Oleh Farah Febriani, Mahasiswa Psikologi FK Unsyiah)
Akhir-akhir ini, media dikejutkan dengan berbagai macam pemberitaan yang berkaitan dengan kekerasan, baik secara fisik dan juga secara seksual (yang umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak). Mulai dari kasus seorang perempuan yang masih berstatus sebagai pelajar yang diambil kehormatannya oleh belasan pria lantas dibunuh, hingga kasus seorang perempuan yang disiksa secara fisik dan diambil kehormatannya oleh beberapa orang pria serta pembunuhan yang rasanya komplit sudah menambah beban korban beserta seluruh keluarga dan kerabatnya. Semua identitas pelaku dan korban saya rahasiakan, karena fokus utama kita bukan pada kasus melainkan pada proses penyelesaiannya beserta dampak yang terjadi pada masyarakat. Tentunya kita berharap tidak akan terjadi lagi kasus-kasus seperti ini yang terjadi di negri ibu pertiwi, Indonesia (khususnya Aceh, daerah yang memegang teguh prinsip Syariat Islam). Semoga para korban diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya.
Disini, penulis akan mengupas sedikit terkait “Sejauh mana perilaku dapat dikatakan sebagai kekerasan?”. Dalam sebuah jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 yang berjudul “Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya” disebutkan bahwa kekerasan adalah perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain (pribadi/ kelompok). Penderitaan tersebut dapat berupa penderitaan fisik, seksual atau psikologis terhadap perempuan/ anak, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi”. Ya, kekerasan itu sendiri bisa berupa bullying (secara fisik dan psikologis, verbal dan non verbal), kekerasan seksual (pemerkosaan, pencabulan, prostitusi anak ) dan sebagainya.
Menurut hasil pemantauan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada Harian Terbit, Minggu (14/6/2015). Ini hanya sebagian kasus yang tercatat dan terlaporkan dan saya yakin masih sangat banyak kasus yang belum terungkap di balik data ini. Tentunya, hal ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya orang tua/ korban malu untuk melaporkan kepada pihak kepolisian karena dianggap sebagai sebuah aib (bukti dibebankan kepada korban/ pelapor), selanjutnya korban dipaksa untuk “bungkam” karena pelaku adalah orang terdekat korban (ayah, paman, tetangga dsb). Hal ini menjadi sebuah fenomena menyedihkan jika kita telusuri semakin jauh.
Kembali pada kasus yang telah kita bahas di awal tadi. Apa saja sebenarnya faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan? Tentu sangat banyak. Kekerasan fisik bisa disebabkan oleh kerentanan/ ketidakberdayaannya perempuan/ anak untuk melawan (HAM dijunjung tinggi, tetapi mengapa kasus penting seperti ini bisa terabaikan?). Selanjutnya pengaruh media, baik sosial dan visual (TV, internet dan games). Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang terbiasa menonton film yang berbau agresif (pemukulan, prilaku membully), maka agresifitasnya akan meningkat.
Sedangkan kekerasan seksual bisa disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenal (keluarga, pacar, teman) dan juga orang yang tidak dikenal (kenalan di media sosial, bertemu di jalan dan sebagainya). Selanjutnya, tentu pengaruh terbesar adalah film dan situs pornografi yang menghantui jutaan warga Indonesia (Kapankah akan dihilangkan wahai para pemegang jabatan dan kekuasaan di Indonesia? Kami rasa, peran para pemimpin sangat efektif dalam membuat peraturan dan perundang-undangan baik miras, situs pornografi dan tayangan di televisi. Luar negri bisa. Insya Allah kita lebih bisa!).
Salah satu kontribusi terbesar juga adalah hukuman yang ringan atau bahkan terlalu ringan bagi pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku, selanjutnya serta kronologis kejadian yang terlalu detail dan mudah dicontoh oleh pelaku lainnya (hukum kebiri atau hukum qishash, manakah yang lebih efektif?).
Lantas, solusi apa yang bisa kita gunakan? Tentunya dengan mengurangi bahkan menghilangkan penyebab yang telah saya sebutkan di atas tadi (Mungkin tidak instan, perlahan tapi pasti). Khusus untuk perempuan, ada solusi tambahan bagi anda yang ingin terhindar dari kekerasan, diantaranya memiliki ilmu bela diri, menutup aurat dengan syar’i, menjaga diri, menghindari pacaran sejak dini (Insya Allah, jodoh sudah ditetapkan jauh sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim ibu) dan membaca ayat kursi kemanapun anda pergi. (Mencegah lebih baik daripada mengobati, ya sahabat!)
Adapun peran kita sebagai mahasiswa dalam membantu mengurangi kasus kekerasan yang semakin marak terjadi adalah salah satunya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pentingnya “Pendidikan seks dini” kepada anak (Memberitahu anak apa yang menjadi miliknya, siapa saja yang boleh menyentuhnya, apa yang harus dilakukan jika ada orang asing yang tiba tiba mengajaknya pergi atau memberikan sesuatu dengan maksud yang berbeda dan seterusnya). Hal ini penting, meski sering dianggap tabu oleh mayarakat. Selanjutnya, merenegosiasi dan berdiskusi kepada pihak pembuat peraturan, bahkan mungkin memberikan saran dan masukan hukuman dan penanganan baik pada korban dan juga pelaku (baik terapi, konseling atau rehabilitasi). Hal ini penting bagi korban untuk mendapatkan kembali hak-haknya dan menumbuhkan kembali semangat hidup pada dirinya. Dan hal ini juga penting bagi pelaku untuk menyelesaikan konflik psikologisnya dan membentuk prilaku yang lebih baik lagi). Dan yang terakhir membantu menyuarakan “Stop Kekerasan pada Anak dan Perempuan”, baik di media manapun yang kita bisa. Semoga dari hal-hal kecil ini berdampak besar bagi perubahan Indonesia.
Disini, penulis sebagai Mahasiswa Unsyiah juga berinsiatif untuk membuat sebuah komunitas yang bernama “PADUKA” (Pemuda Peduli Kekerasan Terhadap Anak dan Wanita Aceh). Program yang akan dijalankan oleh komunitas ini adalah membantu proses rehabilitasi, diskusi, mencari solusi dan edukasi baik pada anak dan juga pada masyarakat terkait pentingnya pencegahan dan penanganan yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tingkat kekerasan di Indonesia. Dan nantinya kita juga akan bekerjasama (jika diizinkan) dengan Badan Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan anak yang ada di Aceh. Penulis berharap nantinya dari kalangan mahasiwa dan mahasiwi ikut bergabung dalam komunitas ini, bersama sama kita mencari solusi terbaik dari setiap kasus kekerasan di negri ini. Wallahu a’lam bish shawab. Hidup Mahasiswa!
Akhir-akhir ini, media dikejutkan dengan berbagai macam pemberitaan yang berkaitan dengan kekerasan, baik secara fisik dan juga secara seksual (yang umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak). Mulai dari kasus seorang perempuan yang masih berstatus sebagai pelajar yang diambil kehormatannya oleh belasan pria lantas dibunuh, hingga kasus seorang perempuan yang disiksa secara fisik dan diambil kehormatannya oleh beberapa orang pria serta pembunuhan yang rasanya komplit sudah menambah beban korban beserta seluruh keluarga dan kerabatnya. Semua identitas pelaku dan korban saya rahasiakan, karena fokus utama kita bukan pada kasus melainkan pada proses penyelesaiannya beserta dampak yang terjadi pada masyarakat. Tentunya kita berharap tidak akan terjadi lagi kasus-kasus seperti ini yang terjadi di negri ibu pertiwi, Indonesia (khususnya Aceh, daerah yang memegang teguh prinsip Syariat Islam). Semoga para korban diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya.
Disini, penulis akan mengupas sedikit terkait “Sejauh mana perilaku dapat dikatakan sebagai kekerasan?”. Dalam sebuah jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 yang berjudul “Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya” disebutkan bahwa kekerasan adalah perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain (pribadi/ kelompok). Penderitaan tersebut dapat berupa penderitaan fisik, seksual atau psikologis terhadap perempuan/ anak, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi”. Ya, kekerasan itu sendiri bisa berupa bullying (secara fisik dan psikologis, verbal dan non verbal), kekerasan seksual (pemerkosaan, pencabulan, prostitusi anak ) dan sebagainya.
Menurut hasil pemantauan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada Harian Terbit, Minggu (14/6/2015). Ini hanya sebagian kasus yang tercatat dan terlaporkan dan saya yakin masih sangat banyak kasus yang belum terungkap di balik data ini. Tentunya, hal ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya orang tua/ korban malu untuk melaporkan kepada pihak kepolisian karena dianggap sebagai sebuah aib (bukti dibebankan kepada korban/ pelapor), selanjutnya korban dipaksa untuk “bungkam” karena pelaku adalah orang terdekat korban (ayah, paman, tetangga dsb). Hal ini menjadi sebuah fenomena menyedihkan jika kita telusuri semakin jauh.
Kembali pada kasus yang telah kita bahas di awal tadi. Apa saja sebenarnya faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan? Tentu sangat banyak. Kekerasan fisik bisa disebabkan oleh kerentanan/ ketidakberdayaannya perempuan/ anak untuk melawan (HAM dijunjung tinggi, tetapi mengapa kasus penting seperti ini bisa terabaikan?). Selanjutnya pengaruh media, baik sosial dan visual (TV, internet dan games). Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang terbiasa menonton film yang berbau agresif (pemukulan, prilaku membully), maka agresifitasnya akan meningkat.
Sedangkan kekerasan seksual bisa disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenal (keluarga, pacar, teman) dan juga orang yang tidak dikenal (kenalan di media sosial, bertemu di jalan dan sebagainya). Selanjutnya, tentu pengaruh terbesar adalah film dan situs pornografi yang menghantui jutaan warga Indonesia (Kapankah akan dihilangkan wahai para pemegang jabatan dan kekuasaan di Indonesia? Kami rasa, peran para pemimpin sangat efektif dalam membuat peraturan dan perundang-undangan baik miras, situs pornografi dan tayangan di televisi. Luar negri bisa. Insya Allah kita lebih bisa!).
Salah satu kontribusi terbesar juga adalah hukuman yang ringan atau bahkan terlalu ringan bagi pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku, selanjutnya serta kronologis kejadian yang terlalu detail dan mudah dicontoh oleh pelaku lainnya (hukum kebiri atau hukum qishash, manakah yang lebih efektif?).
Lantas, solusi apa yang bisa kita gunakan? Tentunya dengan mengurangi bahkan menghilangkan penyebab yang telah saya sebutkan di atas tadi (Mungkin tidak instan, perlahan tapi pasti). Khusus untuk perempuan, ada solusi tambahan bagi anda yang ingin terhindar dari kekerasan, diantaranya memiliki ilmu bela diri, menutup aurat dengan syar’i, menjaga diri, menghindari pacaran sejak dini (Insya Allah, jodoh sudah ditetapkan jauh sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim ibu) dan membaca ayat kursi kemanapun anda pergi. (Mencegah lebih baik daripada mengobati, ya sahabat!)
Adapun peran kita sebagai mahasiswa dalam membantu mengurangi kasus kekerasan yang semakin marak terjadi adalah salah satunya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pentingnya “Pendidikan seks dini” kepada anak (Memberitahu anak apa yang menjadi miliknya, siapa saja yang boleh menyentuhnya, apa yang harus dilakukan jika ada orang asing yang tiba tiba mengajaknya pergi atau memberikan sesuatu dengan maksud yang berbeda dan seterusnya). Hal ini penting, meski sering dianggap tabu oleh mayarakat. Selanjutnya, merenegosiasi dan berdiskusi kepada pihak pembuat peraturan, bahkan mungkin memberikan saran dan masukan hukuman dan penanganan baik pada korban dan juga pelaku (baik terapi, konseling atau rehabilitasi). Hal ini penting bagi korban untuk mendapatkan kembali hak-haknya dan menumbuhkan kembali semangat hidup pada dirinya. Dan hal ini juga penting bagi pelaku untuk menyelesaikan konflik psikologisnya dan membentuk prilaku yang lebih baik lagi). Dan yang terakhir membantu menyuarakan “Stop Kekerasan pada Anak dan Perempuan”, baik di media manapun yang kita bisa. Semoga dari hal-hal kecil ini berdampak besar bagi perubahan Indonesia.
Disini, penulis sebagai Mahasiswa Unsyiah juga berinsiatif untuk membuat sebuah komunitas yang bernama “PADUKA” (Pemuda Peduli Kekerasan Terhadap Anak dan Wanita Aceh). Program yang akan dijalankan oleh komunitas ini adalah membantu proses rehabilitasi, diskusi, mencari solusi dan edukasi baik pada anak dan juga pada masyarakat terkait pentingnya pencegahan dan penanganan yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tingkat kekerasan di Indonesia. Dan nantinya kita juga akan bekerjasama (jika diizinkan) dengan Badan Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan anak yang ada di Aceh. Penulis berharap nantinya dari kalangan mahasiwa dan mahasiwi ikut bergabung dalam komunitas ini, bersama sama kita mencari solusi terbaik dari setiap kasus kekerasan di negri ini. Wallahu a’lam bish shawab. Hidup Mahasiswa!
Komentar
Posting Komentar