Oleh: Yuni Kamisa
Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Masyarakat Aceh saat ini tidak dapat terpisahkan dari warung kopi. Tak heran begitu banyak warung kopi di setiap sudut Negeri Kuta Raja ini, baik yang kecil maupun besar. Keberadaan warung kopi di Aceh bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi sudah ada sejak masa kesultanan Aceh. Begitupun dengan budaya duduk di warung kopi sudah menjadi tradisi bagi orang Aceh. Sebelum melakukan rutinitasnya, kaum laki – laki di Aceh mampir terlebih dahulu ke warung kopi terdekat. Di situ mereka minum kopi sambil silahturahmi atau pun saling bertukar pikiran. Dulu hanyalah lelaki paruh baya saja yang kita temui di warung kopi. Perempuan tidak akan pernah kita jumpai di sana. Kalaupun ada, itu hayalah ibu – ibu yang menitipkan kuenya untuk dijual di warung kopi tersebut. Berbeda halnya sekarang, kebiasaan duduk di warung kopi tidak lagi didominasi oleh lelaki paruh baya saja, akan tetapi semua kalangan dapat kita temui di warung kopi, bahkan perempuan pun sudah banyak menghabiskan waktunya di warung kopi.
Orang terdahulu menghabiskan waktu mereka di warung kopi hanya sekedar untuk menjalin silaturahmi. Kawula muda saat ini, mereka menghabiskan waktu di warung kopi sampai lupa waktu, seakan – akan mereka tak dapat dipisahkan lagi dari yang namanya warung kopi. “Apapun kegiatannya duduknya di warung kopi” itu adalah istilah yang sesuai untuk mereka yang tak terpisahkan lagi dari warung kopi. Segala sesuatu yang mereka lakukan kalau bisa harus dilakukan di warung kopi, apakah itu untuk membuat tugas, diskusi, atau sekedar berkumpul sesama teman. semua itu bisa dilakukan di warung kopi.
Bagi sebagian mahasiswa warung kopi merupakan rumah kedua. Tempat menghabiskan waktu paling banyak setelah rumah, kantor, sekolah/perguruan tinggi. Warung kopi tidak saja dijadikan sebagai tempat minum kopi, akan tetapi mereka bisa menghabiskan waktu untuk melakukan banyak hal yang mereka sukai, salah satunya browsing. Dengan browsing mereka bisa mengembangkan bakat – bakat yang mereka miliki secara otodidak. Saya pernah berkenalan dengan salah satu “anak warkop” (sebutan untuk mereka yang menghabiskan banyak waktu di warung kopi) mahasiswa teknik kimia. Dia bisa menghabiskan waktu di warung kopi dari pagi sampai warung kopi tersebut berhenti beroperasi. Hanya untuk browsing, katanya “warkop itu sudah seperti rumah kedua bagiku”.
Kasus di atas, menimbulkan perspektif yang berbeda – beda dalam masayakat Aceh. Pandangan masyarakat terhadap kaum muda saat ini yang banyak menghabiskan waktu di warung kopi pun menuai pro dan kontra tersendiri. Ada sebagian masyarakat yang pro terhadap kaum tersebut karena dianggap memberi keuntungan dan dampak yang positif terhadap kaum muda tersebut, namun tak sedikit juga masyarakat yang kontra akan hal tersebut. Mereka yang kontra menganggap hal tersebut hanyalah buang – buang waktu, karena dengan menghabiskan waktu di warung kopi membuat pekerjaan lain terbengkalai. Sebenarnya semua itu tergantung bagaimana individu itu sendiri menyikapinya. Bagaimana menurut anda? banyak hal positif atau negatif yang di dapat dari warung kopi?
Komentar
Posting Komentar