Oleh Deni Kusuma
Film Cut Nyak Dien yang diproduksi
oleh PT. Kanta Indah Film pada 1988 memberikan inspirasi kepada kita untuk senantiasa
tabah dalam menghadapi ujian hidup. Apalagi ketika melihat Cut Nyak Dien
seorang perempuan yang dalam film tersebut digambarkan terlihat begitu tabah
dalam menghadapi kemelut persoalan yang ada di sekelilingnya. Tidak hanya
pemerintah kolonial Belanda yang terus
mengejar-ngejar dirinya untuk ditangkap, tetapi juga masyarakat di
sekelilingnya yang ada sebagian di antara mereka, justru membuat Cut Nyak Dien
merasa jengkel.
Hal itu terjadi karena ingin
menangkap Cut Nyak Dien, lalu menyerahkannya ke pihak kolonial. Tujuannya
adalah agar peperangan antara masyarakat Aceh dan pemerintah kolonial segera
berakhir. Korban jiwa sudah terlalu banyak. Masyarakat Aceh sendiri sudah
terdesak oleh tentara kolonial, sampai-sampai mencari perlindungan mundur ke
hutan-hutan. Teuku Umar, suami Cut Nyak Dien pun sudah gugur lebih awal.
Sungguh pun demikian, Cut Nyak
Dien dan sebagian besar masyarakat Aceh enggan menyerahkan diri kepada
kolonial. Hal itu karena mereka merasa bahwa kalau menyerah pada akhirnya
wilayah mereka juga akan dikuasai Belanda. Namun sayang, tekat yang kuat itu
terpaksa terkalahkan oleh kondisi alamiah. Cut Nyak Dien sebagai pemimpin
gerakannya, jatuh sakit, energi untuk bergerak sudah terkuras sampai-sampai ia
harus ditandu bergerilya di hutan-hutan. Kondisi tersebut akhirnya juga
mempengaruhi mentalitas orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka menjadi
loyo dan pasrah pada kenyataan. Meskipun sempat bergairah, akan tetapi tidak
berhasil menembus kuatnya pasukan kolonial. Peperangan pun berakhir.
Memang pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, peperangan antara
pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat pribumi sering terjadi, tidak
hanya di Aceh, tatapi juga terjadi di beberapa wilayah di Hindia Belanda. Sejarawan
Ibrahim Al-Fian (1987) telah membahas peristiwa heroik yang terjadi di Aceh
pada periode tersebut dalam bukunya, Perang di Jalan Allah Perang Aceh
1873-1912. Cristine Dobbin (1974) membahas peristiwa heroik di Sumatera
Barat dalam tulisannya, Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the
Nineteenth Century. Termasuk di Jawa-Barat, di Banten, sebagaimana ditulis
oleh Sartono Kartodirdjo (2015) dalam desertasinya, Pemberontakan Petani
Banten 1888, juga terjadi peperangan yang heroik antara pemerintah kolonial
dengan masyarakat Banten.
Mereka kebanyakan adalah para
petani yang disemangati oleh para ulama untuk membebaskan diri dari
tekanan-tekanan pemerintah kolonial, baik itu tekanan yang bersifat mentalitas
maupun tekanan ekonomi. Banyak sekali kisah heroik pada periode akhir abad
ke-19 sampai awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Hal itu disebabkan karena
adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh masyarakat itu sendiri baik itu politik,
ekonomi maupun sosial. Termasuk pemerintah kolonial sendiri sedang tidak
seimbang karena usahanya yakni Sistem Tanam Paksa sudah mulai melemah. Oleh
sebab itu dilakukanlah kerja keras yang melibatkan masyarakat untuk menjaga
agar pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap stabil.
Namun di sisi lain, masyarakat
juga tidak mau mengapresisasi proyek-proyek pemerintah. Selain karena sedikit
keuntungan yang mereka peroleh, mereka juga punya jalan yang lain untuk tidak
bergantung pada kolonial. Dalam film Cut Nyak Dien, terlihat dengan jelas bahwa
prinsip yang dipegang masyarakat Aceh dibangun atas dasar agama. Agama bagi
masyarakat Aceh adalah motivasi untuk meraih kemerdekaan, kebebasan dan
keamanan dari segala macam bentuk tekanan hidup yang dilakukan pemerintah
kolonial. Agama diyakini oleh mereka sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan
yang adil, layak dan tanpa diskriminasi dari pihak pemerintah kolonial. Oleh
sebab itu dalam gerakan memperjuangkan hak-haknya, mereka lakukan atas nama
agama, yang oleh Ibrahim Alfian diberi judul Perang di Jalan Allah.
Berbicara mengenai agama di Aceh,
masih bisa dilihat juga dari film Cut Nyak Dien. Dapat dilihat bahwa dalam
perjalanannya bergerilya mencari tempat perlindungan di hutan-hutan, ia
menyempatkan diri berzikir, bersalawat atas nabi dan membaca ayat-ayat suci
Al-Qur’an. Diharapkan itu semua dapat memberikan kekuatan mental terhadap
dirinya. Dalam keadaan yang amat genting, pakaiannya sudah basah kuyup, sudah
kekurangan asupan makanan, dan tidak bisa lagi berjalan, berzikir menjadi alat penenang dirinya. Sampai
kemudian tiba tentara kolonial tak mengira bahwa seseorang yang dicari-carinya
adalah sosok wanita yang beraura, membuat mereka segan menyentuhnya, apalagi
melukainya. Andai boleh membayangkan, mungkin mereka waktu itu berkaca-kaca
dalam hati tak kala melihat Cut Nyak Dien duduk tergeletak di tanah dalam
keadaan lemas, “ada perempuan sampai setegar ini”.
Kendati gambaran di atas berawal
dari sebuah film, namun masih dapat kita jadikan pelajaran untuk bercermin di
kehidupan sekarang. Tekanan hidup adalah konteks jamannya. Pada jaman kolonial,
dominasi tekanan dilakukan oleh pemerintah kolonial juga orang-orang yang
bekerja sama dengan mereka. Sekarang ini tekanan hidup juga masih terjadi dan
itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena tekanan hidup adalah
bagian dari ujian Allah. Akan tetapi setidaknya, tekanan fisik, ekonomi dan
sosial sekarang sudah tidak sebesar dahulu. Setidaknya Indonesia sudah tidak
ada peperangan, tidak seperti yang terjadi dengan negara-negara di Timur
Tengah. Dan kita pun tidak mau kejadian kelam pada masa kolonial terulang
kembali.
Oleh sebab itu, perlu kiranya kita
berusaha menjaga agar tekanan-tekanan yang meresahkan masyarakat tidak boleh terulang
lagi, karena tekanan tersebut juga akan berpengaruh besar terhadap mentalitas
kita. Kalau berkaca pada Cut Nyak Dien, ia punya keberanian dalam berbuat
kebajikan. Itu didukung oleh prinsip agama yang diyakininya yaitu prinsip hidup
mandiri. Bilamana tengah menghadapi ujian yang berat, tekanan hidup, terutama
tekanan keterbatasan baik disebabkan oleh politik, ekonomi maupun sikap orang-orang
yang ada di sekitarnya, ia punya cara mengobati dirinya sendiri yaitu berzikir
kepada Allah.
Deni Kusuma. Penulis, adalah mahasiswa di
Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta serta santri di
Madrasah Al-Muhith Pencerah Jiwa, Prof. Subandi, Sleman, Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar