oleh: Beby Haryanti Dewi
Berdomisili di Banda Aceh
Aku Abdullah bin Umar, anak Umar bin Khattab. Biarpun aku masih kecil, tapi aku sudah masuk Islam, lho! Ketika ayahku memutuskan untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw,. aku juga tidak mau ketinggalan. Dengan mantap, aku ikut bersama ayahku menjadi muslim.
Ayahku selalu berpesan, “Kalau sudah memutuskan masuk Islam, kamu harus bertanggung jawab. Jangan setengah-setengah. Karena, agama itu bukan mainan. Laksanakan perintah Allah dan sunah Rasulullah dengan sepenuh hati.”
“Insya Allah, Ayah!” sahutku penuh semangat.
Aku sangat kagum pada Rasulullah. Jiwa kepemimpinan beliau luar biasa. Melihat beliau saja, semangatku membela Islam sudah berkobar-kobar. Kalian tahu, bukan? Saat itu banyak sekali orang yang menentang ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah, bahkan mereka berusaha mati-matian untuk menghancurkan Islam dan mencelakai Rasulullah.
Suatu hari, saat usiaku 13 tahun, ayahku hendak pergi berjuang bersama Rasulullah dalam Perang Badar. Aku ingin sekali menyertainya.
“Kamu yakin, Abdullah? Ini bukan perang-perangan, Nak. Nyawa taruhannya!” kata ayahku.
“Aku tahu, Ayah,” jawabku. “Aku sudah bertekad akan maju membela Islam, apa pun risikonya. Tolonglah, Ayah, tanyakan pada Rasulullah apakah boleh aku ikut perang,” desakku.
Ayah tidak kuasa menentang keinginanku dan akhirnya pergi menemui Rasulullah, sementara aku menunggu di rumah dengan gelisah. Aku terus berharap, mudah-mudahan ayahku pulang membawa kabar gembira.
“Bagaimana, Ayah? Rasulullah mengizinkan? Apa kata beliau? Senangkah beliau jika aku ikut perang?” Aku menghujani ayahku dengan pertanyaan ketika dia kembali ke rumah.
Ayahku tersenyum bijak, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Abdullah, semangat Islam-mu sungguh luar biasa. Aku bangga padamu, Nak. Tetapi, Rasulullah belum mengizinkanmu berperang karena kamu masih terlalu muda,” katanya.
Ah, aku terduduk lemas. Rasanya kecewa sekali. Padahal aku sudah tidak sabar untuk maju ke garis depan dalam perang melawan musuh-musuh Islam.
“Hei, jangan sedih, Abdullah!” tegur ayahku. “Lebih baik kamu berdoa untuk Rasulullah, Ayah, dan semua umat muslim yang akan pergi berperang, agar kami menang dalam Perang Badar. Doa itu seperti mata pedang yang sangat tajam!” ujarnya menyemangatiku.
Aku tersenyum. “Aku akan berdoa demi pasukan kita, Ayah.”
“Nah, begitu. Selalu berdoa dan bersiap, Abdullah, karena musuh Islam tidak akan pernah berhenti memerangi kita sampai kita mengikuti mereka,” sambung Ayah.
Aku mengangguk mantap. Aku bertekad akan mempersiapkan diriku untuk menjadi pejuang Islam yang tangguh. Aku akan membela agama Allah Swt. hingga titik darah penghabisan!
Dua tahun kemudian, ketika aku sudah cukup besar dan kuat, impianku tercapai. Rasulullah mengizinkanku ikut berjuang dalam Perang Khandaq. Betapa bahagianya aku! Meskipun masih muda, tetapi aku tak gentar sedikit pun maju ke medan perang. Bahkan sejak saat itu, aku selalu menyertai Rasulullah dalam perang menentang musuh Islam.[]
Artikel ini telah dimuat di Majalah Anak Cerdas Edisi 21.
Komentar
Posting Komentar