Oleh Mulkan Kautsar
Gampong
Pante Pisang, Jalan Medan-B. Aceh, Kec. Peusangan, Bireuen
Aku tidak mengerti,
sejak kapan bertanya dianggap sebagai sebuah kejahatan?. Hari ini aku merasa
sangat malu. Dikacangin seorang mahasiswa yang baru kutemui sedang duduk di
depan gedung kampus. Kalau dia menyombongkan dirinya karena dia ternyata kakak
leting, maka harus kukatakan padanya bahwa aku juga membayar SPP di sini. Apa
yang aku tanyakan padanya? Aku hanya bertanya di mana tempat registrasi ulang
mahasiswa baru dan aku harus bertanya dua sampai tiga kali sampai dia melihatku.
Sepertinya aku bertanya pada patung. Jika dia sedang berusaha meniru patung,
maka kukatakan bahwa dia sangat berhasil. Beritahu jika yang akau tanyakan itu
salah. Aku bahkan yakin dia tidak punya suara emas, sehingga enggan menjawab
pertanyaanku. “Aku berharap tidak bertemu dengan manusia seperti dia lagi”.
“Hai, kamu mahasiswa baru juga? Aku juga mau melakukan
registrasi ulang. Kamu bisa ikut bersamaku jika tidak keberatan”, Seorang
mahasiswa lain menghampiriku setelah beberapa saat aku merasakan kekesalan. Dia
tersenyum memamerkan sederetan pagar besi di giginya yang rapi. Aku tidak yakin
kenapa dia memakainya, mungkin itu terlihat keren.
“Tentu aku mau, aku sedang menunggu seseorang yang bisa
kutanyai” jawabku. Kami pergi bersama dengan jalan kaki menuju gedung tempat
seharusnya mahasiswa baru berada. Dia memulai pembicaraan dengan banyak hal,
menurutku dia terlalu terbuka untuk ukuran orang yang baru kukenal. Aku sendiri
memilih untuk menjawab setiap pertanyaannya dengan seadanya, karena aku bukan
tipikal orang yang suka untuk dikorek dalam hal kehidupan. Satu hal yang
membuatku beruntung adalah ternyata kami satu fakultas. Ya, setidaknya sudah ada
orang yang kukenal di kampus sebesar ini.
“Aku Syakir, maaf aku terlalu banyak bicara sampai lupa
memperkenalkan diri” Katanya menjulurkan tanganya.
“Oh, Aku Aditya. Senang bertemu denganmu” Jawabku
menerima uluran tangannya.
Hal
pertama yang tidak kuinginkan kembali terjadi ketika masa orientasi mahasiswa
baru adalah bertemu si mahasiswa sombong itu lagi. Nyatanya aku kembali
dipertemukan dengannya dan kami sekelompok. Dugaanku sepertinya salah karena
aku sempat berfikir dia kakak leting. Harus kuakui dia terlihat lebih tua
dengan wajah menyebalkannya. Dia masih terlihat sama menyebalkan dengan ketika
pertama kali bertemu waktu itu. Mataku menyipit, dia berdiri tepat di depanku.
Ingin rasanya aku memberinya sianida saat itu juga. Dia berdiri angkuh, kuharap
dia tidak lupa pernah membuatku kesal.
Kami hanya diberi waktu
sebentar untuk beristirahat ketika orientasi. Sebentar? Oke, kata itu terdengar
lebih jelas dari kata-kata lainnya di telingaku. Aku terus mengibaskan kertas
nama yang tergantung di dadaku untuk memberikan sedikit sensasi segar dari
udara. Sesekali aku minum dari botol air yang kubawa dari rumah. Aku tahu akan
membutuhkan ini jadi sudah kupersiapkan sebelumnya. Sekilas aku melihat si
Mursal yang tampak sangat kehausan di sampingku. Mursal, nama si mahasiswa
sombong itu. Aku bisa membacanya dari kertas nama yang juga terpasang padanya.
Dia melihat ke arahku dan kuarahkan botol airku mendekatinya. Dia menerimanya
dan minum dengan sangat cepat seakan sedang berada di padang pasir atau tidak
minum selama berhari hari.
“Terima kasih” Katanya sembari mengembalikan botol airku.
“Kupikir kamu tidak bisa berbicara, ternyata kamu tahu
caranya berterima kasih” Aku menjawabnya
dan mengambil kembali botol airku.
“Maaf mengenai waktu itu, aku tidak bermaksud mengacuhkan
pertanyaanmu, tapi saat itu aku sedang mempunyai masalah keluarga. Jadi sedikit
mempengaruhi mood. Namaku Mursal”.
Dia menjulurkan tangannya. Aku sedikit terkejut karena dia masih mengingatku.
Kurasa kini aku tahu alasannya mengapa dia bisa bersikap seperti itu. Mungkin
aku akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya.
“Aditya” kataku membalas
uluran tangannya.
Kami berdua tersenyum.
Dia tidak seangkuh kelihatannya. Setidaknya dia tidak terlihat sama seperti
ketika pertama kali kami bertemu. Hari orientasi berikutnya berlangsung lebih
dramatis. Bahkan di hari terakhir ketika hujan turun dengan sangat derasnya
panitia menutup kegiatan orientasi. Mereka yang dua hari sebelumnya terlihat
antagonis berubah menjadi protagonis. Ucapkan sampai jumpa pada hari orientasi.
“Selamat datang di kampus hijau”.
Komentar
Posting Komentar