Oleh Raufa Rachma
Email : raufarachma@gmail.com
Salam buat yang
sedang baca tulisan tak bernilai ini, yang tak pantas diterbitkan di sebuah
majalah, tetapi pantas diterbitkan di setiap memori para pembaca yang setia dan
penasaran dengan cerita ini. Sebelumnya,
supaya lebih akrab, kita berkenalan dulu. Namaku Mich Yung. Aku lahir dan hidup
dalam keluarga berekonomi rendah. Tak punya kakak, abang, ataupun adik. Bahkan
aku saja tak tahu siapa sepupuku. Kisah ini mungkin biasa saja bagi para
pembaca, tetapi sangat kejam bagiku. Dunia seakan tak adil. “Mich Yung” laki
laki yang tak beruntung, itu sih menurutku.
Sejak kecil aku
tinggal bersama keluarga yang nasibnya kurang beruntung. Diperlakukan seperti
anak sendiri oleh seorang perempuan yang belum beranjak remaja. Kuperkenalkan
dulu mengenai keluarga ini. Keluarga ini terdiri dari dua anak laki laki yaitu
Tan dan Stephen, dua anak perempuan yaitu Min dan Hayaki, seorang ayah bernama
Lee, dan seorang ibu bernama Emma. Pada saat itu aku masuk dalam anggota
keluarga ini saat aku berumur 3 bulan. Hubungan orang tuaku dengan keluarga ini
sangat dekat. Tetapi sifat orang tuaku dengan keluarga ini sangat jauh, sejauh
matahari dengan planet Uranus. Hal yang ingin kutanyakan pada diriku ialah
“Mengapa aku tak seberuntung kalian? Jika aku tak pernah beruntung, mengapa aku
dilahirkan?”. Katanya’ manusia itu tak pernah bersyukur atas apa yang sudah ia
dapatkan dan ia juga tidak sadar’, mungkin ada benarnya. Kata keluarga ini aku
selalu diberikan makanan yang sehat, dirawat, dikasihani, dimanja dan banyak
lagi. Tapi bukan itu yang kumaksud, aku ingin orang tuaku yang melakukan hal
hal seperti ‘dimanja’ kepadaku.
Baiklah, akan
kukisahkan tentang orang tuaku dulu. Orang tuaku tidak kaya, tetapi bekerja. Aku
tidak pernah tahu apa pekerjaan mereka dan Keluarga Lee juga tidak tahu. Ada
yang mengatakan seorang sales dan lain lain. Sales memang nampak buruk di kalangan
setiap orang, tapi itulah pekerjaan orang tuaku. Mengapa aku tidak menyebutkan
nama orang tuaku? Karena aku malu dan tak sanggup mendengarnya. Bisa dibilang
aku ini anak broken home. Tak jelas mengapa orang tuaku ingin bercerai,
tetapi aku sekarang mengerti mengapa mereka bercerai. Orang tuaku nikah
muda. Jadi, keduanya masih ingin hidup
seperti layaknya anak muda, seperti sering keluar malam dan hangout. Lalu
mereka bertengkar tak jelas mengenai siapa yang mengurus aku saat bayi, jika
keduanya pergi bersenang senang. Mereka tak menitipku karena biayanya
terlalu mahal. Setelah mereka bercerai, aku pernah mendengar mereka berpacaran
dengan orang lain lagi, baik mamaku dan juga papaku. Itu merupakan hal yang
sangat kejam dan keji bagiku. Aku
akhirnya tinggal dan besar di dalam keluarganya Pak Lee. Ketika aku kecil,
seorang bidadari yang kusebut tadilah yang sering merawatku yaitu ‘Min’. Aku
sering bermain main dengan Tan dan Stephen tapi tidak dengan Hayaki. Bagiku
Hayaki layaknya seorang monster. ‘Jangan ganggu aku karena aku takkan
mengganggumu’ ya seperti itulah Hayaki. Hayaki dan Min memang saudara, tetapi
sifatnya bagaikan air dan batu gunung. Aku tidak tahu kapan aku bisa merasakan
kebersamaan bersama keluarga sendiri.
Bulan berlalu,
tahun berlalu. Saat ini aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Setiap orang
membicarakan orang tuanya ataupun keluarganya. Terkadang mereka membicarakan
pekerjaan orang tua mereka. Sementara aku, apa yang akan kubicarakan mengenai
orang tuaku. Lebih baik aku menjauh dari mereka karena aku sangat takut jika
ditanyakan tentang keluarga. Tapi pada suatu hari, suasana di dalam kelas
begitu ramai dan saat itu aku berkumpul dengan teman temanku. Tiba Tiba seorang
temanku bertanya kepadaku, “Mich, mengapa orangtuamu tak pernah mengantar atau menjemputmu?”.
“Mereka sibuk” jawabku bohong. “Apa pekerjaan mereka ?”tanyanya lagi. “Mereka
bekerja di daerah lain, di suatu perusahaan ternama” jawabku dengan sombong.
“Wah, hebat sekali orang tuamu”pujinya. Apakah mereka tidak tahu perasaanku
jika mereka bertanya seperti itu padaku? Aku sudah seperti selebriti yang
diwawancarai oleh banyak wartawan dengan pertanyaan yang menusuk sekaligus
menjebakku.
Setiap detik,
menit, bahkan saat aku menghembuskan nafasku, aku selalu berdoa agar aku bisa
berkumpul dengan keluargaku. Tak masalah jika keluargaku berekonomi rendah,
asalkan kami dapat bersatu kembali. Setahun kemudian, ayahku menikah lagi dan
yang membuatku ingin meneteskan air mata ialah saat aku tahu sosok yang
dinikahkan ayahku ialah bibinya teman sekelasku sewaktu SMP. Di acara itu tentu
aku bertemu dengan teman sekelasku. Aku mencoba menghindar, namun akhirnya
temanku menegurku. “Hei Mich aku ingin bertanya, yang menikah dengan bibiku
bukankah ayahmu? Lalu bagaimana dengan ibumu? Dan katamu ayahmu itu bekerja di perusahaan
ternama, tapi.. nyatanya tidak! Sepertinya keluargamu sangat berantakan.”
celoteh temanku. Aku menundukkan kepala
saat mulutnya menjelek jelekkan diriku.
Aku tahu, banyak
orang seperti diriku, malahan lebih dari itu. Tapi, mengapa orang menggosipi
anak anak seperti kami yang hidupnya tak beruntung. Apakah tidak ada topik
lain? Apakah mereka tak punya hati? Bukan kami yang menginginkan tak ada sosok
ibu dan ayah yang menemani hidup kami. Bukan kami yang menginginkan hidup dalam
keadaan berkecukupan. Bukan! Bukan! Tuhan menciptakan kita secara adil. Mungkin
sekarang aku hanya bisa menatap atas kebahagiaan orang, tapi 20 tahun lagi
merekalah yang menatap atas kebahagiaanku. Hidupku bukan untuk digosipi tapi
untuk dipelajari.
Komentar
Posting Komentar