Langsung ke konten utama

Bahaya Broken Home Terhadap Psikologis Anak





Oleh : Yuliani 
Mahasiswi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah kuala.


Ketika membangun sebuah hubungan yang serius tidak akan berjalan mulus begitu saja, namun banyak sekali faktor yang membuat sebuah hubungan itu retak, bahkan karena hal sepele hubungan tersebut akan berakhir. Salah satu hal yang sering memicu terjadinya perceraian karena faktor ekonomi, namun banyak juga faktor lain. Dari waktu ke waktu, kasus perceraian terus meningkat. Pernikahan yang telah dibina berakhir begitu saja dan akan berdampak negatif terhadap psikologis anak dari keluarga broken home.

Mengapa perceraian berdampak buruk pada psikologis anak?

Cerai atau talak berasal dari bahasa Arab “Thalaq” yang berarti cerai atau perceraian. Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Kemudian di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 9 dinyatakan “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup (Taylor, 1998:24).

Setiap orang tua pasti mendambakan anak yang cerdas dan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka kelak akan menjadi anak yang unggul dan tangguh menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Namun usaha tersebut memerlukan lingkungan positif yang sengaja diciptakan yang memungkinkan anak akan tumbuh optimal. Suasana penuh kasih sayang, mau menerima anak sebagaimana apa adanya, menghargai potensi anak, memberi rangsangan yang kaya dalam berbagai aspek perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik.

Beda halnya dengan orang tua yang bercerai . mereka akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai, biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Namun tidak demikian halnya dengan anak, ia tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.

Menurut Leslie, trauma yang dialami anak karena perceraian orang tua berkaitan dengan kualitas hubungan dalam keluarga sebelumnya. Apabila anak merasakan adanya kebahagiaan dalam kehidupan rumah sebelumnya maka mereka akan merasakan trauma yang sangat berat. Sebaliknya bila anak merasakan tidak ada kebahagiaan kehidupan dalam rumah, maka trauma yang dihadapi anak sangat kecil. dan malah perceraian dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari konflik terus menerus yang terjadi antara ayah dan ibu ( T.O Ihromi, 2004:160).

Kemudian ketika retaknya sebuah keluarga tersebut, maka sangat berdampak negatif pada anak. Salah satunya di mana anak akan mengalami trauma karena orang tuanya yang telah berpisah. Kemudian perceraian secara psikologis anak akan merasakan dampak negatif:

Pertama, Tidak aman. Perihal rasa tidak aman (insecurity) ini menyangkut aspek financial dan masa depan, sebab seorang anak ini berpikiran bahwa masa depannya akan suram. Alasan ini timbul karena ia sudah tidak dapat perhatian lagi dari orang tuanya, baik perhatian secara materi maupun immateri, sehingga tak bisa dipungkiri lagi saat anak mengalami masa remaja tidak akan menghiraukan lagi keluarga dan lingkungannya.

Kedua, adanya rasa penolakan dari keluarga. Anak korban dari keluarga bercerai merasakan penolakan dari keluarga sebab sikap orang tua berubah. Orang tuanya sudah memiliki pasangan yang baru (bapak tiri/ibu tiri) sehingga anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya. Di sini psikologi anak tercerabut oleh tindakan orang tuanya yang bercerai.

Ketiga, Marah. Dengan adanya perceraian seorang anak sering kali emosinya tidak terkontrol dengan baik sehingga mereka sering kali marah yang tidak karuan. Banyak teman dekat yang menjadi sasaran amarahnya. Perihal ini dampak psikologis anak yang memiliki sifat temperamen; mudah marah karena emosinya tidak terkontrol. Papalia, Olds & Feldman (2008:45) sifat marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian dari keluarganya akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya, karena perilaku orang tuanya yang sering bertengkar di depan anak dan mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.

Ke empat, Sedih. Seorang anak akan merasa nyaman dengan orang tuanya yang harmonis, namun sebaliknya ia akan bersedih jika orang tua mereka berpisah atau bercerai dan saat sudah remaja merasa kehilangan. Kemudian dampak fisik yang ditimbulkan karena stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan yang semuanya itu berasal dari kesedihan yang yang dialaminya.

Kelima , Kesepian. Seorang anak tentunya akan merasa kesepian tanpa ada belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya. Seorang anak sangat membutuhkan belaian dan bimbingan orang tuanya untuk masa depan selanjutnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

Berbagi Rambutan

  Oleh Salsabila Z   ​ Hari ini, Zain memanen buah rambutan di samping rumah bersama sang Ayah. Ia senang sekali, karena pohon rambutannya berbuah lebat dan rasanya pun manis. ​ “Alhamdulillaahh...” ujar Zain sambil memakan satu buah rambutan. ​ “Iya, alhamdulillaah...” ujar Ayah.”O ya, nanti Zain bantu Kak Salma membagi buah rambutann ini ke tetangga ya?” pinta Ayah sambil membagi  buah-buahan itu  sama banyak lalu menalinya dengan rafia. ​ “Kenapa dibagi Yah? Mending ,  kita  jual saja.  Biar tetanggak kita beli, lalu kita dapat banyak uang ,  deh,” usul Zain. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk membeli mainan baru  dari hasil menjual rambutan  nanti . ​ “Ya, nanti kita akan jual rambutan ini kepada Pak Sukri, pedagang buah samping pasar itu. tapi tidak semuanya. Ada yang kita bagi sama tetangga dan ada juga yang kita sisihkan untuk kita makan sekeluarga,” jawab Ayah. ​ “Kok begitu Yah?” ​ “Ya, tidak ada salahn ya   dong,...