan disinggahi Laksamana Cheng Ho. Namun dari tujuh kali ekspedisi pelayaran Laksamana Cheng Ho ke wilayah Sumatera pada abad ke 14 M, hanya empat kali singgah di kerajaan Pedir Aceh

Yang rutin disinggahi Cheng Ho dalam tujuh kali pelayarannya ke Sumatera melalui Selat Malaka adalah kerajaan Samudra Pasai, selain kerajaan Aru dan Lamuri di Aceh Besar. Tapi Ma Huan tidak memberikan keterangan yang mengembirakan mengenai gambaran keberadaan letak kerajaan Pediryang pernah empat kali disinggahi Cheng Ho pada abad ke 14Ma Huan malah lebih banyak menceritakan tentang keberadaan kerajaan Samudra Pasai dan kerajaan Lambri (Lamuri) di Aceh besar.

Mengenai kerajaan Pedir, Ma Huan hanya menyebutkan nama kerajaan itu adalah “Lide”(maksudnya Pedir). Dalam catatannya Ma Huan hanyamenggambarkan bahwa kerajaan Lide (Pedir) saat ia mengunjungi terdapat lebih kurang 3.000 kepala keluarga. Mereka mengangkat seorang sebagai rajanya.Raja itu berada di bawah kekuasaan Samudra Pasai.Hasil Bumi kerajaan Lidi tidak ada yang terkenal.Bahasa penduduknya sama dengan bahasa yang dipakai di Samudra Pasai. Tapi di negeri ini banyak  terdapat badak. Sang raja menyuruh memburu  binatang hutan ini untuk dijadikan bingkisan bersama dengan kerajaan Samudra Pasai yang dikirim ke Tiongkok (Kong Yuanzhi: 2005). Keterangan ini mengindikasikan bahwa pada abad ke 14 M, kerajaan Pedir pernah tunduk dalam kekuasaan kerajaan Samudra Pasai.

Untuk menentukan apakah kerajaan Pedir dapat digolongkan sebagai sebuah kerajaan paling awal di Aceh, dibandingkan kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Lamuri, dan kerajaan Aceh Darussalam, atau kerajaan Daya dan kerajaan Lingge di Aceh Tengah. Kalau dirunut pada berita-berita Cina sebagaimana yang sudah disebutkan, jelas bahwa kemunculan kerajaan Pedir telah disebut-sebut keberadaannya sejak abad ke 5 M. Sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya di Acehbaru diketahui kemunculannya  pada abad ke 12 ataudalam abad ke 13 M.

Jadi, kalau dibandingkan dengan kerajaan Aceh (di Aceh Besar) yang didirikan oleh Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) sebelum Sultan Mughayat Syah (1515-1530 M) mendirikan kerajaan Aceh Darussalam, di mana masa pemerintahan Sultan Johan Syah di Aceh Besar ini kemudian diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya kota Banda Aceh, yang sekarang sudah berusia 816 tahun.  Kalau itu yang menjadi hitungan sejarah berdirinya Kota Banda Acehmaka tidak salahkalau cikal bakal berdirinya Ibu Kota Pedie—yang sekarang disebut Sigli—bila dihitung mudur pada muculnya kerajaan Pedir yang telah disebut-sebut dalam catatan Cina sejak abad ke 5 M.  jelasmenunjukkan Ibu Kota Pidie jauh lebih tua dari kota Banda Aceh.

Akan tetapi sekali lagi, kita tidak bisa dengan serta-merta dapat menyimpulkan perbandingan-perbandingan ini, sebelum memiliki bukti sejarah yang cukup dan menyakinkan dalam menentukan sebuah kesimpilan sejarah. Untuk itu diperlukan kajian dan penelitian-penelitian yang lebih mendalam lagi tentangjejak kerajaan Pedir sebagai kerajaan tertua di Aceh.Kajian ini penting dilakukan untuk menemukan tahunyang tepat, sejak kapan berdirinya kota Pidie yang sekarang di sebut Sigli.<nabbahanyas@yahoo.co.id>

 

Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Guru- Guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 11 Banda Aceh

Dalam Rangka Memperingati Hari Guru   Canda Tawa Oleh  Dahrina,M,S.Sg.MA   Panggilan suara hati Menerjang segala penjuru Betabur butiran  resah dalam pandemi  Kemana muaranya dunia pendidikan   Tersungkur kaku aku dalam lamunan Terkontaminasi jiwa dalam keraguan Pikirku mulai menerawang Akan kah pandemik ini bisa kulawan   Aku memang tidak punya kuasa Tapi Allah Maha di atas segalanya Aku lemah dalam berlogika Tapi Allah Nyata adanya   Kini.... Derap langkah siswaku kembali terdengar Guruku kembali mengajar Canda tawa siswaku berbalut persahabatan Ada guru yang membimbing dengan balutan karakter budiman   Guru mari kita bersama ciptakan suasana baru  Wujudkan merdeka belajar  Negeri ini menantimu dalam karya yang terus dikenang   Baying-Bayang Pandemi Komite MIN 11 Banda Aceh    Hari ini terasa berbeda dengan tahun-tahun yang lalu Hari ini kita rayakan hari guru dengan sangat sederhana Tapi janganlah terperanjat dengan kesederhanaanya Syukurilah apa yang sudah di takdirkan Allah    Har

Tingkatkan Budaya Baca, Dispersa Kota Banda Aceh Bina Pustaka Sekolah dan Gampong

Banda Aceh - Pemerintah Kota Banda Aceh melalui program pengembangan minat dan budaya baca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh berupaya untuk terus meningkatkan minat baca masyarakat di Kota Banda Aceh. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh Alimsyah, S. Pd, MS melalui Sekretaris Dinas Amir mengatakan bahwa beberapa strategi dan upaya yang dilakukan yakni memberikan pembinaan kepada pustaka sekolah-sekolah dan gampong-gampong. "Yang dibina bukan hanya pustaka sekolah, dan pustaka gampong. Kita juga bina pustaka rumah sakit, pustaka di masjid-masjid dan di tempat-tempat publik, seperti pojok baca di Mall Pelayanan Publik (MPP) Kota Banda Aceh," jelasnya saat ditemui pasa Selasa, (17/6/2020) Selain itu jelasnya, pihaknya juga memberikan kemudahan dalam bentuk pelayanan pustaka keliling ke gampong-gampong atau sekolah-sekolah. "Untuk mendatangkan pustaka keliling ke sekolah atau gampong bisa masukkan surat ke dinas kita. Akan kita layani jika t

Peringati Hari Ibu, Kantor PPKB Banda Aceh Gelar Seminar Parenting

    Banda Aceh - Dalam rangka memperingati Hari Ibu ke-88 2016, Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Banda Aceh menggelar seminar parenting bertajuk “Menjadi Ibu Profesional”.    Menghadirkan ahli parenting nasional Septi Peni Wulandani yang juga pimpinan Institut Ibu Profesional (IIP) Jakarta sebagai pembicara utama, acara ini diikuti oleh ratusan kaum perempuan dari berbagai kalangan di Aula Lantai IV, Gedung A, Balai Kota Banda Aceh, Selasa (29/11/2016). Di antara tamu undangan terlihat hadir Ketua DPRK Banda Aceh Arif Fadillah, Ketua DWP Banda Aceh Buraida Bahagia, para pejabat di lingkungan Pemko Banda Aceh, Ketua Balee Inong se-Banda Aceh, dan sejumlah tokoh perempuan lainnya. Kepala Kantor PPKB Banda Aceh Badrunnisa menyebutkan peringatan Hari Ibu ke-88 2016 mengusung tema “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki untuk Mewujudkan Indonesia Bebas dari Kesenjangan Ekonomi, Kekerasan, dan Perdagangan Orang.” Pihaknya, sebut Badrunnisa, terus ber