Kekuasaan para sultanat di masa lalu tidak identik dengan kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan Aceh di masa itu.
Oleh Farid Muttaqin*)
PERAN politik perempuan di Aceh, banyak didominasi oleh cara pandangan romantisme sejarah (historical romanticism). Cara pandang macam ini antara lain mengungkap keberadaan perempuan-perempuan Aceh dalam berbagai posisi kepemimpinan publik di masa lalu.
Pandangan romantisme sejarah tak hanya dominan dalam lingkup partisipasi politik, tapi juga dalam pembicaraan isu-isu gender yang lebih luas. Misalnya, dalam berbagai kegiatan training, workshop, seminar atau forum diskusi lainnya, Para peserta dari masyarakat Aceh, sangat suka mengemukakan pandangan bahwa di Aceh (ketidakadilan) gender bukanlah persoalan (besar); tidak ada persoalan (ketidakadilan) gender di Aceh; buktinya, masyarakat Aceh sudah sejak lama –dalam sejarah—memberi ruang sangat luas bagi kaum perempuan, dari Sri Ratu Syafiatuddin hingga Tjut Nyak Dhien, untuk menjadi pemimpin publik, menjadi sultanat, menjadi pemimpin perang.
Sejarah perempuan pemimpin di Aceh, seringkali dijadikan bukti bahwa masyarakat Aceh –sejak dulu hingga saat ini—sudah “berperspektif gender” . Masyarakat Aceh menyebutnya dengan istilah “sudah gender”. Ujung-ujungnya, berkembang pandangan bahwa masyarakat Aceh kini sama sekali “tidak butuh program-program terkait isu gender”, yang biasa mereka ungkapkan dengan kalimat: masyarakat Aceh tidak butuh “gender-gender”-an. Pandangan seperti ini tak hanya berkembang di kalangan masyarakat. Para pejabat pemerintah, anggota legislatif, para ulama atau para akademisi juga banyak yang memiliki pandangan serupa.
Romantisme sejarah sudah menjalar dalam pembicaraan isu gender yang lebih luas itu kini, maka sangat penting untuk melakukan kajian kritis terhadap pandangan romantisme sejarah tersebut. Patut diketahui bahwa peran dan partisipasi (politik) perempuan di Aceh tidak berhenti pada fase sejarah jauh sebelum kemerdekaan atau tidak berhenti di masa perjuangan Tjut Nyak Dhien dan kawan-kawannya.
Saat terjadi konflik hebat di Tanah Rencong ini, yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), banyak perempuan Aceh jadi inong balee alias gerilyawan. Para inong balee ini tak hanya berperan sebagai tukang masak dan penyedia logistik belaka. Banyak di antara mereka yang berdiri di barisan depan, tengah, hingga belakang dalam kancah perlawanan dan peperangan. Selain mereka, beberapa kelompok perempuan Aceh juga berinisiatif membangun peran politik mereka, seperti memfasilitasi dua kali Duepakat Inong Aceh. Beberapa perempuan Aceh memutuskan jadi calon anggota legislatif. Bahkan, salah satu dari mereka ini terpilih menjadi wakil walikota. Artinya, dalam beberapa hal, kisah tentang keagungan perempuan dalam berbagai posisi politik di Aceh berlanjut hingga saat ini.
Sayangnya, di balik wajah yang tampak tak masalah itu, muncul beberapa hal yang patut dikritisi. Selain bagaimana kini berkembang pandangan tentang “Aceh yang sudah berperspektif gender dan karenanya tidak butuh lagi program-program untuk penguatan keadilan gender,” kenyataan membuktikan bahwa hanya satu perempuan saja yang jadi wakil walikota, kurang dari enam persen calon legislatif perempuan yang akhirnya bisa jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dan bahkan di beberapa kabupaten/kota, tak satu perempuan pun yang terpilih menjadi anggota legislatif. Seorang camat perempuan di Kabupten Bireun bahkan harus menghadapi “impeachment” dari lembaga legislatif setempat. Inilah kenyataan sekarang, bukan cerita masa lalu. Oleh sebab itu, membangun studi kritis terhadap pandangan sejarah amatlah penting.
Cara pandang berdasarkan romantisme sejarah adalah cara pandang sejarah yang bias gender.
Saya pernah secara khusus menulis tentang sejarah perempuan (di Indonesia) yang bias gender dalam artikel “Sejarah Gerakan Perempuan yang Bias Jender,” diterbitkan Kompas (baca artikel tersebut di http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/47368). Dalam tulisan tersebut, saya mengungkapkan bahwa pandangan kita tentang sejarah (gerakan) perempuan di negeri ini lebih banyak didominasi oleh pandangan yang mengagungkan perempuan-perempuan yang “berhasil” menduduki posisi atau jabatan atau peran-peran publik, seperti Raden Ajeng Kartini. Dia dianggap pahlawan emansipasi perempuan bereputasi dunia karena sumbangan besarnya lewat pendidikan bagi perempuan dan surat-surat gugatannya yang dikumpulkan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Ada lagi Tjut Nyak Dhien, yang juga diagungkan sebagai tokoh perempuan Nusantara yang berhasil memimpin perang. Pandangan ini sangat bias, terutama karena hanya mengakui peran-peran perempuan dalam wilayah politik atau publik. Pandangan ini lalu mengisolasi peran-peran penting perempuan di wilayah domestik.
Dalam satire yang saya tulis di Kompas, saya menyebutkan bahwa pandangan tersebut membuat kita melupakan jasa “Bu Kartinah, si tukang masuk di dapur umum para pejuang kemerdekaan, di samping RA Kartini … Mak Dewi, si suster pejuang yang terluka, di samping Dewi Sartika …(atau) Tjut Minah yang ulet mengurus anak-anak, sementara suami berperang bersama Tjut Nyak Dien.”
Jika kita tak mengubah cara pandang berdasarkan romantisme sejarah itu, sesungguhnya kita sedang melestarikan pandangan bias gender dalam sejarah. Pandangan romantisme sejarah juga lebih banyak menekankan aspek sejarah politik, sejarah elit, yaitu sejarah tentang para elit, sejarah tentang para penguasa atau sejarah “para pemenang.”
Dalam pandangan yang menekankan sejarah elit, kita menjadi lupa dengan sejarah sosial, sejarah hidup keseharian dengan berbagai dinamikanya. Memang benar bahwa dalam sejarah Aceh Sri Ratu Syafiatuddin pernah menjadi seorang sultanat. Pertanyaan kritisnya, bagaimana kondisi hidup kaum perempuan pada saat Ratu Syafiatuddin berkuasa? Bagaimana status keadilan gender pada saat itu? Memang merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan bahwa Tjut Nyak Dhien pernah menjadi komandan sebuah pasukan perang yang berisi para tentara laki-laki. Pertanyaan kritisnya, apakah pada saat Tjut Nyak Dhien (berhasil) menjadi komandan perang, kondisi perempuan Aceh sudah terbebas dari berbagai bentuk ketidakadilan, diskriminasi dan kekerasan berbasis gender?
Kajian kritis sejarah yang tidak hanya menyentuh sejarah para elit, tapi juga sejarah sosial atau sejarah kehidupan masyarakat sehari-hari akan menjadi upaya penting untuk mengungkap berbagai kepentingan di balik sebuah konstruksi gender, termasuk konstruksi gender yang berkaitan dengan peran politik perempuan. Kajian kritis sejarah yang demikian akan sangat penting membantu kita menjawab sejumlah pertanyaan hari ini.
Jika masyarakat Aceh sudah sangat “sensitif gender” sedari dulu, mengapa dalam masyarakat Aceh masa kini susah sekali bagi perempuan di Aceh untuk jadi seorang anggota legislatif? Apa yang membuat Tjut Nyak Dien bisa jadi pemimpin, sedang camat perempuan di Bireuen dipaksa turun? Kepentingan apa yang membuat situasi yang dialami kedua perempuan ini berbeda? Mengapa terjadi perubahan situasi? Atau jangan-jangan tidak ada yang berubah sejak dulu: belum ada ruang yang adil bagi perempuan sejak dulu dan pandangan yang adil tanpa melihat jenis kelamin sesungguhnya belum benar-benar menjadi pandangan masyarakat Aceh.
Sekali lagi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kajian sejarah yang komprehensif, yang menyentuh baik sejarah elit atau sejarah politik maupun sejarah masyarakat atau sejarah sosial menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Persoalan ketidakadilan gender terus berkembang seiring dengan perkembangan di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Globalisasi membuat tak satupun masyarakat di pojok dunia paling terpencil pun bebas dari interaksi –dan pengaruh—dunia di luarnya.
Data sejarah bisa menjadi bukti untuk menilai bagaimana kondisi keadilan gender di suatu masyarakat. Namun, kita hidup dengan dan dalam dinamika sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang terus berkembang. Artinya, berbagai sistem sosial-politik baru dapat mempengaruhi pembentukan pandangan dan konsep gender baru.
Di Aceh misalnya, konflik panjang antara pemerintah Indonesia dan GAM dan penerapan syariat Islam dalam sistem hukum formal jangan-jangan telah menghasilkan praktek dan konsep tertentu tentang gender.
Penggunaan data sejarah amat membutuhkan berbagai kontekstualisasi agar penilaian kita bisa lebih valid, dan yang terpenting penilaian tersebut tidak menjadi alasan untuk menolak berbagai upaya penguatan keadilan gender.***
*) Farid Muttaqin adalah aktivis hak-hak perempuan dan keadilan gender, tinggal di Banda Aceh.
Komentar
Posting Komentar